Keraton Serahkan Konflik Kekancingan ke Pengadilan
A
A
A
YOGYAKARTA - Keraton Yogyakarta mengimbau kepada masyarakat yang menggunakan tanah Keraton agar meminta izin sehingga tidak asal menempati. Namun sementara ini Keraton memilih melakukan moratorium atau menghentikan memberikan surat kekancingan kepada masyarakat.
Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengatakan, pedagang kaki lima (PKL) yang menjadi tergugat atas polemik tanah Sultan Ground (SG) di Jalan Brigjen Katamso, Gondomanan, Kota Yogyakarta, karena tidak memiliki surat kekanciangan yang diterbitkan Keraton. “Yang menjadi masalah kan tidak mempunyai izin dalam arti tidak mengajukan permohonan kekancingan,” kata Sultan di DPRD DIY, kemarin.
Gubernur DIY ini mengungkapkan, sebenarnya kasus PKL yang digugat pemilik surat kekancingan, yakni Eka Karyawan, bukan urusan Keraton Yogyakarta. Polemik itu merupakan persoalan antara pemilik surat kekancingan dengan para PKL. “Masalahnya, PKL yang menempati tanah Keraton itu tidak berizin.”
“Dalam arti tidak memiliki kekancingan,” katanya. Atas persoalan ini, Keraton Yogyakarta mengambil sikap menyerahkan polemik tanah kekancingan kepada aparat penegak hukum. “Itu bukan urusane Keraton. Kalau saya (tidak) tunduk kepada hukum, nanti keputusannya gimana, “ katanya.
Menurut Sultan, Keraton tidak memihak atas perkara yang sudah masuk persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta itu. Bahkan, dengan tegas Keraton tidak akan menerbitkan surat kekancingan kepada tergugat. “Kalau saya terus terbitkan (surat kekancingan) setelah digugat, itu berarti saya memihak.
Itu bukan menyelesaikan masalah tapi malah menimbulkan konflik,” kata suami dari GKR Hemas ini. Sultan menjelaskan, surat kekancingan merupakan hak untuk menempati SG. “Yang jelas itu hanya hak untuk menempati, bukan memiliki,” katanya mengingatkan. Raja yang naik takhta sejak 7 September 1989 ini mengungkapkan, sebenarnya dengan mengantongi surat kekancingan sudah kuat bukti menempati SG.
Bahkan, kalau tanah itu diganggu oleh pihak lain, pemilik kekancingan bisa menggugat. “Misalnya, saya punya tanah, saya berikan hak kepada orang untuk menempati. Lalu ada orang tiba-tiba menempati tanah itu. Kira-kira orang itu (yang punya kekancingan) bisa menggugat,” katanya.
Sementara Ketua Tim Hukum Keraton Yogyakarta Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Nitinegoro memastikan surat yang ditunjukkan para PKL bukan surat yang dikeluarkan Keraton Yogyakarta. Dari hasil klarifikasi Panitikismo, surat yang dikeluarkan tahun 1932 dan berbahasa Belanda tersebut justru menguatkan tanah itu milik Keraton Yogyakarta.
Pria bernama lain Achiel Suyanto ini membeberkan surat itu berisi pernyataan tanah yang digunakan tersebut merupakan tanah Keraton. “Sudah kami cek, dokumen tersebut bukan pemberian hak dari Keraton, tapi pernyataan bahwa tanah itu merupakan tanah Keraton Yogyakarta,” ujarnya.
Achiel mengakui sebenarnya Keraton Yogyakarta tidak menginginkan polemik tanah kekancingan tersebut masuk ke ranah hukum. Namun, Panitikismo Keraton Yogyakarta juga akan meminta klarifikasi kepada Eka Aryawan selaku pemegang surat kekancingan. Klarifikasi ini untuk menanyakan latar belakang persoalan sampai dibawa ke meja hijau.
Dia berharap meski sudah masuk ranah perdata di PN Yogyakarta dengan gugatan Rp1 miliar lebih, perkara tersebut bisa diselesaikan dengan kekeluargaan. “Dulu perkara serupa pernah terjadi di Suryowijayan. Perkara diselesaikan dengan baik,” katanya. Achiel mengakui untuk prosedur permohonan kekancingan yang diminta penggugat sudah sesuai prosedur.
