Gunungan BakpaoArem-arem Pengganti Hasil Bumi
A
A
A
YOGYAKARTA - Gunungan cukup familier bagi masyarakat di DIY setiap kali menggelar ritual seperti bersih desa atau acara adat lainnya.
Biasanya gunungan dibuat menggunakan bahan hasil bumi atau produk pertanian. Gunungan ini biasanya sebagai representasi rasa syukur masyarakat terhadap rezeki yang diterima dalam hal ini dari bidang pertanian. Bagi wilayah yang sudah tidak memiliki aktivitas pertanian seperti yang ada di Kota Yogyakarta, gunungan bakpao dan arem-arem karya warga Kampung Dipowinatan, Keparakan, Mergangsan, merupakan kreativitas menyiasati situasi itu.
"Kalau kami buat gunungan dengan bahan produk pertanian itu tidak merepresentasikan hasil karya warga kampung kami. Karena di sini tidak ada pertanian. Usaha ekonomi kecil yang cukup lama berkembang di kampung kami adalah pembuatan bakpao dan arem-arem, akhirnya kami pilih kedua produk makanan tersebut untuk menjadi bahan gunungan untuk Upacara Merti Golong Gilig setiap tahun," tandas Ketua Paguyuban Warga Dipowinatan (PWD) Rohadi Mantoro kemarin.
Bakpao adalah makanan berbahan tepung gandum yang diolah dengan memberikan perasa di dalamnya. Yang paling dikenal adalah bakpao isi kumbu yang berbahan tepung kacang hijau yang dicampur dengan gula. Sementara arem-arem adalah lontong nasi yang dikreasikan dengan mengisikan lauk di bagian tengah.
Menu lauk yang paling sering diisikan di arem-arem adalah sayur tempe pedas untuk menggugah selera makan. "Bakpao dan aremarem ini banyak diproduksi warga dulu saat Terminal Kota Yogyakarta ada di THR yang berada di sisi utara kampung kami. Makanan tersebut dijajakan sebagai penopang ekonomi warga. Saat ini setelah terminal pindah hingga dua kali, masih ada warga yang mengusahakan kedua makanan tersebut meskipun tidak seramai dulu," tambah Rohadi Mantoro.
Keberadaan gunungan bakpao dan arem-arem menjadikan prosesi Upacara Adat Merti Golong Gilig yang dikreasikan warga Kampung Dipowinatan menarik masyarakat umum. Keunikan gunungan tersebut membuat banyak pihak yang bertemu rombongan karnaval Merti Golong Gilig mengabadikan dengan kamera.
Acara semakin menarik ketika gunungan berbahan makanan tersebut langsung menjadi rebutan dari masyarakat yang memenuhi ruang publik Kampung Dipowinatan yang berada di tengah-tengah kampung tersebut.
Layaknya seperti gunungan yang dikeluarkan Keraton Yogyakarta, semua yang hadir menginginkan untuk bisa mendapatkan setidaknya salah satu dari puluhan bakpao dan aremarem yang diarak keliling kampung tersebut. "Sempat kita lakukan pembagian tidak saling berebut. Tapi ternyata malah mengurangi nilai dari gunungan, karena gunungan itu biasanya diperebutkan bukan dibagi-bagi," tandas Ketua Panitia Merti Golong Gilig, Sigit Istiarto.
Kini agenda perebutan gunungan bakpao dan aremarem justru dimanfaatkan menjadi tanda dimulainya pasar rakyat yang digelar warga Kampung Dipowinatan. Prosesi Merti Golong Gilig merupakan pengisi acara sebelum digelarnya pasar rakyat, sebuah agenda makan besar bersama warga Kampung Dipowinatan di jalan-jalan protokol kampung.
Ibu-ibu PKK dari 14 RT mengeluarkan makanan sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk disuguhkan kepada warga yang hadir. Masyarakat bisa mengambil atau meminta untuk dinikmati dengan gratis. "Syaratnya hanya satu, dimakan di tempat dan tidak boleh dibawa pulang. Karena di sini kita ingin menyediakan sarana berkumpulnya warga masyarakat secara bersamasama," tambah Sigit.
Acara makan bersama yang digelar rutin setiap tahun, yakni pada 18 Agustus, tersebut menjadi sarana kumpulkumpul warga kampung. Bahkan, mereka yang seharihari pergi merantau banyak yang menyempatkan diri untuk pulang agar bisa ikut menikmati Merti Golong Gilig dan Pasar Rakyat di Kampung Dipowinatan.
