Kebohongan Tari Harum Bunga Gerwani di Lubangbuaya

Jum'at, 25 September 2015 - 05:05 WIB
Kebohongan Tari Harum Bunga Gerwani di Lubangbuaya
Kebohongan Tari Harum Bunga Gerwani di Lubangbuaya
A A A
GERAKAN Wanita Indonesia atau Gerwani merupakan salah satu organisasi wanita yang berhaluan progresif revolusioner dengan jumlah anggota mencapai satu juta orang dan cabang yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, pada tahun 1960-1965.

Riwayat Gerwani dalam sejarah Indonesia modern cukup panjang. Dimulai sejak tahun 1950, saat sejumlah pejuang wanita yang di antaranya adalah SK Trimurti, mendirikan Gerakan Wanita Indonesia Sedar atau Gerwis, pada 4 Juni 1950, di Semarang.

Gerwis merupakan peleburan dari tujuh organisasi wanita yang masing-masing adalah Rukun Putri Indonesia (Rupindo) di Semarang, Persatuan Wanita Sedar di Surabaya dan Bandung, Gerakan Wanita Rakyat Indonesia di Kediri, Perdjoangan Putri Republik Indonesia di Pasuruan, Wanita Madura, dan Persatuan Wanita Indonesia di Ambarawa.

Dalam perjalanannya, Gerwis banyak terlibat dalam berbagai perjuangan politik dan fisik dalam mempertahanan dan mengisi kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, oleh Ir Soekarno dan Drs Mohammad Hatta, di Jakarta.

Landasan perjuangan Gerwis dapat dilihat dari hasil Kongres I yang diadakannya pada 17-22 Desember 1951 di Surabaya. Sedikitnya ada tujuh poin penting yang berhasil dirumuskan dalam Kongres I Gerwis itu, salah satunya adalah, menuntut segera dikembalikannya Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia (poin ke 3).

Gerwis juga ikut secara aktif menggalang Front Persatuan organisasi-organisasi wanita progresif revolusioner dalam melepaskan Indonesia dari kedudukannya sebagai negeri semi jajahan, seperti yang termaktub dalam hasil Konferensi Meja Bundar atau KMB.

Lebih jauh, Gerwis juga aktif dalam kesatuan aksi Front Persatuan Nasional dan bergabung dengan Kongres Wanita Indonesia atau Kowani, dan Womens International Democratic Federation atau Gerakan Wanita Demokrasi Sedunia yang bermarkas di Paris.

Dengan terlibatnya Gerwis dalam gerakan wanita sedunia, maka pada Kongres II organisasi itu, tahun 1954, Gerwis melebarkan sayapnya dan mengubah namanya menjadi Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani.

Gerwani merupakan peleburan dari dua organisasi wanita besar di Indonesia yang terdiri dari Istri Buruh Kereta Api (IBKA), dan Persatuan Wanita Indonesia (Perwin) yang pusat gerakannya berada di Manado.

Dalam perkembangannya, Gerwani tumbuh menjadi organisasi wanita modern paling maju pada masanya. Tidak hanya fokus dengan masalah politik, Gerwani juga aktif memperjuangkan hak-hak wanita, hak-hak anak, dan peningkatan kesejahteraan sosial.

Dengan terjadinya perubahan nama Gerwis menjadi Gerwani dan perluasan aktivitasnya, organisasi wanita ini mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam hal keanggotaan. Pada tahun 1951, anggota Gerwis berjumlah 6.000 orang, dan meningkat menjadi 80.000 orang di tahun 1954, dan berkembang menjadi satu juta orang lebih, pada tahun 1960 hingga 1965.

Dalam berbagai dokumen resmi Gerwis dan Gerwani yang tercatat pada Kongres I-III, tidak pernah disebut dan disinggung-singgung tentang hubungan langsung organisasi itu dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kecuali bergabungnya Gerwani dengan Front Nasional dan persinggungannya dalam aksi bersama dengan sejumlah organisasi yang dekat dengan PKI, seperti SOBSI dan Pemuda Rakyat (PR).

