Kecerdasan Nenek Moyang Warga DIY Tinggi

Senin, 31 Agustus 2015 - 11:27 WIB
Kecerdasan Nenek Moyang Warga DIY Tinggi
Kecerdasan Nenek Moyang Warga DIY Tinggi
A A A
YOGYAKARTA - DIY memang istimewa dibandingkan daerah lain di Indonesia. Karena di sini begitu lengkap temuan sejarah mulai dari situs zaman prasejarah hingga zaman kolonial Belanda.

Gua-gua berhala saat zaman prasejarah banyak yang ditemukan di Gunung kidul. Sementara zaman klasik dibuktikan dengan ada candi-candi, seperti Prambanan, Kalasan, Sambisari, Ijo, Barong, dan Ratu Boko. Di sini juga bukti ada masa Mataram Islam, bahkan sejak berdiri kerajaan Mataram Kuno. Selain itu, ditemukan pula gua-gua peninggalan zaman Jepang atau kolonial yang ada di Bantul. Ya, semuanya dapat ditemukan dan dipelajari di Yogyakarta.

“Karena ini salah satu tujuannya itu untuk pembelajaran anak kita ke depan. Kalau nenek moyang kita itu sudah menguasai banyak ilmu,” kata Kepala Kelompok Kerja (Ka - pokja) Perlindungan, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta Muhammad Taufik, kemarin. Misalnya, peripih yang ditemukan di setiap candi Hindu. Peripih ini merupakan nyawa dari candi itu sendiri yang digunakan untuk tempat pemujaan kepada dewa.

Dari segi konstruksi bangunan candi ada sambungan antara batu dengan batu yang lainnya. Ini adalah keanehan. “Dari sambungan batu yang aneh, itu berarti kan nenek moyang kita saat itu sudah mengenal konstruksi bangunan,” katanya. Selain itu, ornamen candinya. Selalu imajinasinya diambil dari lingkungan-lingkungan yang ada di sekitarnya. “Dari sisi ilmu astronominya pun ada. Candi selalu menghadap barat-timur berdasar lintasan matahari. Tapi ada saja yang bergeser 30 derajat,” ungkapnya.

Sebab matahari pun lintasannya ada tiga pergerakan. Maret hingga Juni berada di atas khatu - lis tiwa. Setelah itu, bergeser ke utara 30 derajat hingga September dan begitu seterusnya. “Dulu belum ada kompas, mendirikan bangunan candi melalui pergerakan matahari. Yang paling penting memang pembelajaran bahwa nenek moyang kita ternyata ilmunya sudah tinggi,” katanya bangga.

Meski sudah banyak yang dilestarikan, tetap saat ini ma sih terus ada temuan-temuan baru. Situs-situs atau batu yang diduga merupakan bagian dari candi. Contohnya, temuan batu Yoni pada Maret lalu di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Kemudian ba tu Kala yang berada di Dusun Karangbajang, Desa Tlogoadi, Kecamatan Mlati, Sleman, Mei lalu. Untuk di Karangbajang memang beberapa waktu lalu sudah dilakukan proses ekskavasi oleh BPCB. Berjarak sekitar 200 meter dari temuan tersebut. Karena memang di lokasi ini pada 1987 pernah ada temuan batu atau arca, contohnya Nandi yang merupakan kendaraan Dewa Siwa. Tapi dalam ekskavasi yang pertama belum menunjukkan hasil memuaskan.

Direncanakan pada akhir tahun ini kembali dilakukan. “Rencananya ekskavasi yang kedua di tempat yang kemarin ada temuan Kala itu. Di tengah sawah,” kata Tau fik. Selain itu, juga masih ada beberapa situs lagi membutuhkan penelitian lebih lanjut. “Ada salah satu gua di Gunungkidul yang perlu diteliti lagi. Dugaannya, itu tempat persembunyian putri (kerajaan) Majapahit,” ucapnya. Selain masih ada yang perlu diekskavasi, juga banyak harus dipugar.

Di antaranya Candi Kalasan karena bebatuannya rapuh dan membahayakan bagi orang yang berada di dekatnya. Kemudian Candi Perwara (pendamping) di kompleks Candi Prambanan. Candi ini jumlahnya 224 unit dan baru berdiri dua buah. Mulai 2015 ini, BPCB mematok target setiap tahun bisa mendirikan satu candi. Selain itu, masih ada situs Candi Ke dulan yang berada di Kalasan, Sleman. Candi ini terpendam sedalam 6–7 meter karena terjadi erupsi Merapi.

