Perang Palembang, Pertempuran Sengit Pasukan Badaruddin II Melawan Belanda

Jum'at, 14 Agustus 2015 - 05:00 WIB
Perang Palembang, Pertempuran Sengit Pasukan Badaruddin II Melawan Belanda
Perang Palembang, Pertempuran Sengit Pasukan Badaruddin II Melawan Belanda
A A A
Kesultanan Palembang adalah kerajaan bercorak maritim yang berkuasa di wilayah Sumatera Selatan dengan pusat pemerintahan di kota Palembang pada awal abad ke-19.

Raja pertama adalah Ki Gedeng Suro, seorang Jawa yang mengungsi ke Palembang akibat kemelut tahta di Demak.

Kota Palembang sebagai pusat pemerintahan kesultanan, terletak agak ke pedalaman dari bibir pantai.

Namun adanya aliran sungai Musi yang membelah kota itu menjadi bagian hulu dan hilir menyebabkan berkembangnya kebudayaan maritim sungai.

Bahkan kapal-kapal besar pun bisa memasuki aliran sungai Musi dan berlayar lebih jauh ke daerah pedalaman. Tidak heran kota ini kemudian dijuluki sebagai "Venice from the East" oleh orang-orang Eropa.

Bangsa asing pertama yang terlibat konflik dengan kesultanan adalah Inggris, yang memegang mandat sementara atas koloni Belanda di Nusantara sampai perang melawan Napoleon di Eropa selesai.

Sebuah peristiwa pembunuhan orang-orang Eropa di Palembang yang dikenal dengan "Palembang Massacre" membuat Raffles geram kepada pemimpin kesultanan saat itu, Sultan Mahmud Badaruddin II (1803-1821).

Raffles kemudian memerintahkan Mayor Jendral Robert Gillispie untuk menggempur Palembang, namun mendapat perlawanan sengit dari Sultan Mahmud Badaruddin II.

Setelah takluk di tangan Inggris, wilayah kesultanan terbagi menjadi dua, wilayah pedalaman menjadi kekuasaan Badaruddin II sedangkan ibukota dikuasai oleh Sultan Ahmad Najmuddin II, sepupu Badaruddin II yang berkhianat.

Keadaan mulai berubah ketika Konvensi London 1814 diresmikan. Inti dari konvensi ini menyatakan Inggris harus menyerahkan kembali koloni VOC yang dikuasainya kepada Kerajaan Belanda.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berkuasa di Nusantara, tetapi pemerintahan yang masih muda itu juga mewariskan kekacauan yang terjadi di Sumatra akibat ulah Raffles yang membagi Kesultanan Palembang.

Karena itulah pada tahun 1818, kedua kesultanan dipersatukan kembali dengan Badaruddin II sebagai sultannya.

Untuk mengetahui sejauh mana kesetiaan sultan kepada pemerintah kolonial, maka Belanda mengirimkan ekspedisi ke pedalaman di bawah pimpinan Muntinghe pada Mei 1819.

Dalam ekspedisinya itu Muntinghe diserang oleh rakyat Palembang dan dia menyalahkan sultan atas perbuatan rakyatnya.

Sebagai jaminan agar sultan tidak berbuat macam-macam, pemerintah kolonial meminta putra mahkota (Pangeran Ratu) untuk didatangkan ke Batavia.

Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh sultan. Hal ini ditanggapi Belanda dengan mengirimkan 200 orang tentara berikut dua kapal perangnya, Eendtagt dan Ajax, untuk menghukum Badaruddin II.

Namun penyerbuan yang dilakukan oleh 200 prajurit Belanda ke dalam Kuto Besak mengalami kegagalan akibat kokohnya pertahanan benteng yang dijaga oleh rakyat Palembang.

Karena tak bisa menembus tembok Kuto Besak (yang tebalnya 2 meter), Muntinghe pun mundur dan kembali ke Batavia pada 15 Juni 1819.

Kemenangan ini disambut dengan sukacita oleh rakyat Palembang. Namun sultan tahu kalau Belanda akan kembali lagi dengan kekuatan yang lebih besar.