Dalam kantor atau sekretariat Gerwani, mulai di tingkat DPP hingga anak cabang juga tidak ditemukan bendera merah bergambar palu arit PKI. Semua kantor Gerwani hanya memasang dan menyimpan bendera merah putih dan bendera biru muda dengan lambang Gerwani di tengahnya, serta foto pejuang Kartini dan tokoh wanita Clara Zetkin.

Tetapi karena adanya persamaan program dan perjuangan antara Gerwani dan PKI dalam politik dan membela hak-hak kaum wanita dan hak-hak anak, Gerwani sering disebut-sebut sebagai organisasi mantel PKI. Sebutan "mantel PKI" itu tidak lepas dari propaganda lawan-lawan politik Gerwani dan PKI yang sering kali berbenturan dengan kepentingan dan agenda perjuangan organisasi itu.

Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa tudingan Gerwani mantel PKI atau organisasi wanita yang berada di bawah pengaruh PKI tidak benar, karena PKI memiliki organisasi wanitanya sendiri yang dinamakan Wanita Komunis atau Wankom yang diketuai oleh Harti Warjo yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Gerwani. Kendati rangkap jabatan dalam Gerwani, Harti Warjo tetap tidak bisa mempengaruhi Gerwani untuk tunduk dalam PKI dan menjadi organisasi binaannya.

Puncak fitnah terhadap Gerwani terjadi pada tahun 1965, saat organisasi itu akan melangsungkan Kongres IV yang akhirnya batal dilaksanakan, karena meletusnya putsch militer, pada 1 Oktober 1965 atau Gestok.

Hari-hari menjelang peristiwa yang oleh Orde Baru disebut Gerakan September 30 atau Gestapu, situasi politik luar negeri Indonesia sedang hangat-hangatnya. Sejumlah organisasi poros Nasionalisme, Agama dan Komunis atau Nasakom, seperti Gerwani, Sentral Organisasi Buruh Indonesia atau SOBSI, dan Pemuda Rakyat (PR), mengikuti latihan perang ganyang Malaysia, di Lubangbuaya, dekat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Di luar dugaan, kegiatan sukarelawati Gerwani itu luput dari perhatian DPP Gerwani yang sedang sibuk mempersiapkan Kongres IV, pada Desember 1965, di Jakarta. Begitupun dengan sejumlah anak cabang Gerwani yang berada di daerah-daerah, semua sedang fokus dengan hajat besar organisasi.

Saat Radio Republik Indonesia (RRI) mengumumkan siaran tertulis dari Komandan Gerakan 30 September Letnan Kolonel Untung Samsuri yang menyatakan bahwa telah terjadi gerakan militer dalam tubuh Angkatan Darat (AD) yang ditujukan kepada anggota Dewan Jenderal, pada Jumat 1 Oktober 1965, pukul 07.00 WIB, DPP Gerwani dan seluruh cabangnya masih sibuk dengan persiapan Kongres IV.

Gerakan 30 September juga menyatakan, sejumlah jenderal yang merencanakan coup kontrarevolusioner telah ditangkap, dan alat komunikasi, serta sejumlah objek vital lainnya telah direbut oleh Gerakan 30 September. Selanjutnya akan dibentuk dewan-dewan revolusi, mulai dengan dewan revolusi tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa yang terdiri dari orang-orang sipil dan militer.

Selain pengumuman di pagi hari itu, RRI juga membuat beberapa pengumuman lainnya dari Gerakan 30 September. Namun, hal ini justru membuat masyarakat bertanya-tanya, apakah yang sebenarnya sedang terjadi?

Para pengurus DPP Gerwani yang masih sibuk mempersiapkan Kongres IV di hari itu mendapat kabar bahwa enam orang jenderal dan seorang perwira tewas terbunuh di Lubangbuaya, tempat para sukarelawan dan sukarelawati Gerwani, PR, SOBSI, dan organisasi lainnya mengikuti latihan perang.

Beberapa hari kemudian, terjadi kehebohan di masyarakat. Berbagai surat kabar lokal dan nasional yang mengutip sumber harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha milik tentara memberitakan keterlibatan Gerwani dalam pembunuhan jenderal-jenderal dan Gerakan 30 September pimpinan Untung.