Sebab yang bersangkutan mengajukan permohonan ke Panitikismo Keraton Yogyakarta pada 2010, sedangkan surat kekancingan baru dikeluarkan setahun kemudian. Surat kekancingan No 203/- HT/KPK/2011 seluas 73 meter persegi. Dalam surat tersebut diberikan bukan untuk mendirikan bangunan tapi dalam bentuk tanah kosong yang digunakan untuk jalan keluar masuk.
“Di belakang SG tersebut merupakan tanah hak milik Eka Aryawan, yang bersangkutan mengajukan surat kekancingan untuk jalan keluar masuk,” katanya. Menurut Achiel, sebenarnya sebelum masuk ke ranah hukum, kedua belah pihak ada kesepakatan yang ditandatangani pada 2013 lalu. Dalam surat kesepakatan disebutkan jika terjadi konflik penyelesaian bisa dilakukan di pengadilan. “Tapi kami tetap menyesalkan apalagi ini dengan PKL, dalam perjanjian juga tidak ada klausul ganti rugi,” katanya.
Mediasi Gugatan Rp1 Miliar ke PKL Gagal
Terpisah, proses mediasi antara Eka Aryawan dan lima PKL Gondomanan menemui jalan buntu. Majelis hakim PN Yogyakarta mendorong agar kedua pihak sepakat berdamai pada sidang perdana gugatan yang berlangsung kemarin. “Kedua pihak siap damai, tapi tuntutan masing-masing tidak nyambung . Deadlock (buntu),” kata mediator dari PN Yogyakarta Sumedi, kemarin.
Eka adalah pengusaha yang menggugat lima PKL Perempatan Gondomanan, Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta, dengan berbekal surat kekancingan dari Keraton Yogyakarta No 203/HT/KPK/2011. Kelima PKL yang digugat adalah Agung Budi Santoso dan Budiyono. Keduanya PKL duplikat kunci. Kemudian Sugiyadi, Suwarni, serta Sutina. Ketiganya pedagang makanan.
Sebelumnya, Hakim Ketua Prio Utomo yang memimpin sidang perdana gugatan di PN Yogyakarta memberi waktu kepada penggugat dan tergugat bermediasi pada kasus gugatan perdata bernomor perkara 86/PDT/G/2015/PN.Yyk tersebut. Sumedi sudah mendengarkan tuntutan Eka dan para PKL. Intinya, Eka bersikeras kelima PKL angkat kaki dari lokasi mereka berjualan.
Sementara lima PKL bersikukuh tetap berjualan di lokasi itu. “Karena tidak nyambung , sementara proses mediasi dihentikan dulu. Berkas perkara kami kembalikan ke majelis hakim untuk ditentukan kapan sidang lanjutan digelar,” ujarnya. Kuasa hukum Eka, Onchan Poerba yang ditemui seusai persidangan, berdalih mengajukan gugatan hukum sebatas ingin mencari keadilan.
Dia meyakini para PKL tidak berhak berjualan di lokasi tepat di depan lahan kekancingan Eka yang telah dibangun ruko. Diketahui, lahan kekancingan Eka yang diperoleh tahun 2011 seluas 73 meter persegi. Sementara kelima PKL hanya menempati lahan 4 x 5 meter, itu pun dipakai bergiliran oleh kelima PKL tersebut. Dia mengklaim gugatan senilai Rp1,12 miliar masih manusiawi.
“Gugatan itu untuk keadilan, kami tak mengada-ada. Lima PKL sudah diajak baikbaik, kurang lebih enam bulan kami musyawarah, tapi tak berhasil. Ini gugatan manusiawi untuk keadilan,” katanya. Para PKL dianggap pedagang liar. Tawaran damai yang diajukan pihaknya sama sekali tak digubris. Tidak seperti dua PKL yang berjualan di samping lahan lima PKL yang bersedia diajak damai.
“Saya tak bilang tawaran damai berupa ganti rugi. Dua pedagang sudah selesai dengan baik. Mereka mengerti secara kemanusiaan karena merasa tak berhak menempati lahan itu,” katanya. Sementara kuasa hukum kelima PKL, Rizky Fatahilah mengatakan, setelah gugatan masuk persidangan, maka bola panas ada di tangan penggugat.