Sultan beranggapan bahwa Belanda akan kembali melalui aliran sungai Musi karena kondisi daratan Palembang yang penuh rawa tidak cocok untuk dilalui oleh pasukan darat.

Sultan kemudian menjalankan strategi perbentengan di antara Pulau Kembaro dan Plaju yang menjadi pintu masuk ke Kota Palembang.

Sultan juga memerintahkan untuk membuat pancang-pancang kayu yang berfungsi menahan majunya kapal-kapal Belanda dari depan, sedangkan dari belakang armada itu nantinya akan diserang oleh rakit-rakit.

Jika taktik ini berhasil maka armada Belanda akan terjebak di sekitar Pulau Kembaro dan Plaju dan benteng-benteng yang bermeriam akan menggempur armada yang terkurung itu.

Armada Belanda datang kembali ke Palembang pada tanggal 18 September 1819, diiringi dengan pelepasan yang sangat meriah pada saat mereka berangkat dari Batavia.

Jumlah personil yang dikerahkan berjumlah 2000 personil dan puluhan kapal tempur yang dipimpin oleh Laksamana laut Wolterbeck.

Namun usaha Belanda yang kedua ini juga menemui kegagalan, karena semua strategi yang dipasang oleh Sultan Mahmud Badarudin berjalan sesuai rencana.

Kapal-kapal Belanda itu tidak bisa maju karena tertahan oleh pancang-pancang kayu yang ditanam di dalam sungai.

Adu tembak-menembak meriam terjadi antara benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju dan kapal-kapal tempur Belanda. Karena semakin terdesak, maka Wolterbeck memutuskan untuk mundur ke Bangka.

Kekalahan tersebut membuat geram petinggi-petinggi di Batavia dan akhirnya Wolterbeck diturunkan dari jabatan panglima perang di Palembang.

Kali ini Belanda mempersiapkan secara besar-besaran keperluan perangnya di Palembang. Persiapan dilakukan selama 3 tahun, dari tahun 1819 sampai 1821.

Untuk memperkuat armada tempurnya, Belanda memesan kapal-kapal langsung dari Amsterdam. Beberapa dari kapal itu adalah kapal khusus yang digunakan untuk mencabut pancang-pancang kayu.

Selain itu, Belanda juga mendatangkan pasukan Eropa yang merupakan veteran pada masa perang Napoleon. Untuk pemimpin armada kali ini adalah Mayor Jendral de Kock.

Kekuatan Belanda saat itu ditaksir mencapai 10 kali lipat lebih besar dari serangan keduanya, dengan jumlah personil sebanyak 7000 orang dan kapal tempur berjumlah 47 buah. Armada besar itu akhirnya berangkat ke Palembang pada 9 Mei 1821 dari Batavia.

Di kubu kesultanan sendiri tak ada pergolakan yang berarti. Badaruddin II akhirnya melepaskan jabatan sultan dan mewarisinya kepada Pangeran Ratu.

Meski begitu komando perang masih tetap dipimpin oleh Badaruddin II. Benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju diperkuat kembali dengan meriam-meriam yang dibeli oleh Badaruddin II dari seorang Eropa.

Jumlah rakyat yang siap mengangkat senjata bagi kesultanan sendiri ada sekitar 7000 sampai 8000 orang.

Armada de Kock akhirnya tiba di muara sungai Musi pada 22 Mei 1821. Hambatan-hambatan yang ditemui oleh Wolterbeck saat serangan kedua bisa ditangani dengan baik oleh de Kock.

Pos-pos meriam tersembunyi di pesisir sungai Musi bisa diketahui dan dihancurkan karena dia telah mendapatkan peta strategi Badaruddin II dari seorang ulama yang berkhianat.

Satu-satunya hambatan yang berarti bagi armada itu hanyalah penyakit. Banyak serdadu-serdadu Eropa yang belum bisa beradaptasi dengan cuaca tropis dan akhirnya 100 personil tewas akibat wabah penyakit tropis.