Dalam berita itu juga disebutkan bahwa anggota Gerwani yang masih belia melakukan ritual setan dengan bertelanjang dada dan kalung bunga di dada. Mereka menari-nari erotis dan melakukan pesta seks dengan anggota PR. Seperti orang yang kesetanan, para anggota Gerwani dikabarkan mencongkel mata dan memotong-motong kemaluan para jenderal, sebelum jasadnya dilempar ke dalam sumur tua di daerah Lubangbuaya.

Selain Gerwani, fitnah keji juga ditujukan kepada anggota Pemuda Rakyat yang saat penyiksaan para jenderal terjadi ikut mengiringinya dengan musik sambil menyanyikan lagu Genjer-genjer karangan seniman asal Banyuwangi yang bernama Muhammad Arief. Lagu Genjer-genjer menceritakan masa kelaparan pada zaman pendudukan Jepang, tahun 1940.

Dalam laporan-laporan media saat itu, tarian mistis para anggota Gerwani disebut-sebut sebagai Tari Harum Bunga. Sejak peristiwa di Lubangbuaya itu, nama tarian ini menjadi cukup populer. Hal ini menimbulkan sejumlah kecurigaan dan tanda tanya. Benarkah Tari Harum Bunga ada? Siapakah pembuatnya?

Dalam beberapa wawancara penulis dengan sejumlah tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), tidak ada yang pernah mendengar Tari Harum Bunga Gerwani. Mereka hanya tahu lagu Genjer-genjer yang memang sudah ngetop di tengah masyarakat pedesaan di Jawa Timur dan sekitarnya, sebagai lagu yang menggambarkan kesengsaraan rakyat.

Dari penelusuran penulis, satu-satunya sumber yang mengetahui Tari Harum Bunga adalah Hersri Setiawan, mantan tahanan politik Pulau Buru dan anggota Lekra. Dalam bukunya Kamus Gestok, dia menyebut Tari Harum Bunga diciptakan oleh Suyud, Sekretaris Umum Lekra Jawa Tengah dan juga anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Kota Praja Semarang.

Saat penulis menanyakan lebih jauh tentang Tari Harum Bunga kepada Hersri, yang bersangkutan justru tidak menjawab dan membalasnya. Dalam bukunya itu, Hersri hanya menerangkan bahwa Tari Harum Bunga yang juga disebut dengan Tari Bunga Harum diperkenalkan pertama kali oleh koran-koran kuning seperti Api Pancasila, Angkatan Bersendjata, dan Berita Yudha.

Dalam bukunya itu, Hersri juga menyatakan bahwa Suyud dan istrinya hilang pada tahun 1966, di Salatiga, Jawa Tengah. Diduga, Suyud dan istrinya diculik dan dibunuh oleh tentara bersama sejumlah anggota dan simpatisan PKI dalam aksi jagal-jagal tahun 1965-1966.

Pertanyaannya kemudian adalah, benarkah Gerwani melakukan kekejaman dengan mencongkel mata dan memotong kelamin para jenderal seperti yang telah diberitakan oleh media-media saat itu? Ataukah ini hanya fitnah yang dimaksudkan untuk membakar kemarahan rakyat terhadap Gerwani?

Dalam laporan dua orang dokter tentara dan Tim Forensik yang salah satunya adalah dokter Rubiono Kertopati yang merupakan pendiri Lembaga Sandi Negara Indonesia, dan tiga orang dokter sipil yang juga ahli forensik yang satu di antaranya adalah dokter Sutomo Tjokronegoro disebutkan, bahwa tidak ada kerusakan pada alat kelamin dan mata para jenderal yang dibunuh oleh tentara yang melakukan putsch.

Hasil forensik itu telah diketahui sejak tanggal 5 Oktober 1965, saat jenazah para jenderal akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Kendati kebohongan berita kekejaman Gerwani di Lubangbuaya telah terbongkar, namun informasi ini tidak pernah diberitakan media-media yang telah dikuasai oleh Orde Baru saat itu. Sehingga, kebenaran ini tetap tidak diketahui masyarakat saat itu.

Presiden Soekarno yang mengetahui berita bohong itu masih tersebar di media pernah merasa sangat marah dengan wartawan yang ikut menyebarkan informasi menyesatkan yang berakibat pada terjadinya pembunuhan besar-besaran di daerah-daerah.

