Kesucian Hati

Minggu, 30 Agustus 2015 - 10:24 WIB
Kesucian Hati
Kesucian Hati
A A A
Nabi Sulaiman yang oleh Allah SWT dianugerahi suatu mukjizat berupa kesanggupan untuk menundukkan berbagai macam binatang, jin, setan, angin, badai, serta berdialog dengan semua makhluk itu suatu hari pernah merasa “kehilangan” burung hudhud kesayangannya.

Burung ini memiliki keistimewaan yang dibutuhkan banyak orang, yakni sanggup menunjukkan genangan atau aliran air dalam tanah yang kemudian bisa dialirkan ke permukaan untuk keperluan minum, memasak, memberikan minum ternak, mengairi tetumbuhan, dan bersuci. Hal itu dilakukan dengan cara mematuk-matukkan paruhnya ke tanah yang di bawahnya terkandung air. Begitu geram beliau ketika si hudhud tidak tampak di hadapannya.

“Kalau dia sengaja membangkang, sungguh akan aku siksa dia atau akan aku sembelih. Tapi boleh jadi juga dia nanti akan datang kepadaku dengan alasan yang nyata dan dapat dibenarkan,” ungkap Beliau. Tidak berapa lama setelah itu, si hudhud datang dan menghadap Sulaiman, seorang nabi yang sekaligus raja.

Dia mendongakkan kepala, juga menggerak-gerakkan ekor dan kedua sayapnya sebagai tanda penghormatan dan rasa tunduk terhadap Nabi Sulaiman. Si hudhud, yang di dalam kitab Mantiq al- Thayr-nya Syaikh Fariduddin al-’Aththar (wafat pada 1230 M), dijadikan penanda bagi seorang penuntun rohani, dengan penuh takzim bertutur kepada Nabi Sulaiman: “Aku mengetahui apa yang tidak kau ketahui. Dan kini aku datang kepadamu dari Negeri Saba’ dengan berita yang sungguh meyakinkan.”

Dalam penuturannya terhadap Nabi Sulaiman, burung hudhud itu juga menyatakan bahwa ia menyaksikan seorang ratu di Negeri Saba’ yang memiliki segala sesuatu sebagaimana yang dimiliki raja-raja, berupa menteri-menteri, tentara-tentara, dan aneka senjata yang diperlukan dalam peperangan. Tak ketinggalan, dia juga memiliki istana yang begitu agung. “Tapi sayang, ratu itu beserta seluruh rakyat yang berada di bawah kekuasaannya menyembah matahari,” ujar burung itu. Itulah inti narasi yang didedahkan Alquran surat an- Naml ayat 20–24.

Meskipun hal itu merupakan realitas historis yang pernah dialami Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis, tapi bagi seorang sufi agung yang paling bertanggung terhadap konsepsi wihdatul wujudyang tidak lain adalah Ibn ‘Arabi (1165–1240), narasi historis seperti itu pun juga perlu ditakwilkan agar bisa direnungi dan diresapi nilainilai profetiknya oleh mereka yang mendalami Alquran.

Di antara lembar-lembar kitab Tafsir Ibn ‘Arabi (Beirut: Dar al-Kutub, cet. II, 2006) diungkapkan bahwa Sulaiman itu sesungguhnya merupakan simbol bagi hati orang beriman yang terselamatkan dari ketergantungan dan kegandrungan terhadap apa pun selain Allah SWT. Sedangkan, burung hudhud adalah lambang kekuatan spiritual dari suatu renungan yang dituntun cahaya akal.

Ketika renungan itu tanpa cahaya akal dan terpeleset ke jurang prasangka, dia kemudian berubah menjadi imajinasi yang kosong. Saat itulah objek yang direnungi itu menjadi kalis, bahkan tiada. Sadar tentang serongnya orientasi renungan itu, hati yang telah tersucikan di atas berjanji “menyiksanya” dengan training spiritual yang gigih dan mencegahnya tunduk terhadap taring-taring prasangka.

Bukan apa-apa, membiarkan renungan itu tetap serong, berarti siapa pun melepas dirinya pada kekeliruan persepsi. Inilah efek berikutnya: dia akan menarik kesimpulan secara melenceng pula. Ketika potensi pikir atau renungan itu sudah lurus kembali dengan ditegakkannya riyadhahyang terfokus terhadap keagungan dan keindahan-Nya semata, sebagaimana yang telah ditandaskan Alquran, seketika itu pula dia akan sanggup mentransendensikan seluruh anggota tubuh dengan berbagai macam aktivitasnya masing-masing.

Pada saat mengalami transendensi seperti itu, setiap kali kaki melangkah, tujuannya hanyalah Allah SWT semata. Setiap kali tangan beraktivitas, kiblatnya hanyalah Dia semata. Setiap kali mata memandang, fokusnya hanyalah Dia semata. Setiap kali telinga mendengar, perhatiannya hanyalah Dia semata. Setiap kali mengunyah makanan, titik tumpunya hanyalah Dia semata. Setiap kali menenggak minuman, tumpuan hasratnya hanyalah Dia semata. Setiap kali mau tidur, impiannya hanyalah Dia semata. Setiap kali mau mencari nafkah untuk anak dan istri, bayangannya hanyalah Dia semata. Setiap kali berbincang dengan keluarga, yang tampak hanyalah Dia semata.

Setiap srawung(interaksi) dengan tetangga dan handai tolan, yang dirasa menggerakkannya hanyalah Dia semata. Setiap kali melakukan pengembaraan ke tempat- tempat yang jauh sebagaimana yang dilakukan burung hudhud, yang menjadi kawan sejatinya hanyalah Dia semata.

Itulah sebabnya, kenapa Syaikh Abu Hafsh ‘Umar as- Suhrowardi dalam kitab ‘Awarif al-Ma’arifnya dengan gamblang menyatakan: “Khusyukku ketika aku makan sama sekali tidaklah kalah dibandingkan dengan khusyukku ketika aku salat.” Wallahu a’lamu bish-shawab. Kuswaidi Syafiie, pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta.

Kuswaidi Syafi’ie
Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1193 seconds (0.1#10.140)