Hindari Tindakan Diskriminasi, PRT Harus Paham Peraturan
A
A
A
SEMARANG - Faktor pendidikan dinilai berperan dalam tingginya kasus tindak diskriminatif terhadap pekerja rumah tangga (PRT) di Kota Semarang.
Pekerja tidak memahami aturan perundang-undangan, termasuk hak-haknya sebagai PRT. Ketua Serikat Pekerja Rumah Tangga (PRT) Merdeka Kota Semarang Nur Kasanah menyatakan, sekitar 80% dari seluruh PRT yang ada di Kota Atlas memiliki tingkat pendidikan sangat rendah.
“Tak hanya di Kota Semarang, hampir di seluruh Indonesia banyak PRT yang berpendidikan rendah. Akibatnya, mereka hanya mau bekerja tanpa mengetahui hak-haknya yang melekat pada majikannya. Inilah yang menyebabkan banyak majikan memanfaatkan ketidaktahuan PRT untuk melakukan tindakan diskriminatif,” katanya saat ditemui dalam acara sekolah PRT di Desa Kedung Jangan Kota Semarang kemarin.
Kondisi ini diperparah dengan sikap pemerintah yang terkesan tutup mata terhadap perlakuan diskriminatif PRT. Nur Kasanah mengatakan, tidak ada upaya apa pun yang dilakukan untuk memberikan bantuan kepada mereka khususnya di bidang pendidikan.
“Sampai sekarang tidak ada upaya pemerintah menyelesaikan masalah ini. Selama ini para PRT tidak pernah dibekali pelatihan- pelatihan oleh pemerintah. Padahal, PRT juga sangat perlu untuk mendapatkan pelatihan seperti di Balai Latihan Kerja (BLK) yang diberikan calon pekerja luar negeri,” tandasnya.
Nur Kasanah menyatakan, kondisi tersebutlah yang mendasarinya mendirikan sekolah PRT pada serikat yang didirikannya itu. Dalam sekolah tersebut, semua anggota yang merupakan PRT diajarkan soal hukum, peraturan perundang-undangan, kesehatan perempuan, serta pengetahuan tentang hak-hak mereka.
“Selain memberikan pengetahuan akan hak-hak mereka, seperti hak mendapatkan upah layak, hak cuti, dan sebagainya, sekolah ini juga kami harapkan mampu menjadikan PRT semakin percaya diri melawan tindakan diskriminatif,” paparnya.
Salah satu peserta sekolah PRT, Soimah, 24, menilai pendidikan informal yang diikutinya sangat memberikan manfaat. Selain, dia juga diajarkan bagaimana cara bernegosiasi dengan majikan terkait hakhaknya sebagai PRT.
“Dulu sebelum ikut sekolah ini, mau menolak atau meminta sesuatu dari majikan saja takut dan tidak berani. Setelah ikut sekolah dan mengetahui bahwa saya memiliki hak-hak untuk itu, saya jadi berani berkomunikasi dengan majikan,” ungkap perempuan asal Wonosobo ini.
Andika prabowo
Pekerja tidak memahami aturan perundang-undangan, termasuk hak-haknya sebagai PRT. Ketua Serikat Pekerja Rumah Tangga (PRT) Merdeka Kota Semarang Nur Kasanah menyatakan, sekitar 80% dari seluruh PRT yang ada di Kota Atlas memiliki tingkat pendidikan sangat rendah.
“Tak hanya di Kota Semarang, hampir di seluruh Indonesia banyak PRT yang berpendidikan rendah. Akibatnya, mereka hanya mau bekerja tanpa mengetahui hak-haknya yang melekat pada majikannya. Inilah yang menyebabkan banyak majikan memanfaatkan ketidaktahuan PRT untuk melakukan tindakan diskriminatif,” katanya saat ditemui dalam acara sekolah PRT di Desa Kedung Jangan Kota Semarang kemarin.
Kondisi ini diperparah dengan sikap pemerintah yang terkesan tutup mata terhadap perlakuan diskriminatif PRT. Nur Kasanah mengatakan, tidak ada upaya apa pun yang dilakukan untuk memberikan bantuan kepada mereka khususnya di bidang pendidikan.
“Sampai sekarang tidak ada upaya pemerintah menyelesaikan masalah ini. Selama ini para PRT tidak pernah dibekali pelatihan- pelatihan oleh pemerintah. Padahal, PRT juga sangat perlu untuk mendapatkan pelatihan seperti di Balai Latihan Kerja (BLK) yang diberikan calon pekerja luar negeri,” tandasnya.
Nur Kasanah menyatakan, kondisi tersebutlah yang mendasarinya mendirikan sekolah PRT pada serikat yang didirikannya itu. Dalam sekolah tersebut, semua anggota yang merupakan PRT diajarkan soal hukum, peraturan perundang-undangan, kesehatan perempuan, serta pengetahuan tentang hak-hak mereka.
“Selain memberikan pengetahuan akan hak-hak mereka, seperti hak mendapatkan upah layak, hak cuti, dan sebagainya, sekolah ini juga kami harapkan mampu menjadikan PRT semakin percaya diri melawan tindakan diskriminatif,” paparnya.
Salah satu peserta sekolah PRT, Soimah, 24, menilai pendidikan informal yang diikutinya sangat memberikan manfaat. Selain, dia juga diajarkan bagaimana cara bernegosiasi dengan majikan terkait hakhaknya sebagai PRT.
“Dulu sebelum ikut sekolah ini, mau menolak atau meminta sesuatu dari majikan saja takut dan tidak berani. Setelah ikut sekolah dan mengetahui bahwa saya memiliki hak-hak untuk itu, saya jadi berani berkomunikasi dengan majikan,” ungkap perempuan asal Wonosobo ini.
Andika prabowo
(ftr)