"Apa dikira kita ini orang bodoh! Tidak! Artinya, apa masuk akal, pen** dipotong-potong met 100 giletten? Zijn wij nou een volk van zoon lage kwaliteit (Apakah bangsa kita berkualitas sedemikian rendah) untuk menulis di surat kabar barang yang bukan-bukan!" kata Soekarno dengan gusar.

Meski Soekarno meminta kepada media saat itu untuk menulis dengan benar sesuai fakta yang terjadi di lapangan, permintaannya hanya masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan wartawan. Kata-kata Presiden Soekarno saat itu sudah tidak didengar lagi, karismanya sudah pudar dan kekuasaannya telah runtuh meski saat itu dirinya masih seorang Presiden.

Gerwani yang sedari awal mendukung politik dan kebijakan progresif Presiden Soekarno lalu membuat buletin Pendukung Komando Presiden Soekarno atau PKPS yang salah satu donaturnya adalah Ali Sadikin. Buletin ini diedarkan secara sembunyi-sembunyi oleh para pengurus DPP Gerwani yang berhasil untuk sementara waktu meloloskan diri dari penangkapan para tentara Orde Baru.

Selain membuat berita tandingan tentang apa yang terjadi di Lubangbuaya dan hasil forensik yang menyatakan tidak adanya jasad para jenderal yang matanya dicungkil dan kemaluannya dipotong, buletin yang dicetak dengan sangat terbatas itu tidak memberikan hasil apa-apa. Masyarakat yang terlanjur memakan fitnah terhadap Gerwani, tetap melakukan serangan-serangan terhadap para anggota dan kantor Gerwani di pusat dan cabang di daerah.

Bagai tikus, para anggota Gerwani diburu, tidak peduli tua maupun muda. Dengan kasar, mereka dilemparkan ke atas truk, dibawa ke dalam gedung lalu disiksa oleh tentara. Tidak jarang mereka yang disiksa harus meninggal dunia. Tidak hanya terhadap Gerwani, anggota organisasi pemuda, buruh, tani, dan seniman yang dekat dengan PKI juga diburu.

Salah satu gedung yang dijadikan tempat penyiksaan anggota Gerwani dan anggota organisasi lainnya yang memiliki kedekatan dengan PKI berada di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Gedung itu merupakan bekas sekolah Thionghoa dan dikenal sebagai rumah setan oleh para tahanan politik saat itu.

"Sri dihajar habis-habisan. Dia berpenampilan cukup seksi dengan kulit kekuning-kuningan dan buah dada yang besar, sehingga ketika dia berdiri (di) telanjang (i) di hadapan prajurit yang menyiksanya, dia benar-benar dilecehkan dan dihina kewanitaannya karena digerayangi seluruh tubunya," terang Sudjinah, salah seorang anggota DPP Gerwani yang berhasil selamat dari Rumah Setan.

Sri merupakan anggota SOBSI. Penyiksaan yang dialaminya selama di Rumah Setan diceritakan kepada Sudjinah dan dituliskan dalam buku kecil yang berjudul Terempas Gelombang Pasang.

Masih menurut Sudjinah, tidak sedikit anggota Gerwani yang ditangkap lalu diperkosa oleh tentara yang melakukan penyiksaan. Mereka yang tidak tahan dengan perlakuan itu akan menjadi gila dan stres. Bahkan ada yang nekat mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Saat berada di penjara Bukitduri, Sudjinah mengaku bertemu dengan beberapa wanita berusia belasan yang ditangkap karena dituduh menarikan Tari Harum Bunga, di Lubangbuaya. Jauh di dalam hatinya, Sudjinah mengaku heran, kok bisa seorang anak berumur di bawah 16 tahun menjadi anggota Gerwani dan sukarelawati ganyang Malaysia.

Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Gerwani (Bab III Pasal 2) tentang keanggotaan disebutkan, yang diterima menjadi anggota (Gerwani) adalah wanita warga negara Indonesia yang berumur 16 tahun ke atas. Dengan merujuk pasal ini, maka menjadi jelas bahwa wanita belia itu bukan anggota Gerwani.