“Mereka yang mendalilkan, mereka yang harus buktikan di persidangan. Pada intinya, klien kami lebih dulu menempati lahan itu secara turun-temurun sejak tahun 1963,” kata kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta itu.
Ridwan anshori/ ristu hanafi
Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengatakan, pedagang kaki lima (PKL) yang menjadi tergugat atas polemik tanah Sultan Ground (SG) di Jalan Brigjen Katamso, Gondomanan, Kota Yogyakarta, karena tidak memiliki surat kekanciangan yang diterbitkan Keraton. “Yang menjadi masalah kan tidak mempunyai izin dalam arti tidak mengajukan permohonan kekancingan,” kata Sultan di DPRD DIY, kemarin.
Gubernur DIY ini mengungkapkan, sebenarnya kasus PKL yang digugat pemilik surat kekancingan, yakni Eka Karyawan, bukan urusan Keraton Yogyakarta. Polemik itu merupakan persoalan antara pemilik surat kekancingan dengan para PKL. “Masalahnya, PKL yang menempati tanah Keraton itu tidak berizin.”
“Dalam arti tidak memiliki kekancingan,” katanya. Atas persoalan ini, Keraton Yogyakarta mengambil sikap menyerahkan polemik tanah kekancingan kepada aparat penegak hukum. “Itu bukan urusane Keraton. Kalau saya (tidak) tunduk kepada hukum, nanti keputusannya gimana, “ katanya.
Menurut Sultan, Keraton tidak memihak atas perkara yang sudah masuk persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta itu. Bahkan, dengan tegas Keraton tidak akan menerbitkan surat kekancingan kepada tergugat. “Kalau saya terus terbitkan (surat kekancingan) setelah digugat, itu berarti saya memihak.
Itu bukan menyelesaikan masalah tapi malah menimbulkan konflik,” kata suami dari GKR Hemas ini. Sultan menjelaskan, surat kekancingan merupakan hak untuk menempati SG. “Yang jelas itu hanya hak untuk menempati, bukan memiliki,” katanya mengingatkan. Raja yang naik takhta sejak 7 September 1989 ini mengungkapkan, sebenarnya dengan mengantongi surat kekancingan sudah kuat bukti menempati SG.
Bahkan, kalau tanah itu diganggu oleh pihak lain, pemilik kekancingan bisa menggugat. “Misalnya, saya punya tanah, saya berikan hak kepada orang untuk menempati. Lalu ada orang tiba-tiba menempati tanah itu. Kira-kira orang itu (yang punya kekancingan) bisa menggugat,” katanya.
Sementara Ketua Tim Hukum Keraton Yogyakarta Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Nitinegoro memastikan surat yang ditunjukkan para PKL bukan surat yang dikeluarkan Keraton Yogyakarta. Dari hasil klarifikasi Panitikismo, surat yang dikeluarkan tahun 1932 dan berbahasa Belanda tersebut justru menguatkan tanah itu milik Keraton Yogyakarta.
Pria bernama lain Achiel Suyanto ini membeberkan surat itu berisi pernyataan tanah yang digunakan tersebut merupakan tanah Keraton. “Sudah kami cek, dokumen tersebut bukan pemberian hak dari Keraton, tapi pernyataan bahwa tanah itu merupakan tanah Keraton Yogyakarta,” ujarnya.
Achiel mengakui sebenarnya Keraton Yogyakarta tidak menginginkan polemik tanah kekancingan tersebut masuk ke ranah hukum. Namun, Panitikismo Keraton Yogyakarta juga akan meminta klarifikasi kepada Eka Aryawan selaku pemegang surat kekancingan. Klarifikasi ini untuk menanyakan latar belakang persoalan sampai dibawa ke meja hijau.
Dia berharap meski sudah masuk ranah perdata di PN Yogyakarta dengan gugatan Rp1 miliar lebih, perkara tersebut bisa diselesaikan dengan kekeluargaan. “Dulu perkara serupa pernah terjadi di Suryowijayan. Perkara diselesaikan dengan baik,” katanya. Achiel mengakui untuk prosedur permohonan kekancingan yang diminta penggugat sudah sesuai prosedur.