Pada 16 Juni 1821, armada itu sampai ke mulut Pulau Kembaro dan Plaju. Usahanya untuk melumpuhkan benteng Tambakbaya, salah satu posisi vital pasukan Palembang, berakhir dengan kegagalan.

Akibatnya de Kock terpaksa berlayar menerobos jebakan di sekitar Pulau Kembaro dan Plaju itu. Pertempuran sengit terjadi kembali.

Di saat kapal-kapal itu berupaya menerobos pancang kayu, tembakan meriam dan rakit-rakit api memporak-porandakan formasi armada de Kock.

Banyak kapal de Kock yang kehilangan tiang layarnya dan menjadi sasaran empuk meriam benteng pasukan Palembang.

Kekacauan itu akhirnya membuat armada tersebut kepayahan dan memutuskan untuk mundur. Jumlah korban tewas di pihak Belanda ada sekitar 101 orang, sedangkan di pihak Palembang tak diketahui.

Karena tidak ingin menderita kerugian yang lebih besar lagi, maka de Kock meminta gencatan senjata kepada Badaruddin II. Dia berjanji tidak akan menyerang benteng-benteng Palembang pada hari Jumat.

Sebagai gantinya Badaruddin II sendiri harus berjanji untuk tidak menyerang pada hari Minggu. Hal ini dilakukan untuk menghormati hari suci agama masing-masing.

Badaruddin II sendiri mengiyakan karena dia juga ingin memberi kesempatan beristirahat bagi pasukannya yang sedang berpuasa (saat itu sedang bulan Ramadan).

Tapi perjanjian itu hanya bertahan beberapa hari, karena meskipun pada hari Jumat tidak terjadi kontak senjata, secara mendadak pasukan Belanda menggempur benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju pada saat subuh.

Perang jarak dekat terjadi, senapan-senapan Belanda melawan tombak dan sangkur pasukan Palembang. Karena diserang mendadak, maka pertahanan di Pulau Kembaro dan Plaju jatuh.

Armada de Kock pun berlayar ke pusat kota Palembang dan bermaksud menghancurkan benteng Kuto Besak. Namun tembok setebal 2 meter dan barisan meriam yang kokoh membuat armada yang sudah porak-poranda itu semakin frustasi.

Akhirnya de Kock mengeluarkan siasat licik lainnya. Dia menunjukkan Sultan Najamuddin IV (kerabat Badaruddin II yang diangkat menjadi sultan secara sepihak oleh Belanda) di salah satu kapal perangnya.

Badaruddin II kemudian memutuskan untuk menghentikan serangannya karena tidak ingin membunuh kerabatnya sendiri hanya demi kepuasan untuk mengalahkan de Kock.

Akhirnya, benteng Kuto Besak jatuh dan Badaruddin II beserta panglima-panglima perangnya ditangkap oleh Belanda.

Maka berakhirlah pertempuran ketiga dan terakhir antara Kesultanan Palembang melawan Pemerintah Kolonial. Gelar sultan akhirnya diserahkan pada Najamuddin IV dari Pangeran Ratu pada 29 Juni 1821.

Badaruddin II dan keluarganya pun akhirnya diasingkan oleh Belanda ke Ternate pada 3 Juli 1821. Ternyata, Najamuddin IV tidak sanggup memerintah kesultanan karena rakyat Palembang tidak mendukungnya.

Akibatnya Belanda turun tangan dan akhirnya menghapuskan sistem kesultanan dan menggantinya dengan keresidenan Palembang pada tanggal 7 Oktober 1823.

Dengan itu, maka berakhirlah perlawanan Kesultanan Palembang terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Pertempuran maritim yang dilakukan Pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap Kesultanan Palembang merupakan yang terbesar dan termahal bagi angkatan laut Kerajaan Belanda di Nusantara saat itu.

Selain itu, setelah kesultanan jatuh tetap saja rakyat Palembang tetap mengadakan perlawanan meskipun tidak begitu besar.

Sumber:

studiklubsejarah.blogspot

sejarahbudayanusantara.weebly.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2468 seconds (0.1#10.140)