Baru pada 1993 ditemukan dan di proyeksikan akan menjadi Pusat Stu di Volcano Arkeologi. Tak hanya tiga situs tersebut, masih ada candi lainnya saat ini masih proses pemugaran, yaitu Candi Ijo dan Candi Barong di Prambanan. “Agustus ini sudah ada yang dimulai pemugaran. Candi Ijo dan Candi Ra tu Boko, taludnya. Ratu Boko ini sebelumnya jalan yang kami pugar, sekarang talud di sebelah timurnya.

Kemudian juga Candi Barong, tapi sudah hampir selesai,” kata Kepala Seksi Per lin - dungan Pengembangan dan Pemanfaatan BPCB Yogyakarta Wahyu Astuti. Dengan banyak situs yang ditemukan, pihaknya berharap kesadaran masyarakat terus me ningkat dalam pelestarian wa risan budaya. “Memang tanah di Yogyakarta ini istimewa,” ucapnya.

Mistis dan Modus

Proses penyelamatan warisan budaya sering tak berjalan mu lus. Ada saja kendala yang dialami BPCB Yogyakarta, salah satunya dalam hal mistis. Menurut Kapokja Perlindung an BPCB Yogyakarta, Muhammad Taufik, ada dua pengalaman mistis saat akan melakukan ekskavasi, yaitu di situs Karangbajang di Desa Tlogoadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman. ‘Sebenarnya, kami tidak mengenal mistis. Tapi yang me mang dalam proses ekskavasi, ada saja kami temukan di masyarakat,” ujarnya. Di situs Karangbajang ada ke percayaan dari masyarakat. Ketika ada suatu benda yang diambil dan dibawa keluar dari daerah itu, akan ada salah satu warga yang meninggal.

Karena itu, masyarakat setempat meminta syarat kepada BPCB jika ingin menggali harus ada suatu upacara selamatan. Berdoa dengan difasilitasi berbagai ubarampe seperti tiga pasang ayam ingkung, pisang yang berjenis tertentu, serta dilakukan pada malam Jumat, pa - saran tanggal Jawa, Legi atau Kli won. “Ya mau bagaimana lagi, itu syarat dari warga untuk mengizinkan kami melakukan ekskavasi,” tuturnya.

Pengalaman tersebut juga pernah dialami saat ekskavasi situs candi di daerah Pulutan, Playen, Gunungkidul. “Pada 2013 lalu, tapi biayanya lebih murah dibanding kendurenan di Karangbajang. Di Pulutan kalaupun tidak dilakukan tidak apa-apa. Tapi tetap kami laku - kan. Situs itu kan dulu untuk tem pat beribadah, jadi untuk meng hormati mereka saja,” ucapnya. Mereka juga pernah menemukan oknum warga yang me - lakukan “modus” mengaku menemukan suatu benda warisan bu daya.

“Itu di Gunungkidul, du lu tempatnya saya lupa. Jadi dia itu modus ternyata hanya i - ngin mendapatkan imbalan,” ujarnya. Meski demikian, pengalaman ini tak menjadi kendala berarti. “Itu tidak terlalu menjadi ken dala. Yang paling terasa (ken dalanya) itu, ketika ingin melakukan pembebasan tanah,” kata Kepala Seksi Per lindungan Pengembangan dan Pemanfaatan BPCB Yogyakarta Wah yu Astuti.

Seperti di kawasan Candi Kalasan. Keinginannya membebaskan tanah di sekitarnya agar nanti bisa terlihat dari Ja lan Raya Yogya-Solo. Namun dari appraisal yang dilakukan, per meter tak lebih dari Rp5 juta, tapi pemilik tanah tak mau melepasnya jika bukan Rp15 juta.

“Ini kan yang mau membeli pemerintah. Jadi kami beli tanah yang pemiliknya berkenan terlebih dahulu. Kalau untuk kesadarannya mengenai pelestarian warisan budaya, masyarakat Yogya sudah baik. Ketika ada temuan juga melaporkan ke kami,” katanya.

Ridho hidayat
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8089 seconds (0.1#10.140)