MAHA DEVA
Biasanya gunungan dibuat menggunakan bahan hasil bumi atau produk pertanian. Gunungan ini biasanya sebagai representasi rasa syukur masyarakat terhadap rezeki yang diterima dalam hal ini dari bidang pertanian. Bagi wilayah yang sudah tidak memiliki aktivitas pertanian seperti yang ada di Kota Yogyakarta, gunungan bakpao dan arem-arem karya warga Kampung Dipowinatan, Keparakan, Mergangsan, merupakan kreativitas menyiasati situasi itu.
"Kalau kami buat gunungan dengan bahan produk pertanian itu tidak merepresentasikan hasil karya warga kampung kami. Karena di sini tidak ada pertanian. Usaha ekonomi kecil yang cukup lama berkembang di kampung kami adalah pembuatan bakpao dan arem-arem, akhirnya kami pilih kedua produk makanan tersebut untuk menjadi bahan gunungan untuk Upacara Merti Golong Gilig setiap tahun," tandas Ketua Paguyuban Warga Dipowinatan (PWD) Rohadi Mantoro kemarin.
Bakpao adalah makanan berbahan tepung gandum yang diolah dengan memberikan perasa di dalamnya. Yang paling dikenal adalah bakpao isi kumbu yang berbahan tepung kacang hijau yang dicampur dengan gula. Sementara arem-arem adalah lontong nasi yang dikreasikan dengan mengisikan lauk di bagian tengah.
Menu lauk yang paling sering diisikan di arem-arem adalah sayur tempe pedas untuk menggugah selera makan. "Bakpao dan aremarem ini banyak diproduksi warga dulu saat Terminal Kota Yogyakarta ada di THR yang berada di sisi utara kampung kami. Makanan tersebut dijajakan sebagai penopang ekonomi warga. Saat ini setelah terminal pindah hingga dua kali, masih ada warga yang mengusahakan kedua makanan tersebut meskipun tidak seramai dulu," tambah Rohadi Mantoro.
Keberadaan gunungan bakpao dan arem-arem menjadikan prosesi Upacara Adat Merti Golong Gilig yang dikreasikan warga Kampung Dipowinatan menarik masyarakat umum. Keunikan gunungan tersebut membuat banyak pihak yang bertemu rombongan karnaval Merti Golong Gilig mengabadikan dengan kamera.
Acara semakin menarik ketika gunungan berbahan makanan tersebut langsung menjadi rebutan dari masyarakat yang memenuhi ruang publik Kampung Dipowinatan yang berada di tengah-tengah kampung tersebut.
Layaknya seperti gunungan yang dikeluarkan Keraton Yogyakarta, semua yang hadir menginginkan untuk bisa mendapatkan setidaknya salah satu dari puluhan bakpao dan aremarem yang diarak keliling kampung tersebut. "Sempat kita lakukan pembagian tidak saling berebut. Tapi ternyata malah mengurangi nilai dari gunungan, karena gunungan itu biasanya diperebutkan bukan dibagi-bagi," tandas Ketua Panitia Merti Golong Gilig, Sigit Istiarto.
Kini agenda perebutan gunungan bakpao dan aremarem justru dimanfaatkan menjadi tanda dimulainya pasar rakyat yang digelar warga Kampung Dipowinatan. Prosesi Merti Golong Gilig merupakan pengisi acara sebelum digelarnya pasar rakyat, sebuah agenda makan besar bersama warga Kampung Dipowinatan di jalan-jalan protokol kampung.
Ibu-ibu PKK dari 14 RT mengeluarkan makanan sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk disuguhkan kepada warga yang hadir. Masyarakat bisa mengambil atau meminta untuk dinikmati dengan gratis. "Syaratnya hanya satu, dimakan di tempat dan tidak boleh dibawa pulang. Karena di sini kita ingin menyediakan sarana berkumpulnya warga masyarakat secara bersamasama," tambah Sigit.
Acara makan bersama yang digelar rutin setiap tahun, yakni pada 18 Agustus, tersebut menjadi sarana kumpulkumpul warga kampung. Bahkan, mereka yang seharihari pergi merantau banyak yang menyempatkan diri untuk pulang agar bisa ikut menikmati Merti Golong Gilig dan Pasar Rakyat di Kampung Dipowinatan.
MAHA DEVA
(ftr)