Kepada Sudjinah, wanita-wanita itu mengaku sebenarnya mereka bukan anggota Gerwani, tetapi anggota Pemuda Rakyat yang sedang mengikuti latihan perang ganyang Malaysia. Mereka bisa sampai di penjara Bukitduri, karena ditangkap oleh tentara. Mereka juga mengaku saat terjadi penangkapan itu telah disiksa dengan sangat kejam, hingga sebagian dari mereka menjadi gila.

Sementara saat ditanya mengenai Tari Harum Bunga yang banyak diberitakan media saat itu, dan akhirnya melekat terhadap Gerwani dewasa ini, mereka mengaku tarian itu hanya bohong belaka dan tidak pernah ada. Yang sebenarnya terjadi adalah, para wanita itu ditelanjangi tentara dalam satu ruangan yang berada di penjara Bukitduri. Dalam ruangan itu mereka disuruh melompat-lompat sambil teriak, lalu difoto dan direkam video. Foto dan rekaman itulah yang kemudian dinamakan Tari Harum Bunga dan disebar ke masyarakat.

Kartinah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gerwani yang juga sempat mendekam di penjara Bukitduri juga menyatakan, dirinya sempat bertemu dengan wanita-wanita belia berusia 14 tahun yang katanya anggota Gerwani dan menari-nari bertelanjang dada saat berada di Lubangbuaya saat itu. Reaksinya saat mendengar cerita remaja-remaja wanita itu adalah sangat marah, karena mereka telah sangat berani menuding dan menyebar fitnah keji kepada Gerwani.

Namun saat mendengarkan keterangan dari remaja wanita bernama Jamilah dan Darsiyem yang memeragakan Tarian Harum Bunga, kemarahannya berangsur sirna. Kedua remaja itu mengaku bahwa mereka dipaksa tentara yang melakukan interogasi kepada mereka sambil terus menerus disiksa dengan brutal.

"Mereka bilang bahwa semua tanya jawab soal Lubangbuaya itu sudah dibikinkan oleh pemeriksanya. Dan mereka hanya disuruh membubuhkan cap jempol saja. Jadi memang semuanya sudah direkayasa," ungkapnya.

Keterangan Jamilah dan Darsiyem kepada Kartinah ini disampaikan langsung oleh keduanya saat mereka sama-sama mendekam di penjara Bukitduri, dan kesaksiannya ini diceritakan kembali kepada koresponden harian Sinar Harapan di Hongkong, Fransisca Ria Susanti dan telah dibukukan dalam kumpulan cerita 13 korban 1965-1966 dengan judul Kembang-Kembang Genjer.

Kini, setelah 50 tahun Gerakan 30 September berlalu, sisa-sisa kebohongan Orde Baru masih terawat dengan baik dan bisa ditemui dalam relief di Monumen Pahlawan Revolusi, kawasan Lubangbuaya, Jakarta Timur. Monumen ini sengaja dibangun Presiden Soeharto untuk mengabadikan kebohongan berita kekejaman Gerwani dan Tari Harum Bunga, di Lubangbuaya.

Dengan masih beradanya relief kekejaman PKI dalam monumem itu, berita bohong mengenai Tari Harum Bunga Gerwani masih terus dipertahankan oleh pemerintah yang berkuasa saat ini. Demikian, kebohongan yang dilakukan selama puluhan tahun itu telah menjadi kebenaran. Sampai di sini ulasan Cerita Pagi menyambut 50 tahun Gerakan 30 September 1965.

Sumber Tulisan
* Penyusupan PKI ke dalam Tubuh Gerwani, dikutip dari Alex Dinuth, Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis, Kumpulan Tulisan Terpilih tentang Gerakan Komunis dan Bahaya Ekstrim Lainnya di Indonesia, Penerbit Intermasa, 1997.
* Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang, Riwayat Wartawati dalam Penjara Orde Baru, Pustaka Utan Kayu, Maret 2003.
* Fransisca Ria Susanti, Kembang-Kembang Genjer, Jejak, Oktober 2007.
* John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Hasta Mitra, 2008.
* H Maulwi Saelan, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66, Visi Media, 2008.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4571 seconds (0.1#10.140)