Sebab yang bersangkutan mengajukan permohonan ke Panitikismo Keraton Yogyakarta pada 2010, sedangkan surat kekancingan baru dikeluarkan setahun kemudian. Surat kekancingan No 203/- HT/KPK/2011 seluas 73 meter persegi. Dalam surat tersebut diberikan bukan untuk mendirikan bangunan tapi dalam bentuk tanah kosong yang digunakan untuk jalan keluar masuk.
“Di belakang SG tersebut merupakan tanah hak milik Eka Aryawan, yang bersangkutan mengajukan surat kekancingan untuk jalan keluar masuk,” katanya. Menurut Achiel, sebenarnya sebelum masuk ke ranah hukum, kedua belah pihak ada kesepakatan yang ditandatangani pada 2013 lalu. Dalam surat kesepakatan disebutkan jika terjadi konflik penyelesaian bisa dilakukan di pengadilan. “Tapi kami tetap menyesalkan apalagi ini dengan PKL, dalam perjanjian juga tidak ada klausul ganti rugi,” katanya.
Mediasi Gugatan Rp1 Miliar ke PKL Gagal
Terpisah, proses mediasi antara Eka Aryawan dan lima PKL Gondomanan menemui jalan buntu. Majelis hakim PN Yogyakarta mendorong agar kedua pihak sepakat berdamai pada sidang perdana gugatan yang berlangsung kemarin. “Kedua pihak siap damai, tapi tuntutan masing-masing tidak nyambung . Deadlock (buntu),” kata mediator dari PN Yogyakarta Sumedi, kemarin.
Eka adalah pengusaha yang menggugat lima PKL Perempatan Gondomanan, Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta, dengan berbekal surat kekancingan dari Keraton Yogyakarta No 203/HT/KPK/2011. Kelima PKL yang digugat adalah Agung Budi Santoso dan Budiyono. Keduanya PKL duplikat kunci. Kemudian Sugiyadi, Suwarni, serta Sutina. Ketiganya pedagang makanan.
Sebelumnya, Hakim Ketua Prio Utomo yang memimpin sidang perdana gugatan di PN Yogyakarta memberi waktu kepada penggugat dan tergugat bermediasi pada kasus gugatan perdata bernomor perkara 86/PDT/G/2015/PN.Yyk tersebut. Sumedi sudah mendengarkan tuntutan Eka dan para PKL. Intinya, Eka bersikeras kelima PKL angkat kaki dari lokasi mereka berjualan.
Sementara lima PKL bersikukuh tetap berjualan di lokasi itu. “Karena tidak nyambung , sementara proses mediasi dihentikan dulu. Berkas perkara kami kembalikan ke majelis hakim untuk ditentukan kapan sidang lanjutan digelar,” ujarnya. Kuasa hukum Eka, Onchan Poerba yang ditemui seusai persidangan, berdalih mengajukan gugatan hukum sebatas ingin mencari keadilan.
Dia meyakini para PKL tidak berhak berjualan di lokasi tepat di depan lahan kekancingan Eka yang telah dibangun ruko. Diketahui, lahan kekancingan Eka yang diperoleh tahun 2011 seluas 73 meter persegi. Sementara kelima PKL hanya menempati lahan 4 x 5 meter, itu pun dipakai bergiliran oleh kelima PKL tersebut. Dia mengklaim gugatan senilai Rp1,12 miliar masih manusiawi.
“Gugatan itu untuk keadilan, kami tak mengada-ada. Lima PKL sudah diajak baikbaik, kurang lebih enam bulan kami musyawarah, tapi tak berhasil. Ini gugatan manusiawi untuk keadilan,” katanya. Para PKL dianggap pedagang liar. Tawaran damai yang diajukan pihaknya sama sekali tak digubris. Tidak seperti dua PKL yang berjualan di samping lahan lima PKL yang bersedia diajak damai.
“Saya tak bilang tawaran damai berupa ganti rugi. Dua pedagang sudah selesai dengan baik. Mereka mengerti secara kemanusiaan karena merasa tak berhak menempati lahan itu,” katanya. Sementara kuasa hukum kelima PKL, Rizky Fatahilah mengatakan, setelah gugatan masuk persidangan, maka bola panas ada di tangan penggugat.
“Mereka yang mendalilkan, mereka yang harus buktikan di persidangan. Pada intinya, klien kami lebih dulu menempati lahan itu secara turun-temurun sejak tahun 1963,” kata kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta itu.
Ridwan anshori/ ristu hanafi
(bbg)