Puluhan Tahun Suapi dan Mandikan Ketiga Anaknya

Rabu, 12 Agustus 2015 - 09:06 WIB
Puluhan Tahun Suapi...
Puluhan Tahun Suapi dan Mandikan Ketiga Anaknya
A A A
Sosoknya yang periang, dengan senyum selalu menghiasi wajahnya. Ketika bertemu pertama kali dengan Sandiman, 75, warga Dusun Manding RT 08, Desa Sabdodadi, Kecamatan Bantul, orang tidak menyangka jika laki-laki ini menanggung beban berat.

Siapa sangka, sudah 40 tahun lebih dia harus membesarkan tiga anaknya yang memiliki kelainan fisik dan mental. Tiga orang anaknya masing-masing Eko Nurakhmad, 40, Dwi Nurbintarti, 37, dan Khoirul Syamsuri, 34, lahir tak seperti manusia pada umumnya. Meskipun anggota tubuhnya lengkap, ternyata ketiga anaknya tersebut tak bisa beraktivitas apa pun. Ketiga anaknya buah dari perkawinannya dengan Tukirah, harus menjadi bebannya selama hidupnya.

Bagaimana tidak, untuk beraktivitas sekecil apa pun, ketiga anaknya harus menunggu bantuan dari orang tuanya. Ketiga anaknya terus terbaring di lantai beralaskan tikar lusuh dan hanya anak sulungnya Eko yang sedikit bisa beraktivitas. “Kalau Eko bisa keluyuran ke mana-mana, tetapi caranya berbaring sambil ngesot,” kata mantan guru SMPN 1 Sewon kepada mantan anak didiknya yang datang ke rumahnya.

Cerita sedih yang hanya didapati dalam cerita sinetron ternyata lebih pedih yang dia rasakan. Ketika pagi menjelang, dia harus bangun memasak makanan yang akan disuapkan kepada ketiga anaknya. Jika sedang repot, dia terpaksa membelinya dari luar. Setahun lalu, pekerjaan itu dilakukan oleh istrinya, namun sejak istrinya meninggal dunia, dia terpaksa berperan ganda. Usai memasak makanan, dia lantas menyuapi satu per satu anaknya mulai dari yang paling kecil. Meski dalam keadaan susah, namun ternyata anaknya sangat selektif dalam perihal makanan.

Meskipun tak pernah protes dengan kata-kata karena memang anaknya tak bisa berbicara, tetapi ketika makanan yang disuapi ke anaknya tidak enak alias dengan lauk seadanya, anakanaknya tak bersedia menelan makanan yang dimasukkan ke dalam mulut. “Jika tidak enak, makanan tersebut langsung dilepeh, dibuang dari mulut dengan cara disemburkan. Pokoknya makanannya harus yang enak-enak,” ungkapnya.

Dulu, sebelum ada bantuan yang masuk ke dirinya, hampir tiap pagi dia harus memasak air dalam tiga bejana besar untuk memandikan ketiga anaknya. Namun kini setelah mendapat bantuan dispenser pemasak air otomatis dari donatur, dia sudah tidak memasak air lagi. Tak bisa membayangkan jika tidak ada dispenser memasak air otomatis, dia harus memasak air tiga kali menggunakan kayu bakar.

Kini, kala kesehatannya sudah banyak menurun, dia tak mampu lagi mengangkat anak-anaknya ke sumur ketika ingin memandikan mereka. Terpaksa dia menyeret anaknya yang tiduran di atas tikar lusuh tersebut ke sumur. Di sumur, dia dengan sabar mengguyur, membersihkan kotoran, dan kembali ke dalam rumah untuk memberinya pakaian. “Kalau si Eko (sulung) sudah bisa ngesotsendiri ke sumur dan menyalakan sakelar dispenser. Akan tetapi tetap saja saya yang harus menggosok tubuhnya,” katanya.

Meskipun sedih, terkadang kelucuan juga muncul dalam keluarga ini. Salah satunya adalah anak sulungnya selalu mandi dua kali dalam sehari, setiap pagi dan sore. Jika sore hari anaknya belum mandi, jam berapa pun baik tengah malam sekalipun, anaknya selalu pergi ke sumur untuk mandi. Di sumur anak sulungnya langsung menyalakan sakelar dan berusaha mengarahkan tubuhnya di showeragar bisa diguyur air.

Sandiman mengaku, sejak dia berpindah-pindah di berbagai sekolah untuk mengajar, namun hampir semua rekan kerjanya sesama guru tidak mengetahui nasibnya tersebut. Puluhan tahun ia berusaha menutupi nasib ketiga anaknya tersebut. Setiap kali ditanya bagaimana kondisi keluarganya terutama anaknya, dia selalu saja berusaha menghindar. “Hanya ketika menjelang pensiun saja, saya cerita sama salah satu guru di SMPN 1 Sewon tempat saya mengajar,” tuturnya.

Rasa malu memang masih menghantuinya kala itu jika harus membuka rahasia tentang anak-anaknya kepada rekan sesama guru di tempat mengajarnya. Dia khawatir ketika ia bercerita kepada rekan guru, cerita kelamnya akan terdengar ke muridmuridnya. Dia khawatir menjadi pergunjingan muridmuridnya di sekolah. Namun menjelang pensiun, dia memberanikan diri membuka cerita nasib yang menimpa keluarganya.

Karena dia sadar, suatu saat dia tidak akan mampu lagi menanggung hidup yang demikian berat. Apalagi, usianya sudah mulai senja, dia pasti membutuhkan uluran tangan dari pihak lain. Maka ia memutuskan untuk mengungkap cerita kelamnya kepada rekan kerjanya. Beban hidup kini semakin terasa di kala istrinya sudah menghadap Sang Pencipta setahun lalu. Kendati harus tegar menghadapi cobaan hidupnya, namun hatinya sangat resah. Dia menyadari usianya sudah semakin senja, dan suatu saat pasti dipanggil menghadap Yang Mahakuasa.

Dia resah, bagaimana nasib ketiga anaknya jika dia sudah tidak ada lagi. “Saya berharap nanti ada pihak yang bisa menampung anak saya nanti,” tuturnya parau. Kisah sedih dari mantan guru SMPN 1 Sewon ini memang membuat mantan anak didiknya tergerak. Para alumni tidak menyangka, guru yang selama ini dikenal sebagai pribadi periang ternyata menyimpan kesedihan yang mendalam.

Salah satunya adalah Husein Ahmadi. Dia tidak menduga jika mantan gurunya ini memiliki anak yang membutuhkan bantuan orang lain dalam beraktivitas. “Kami berharap, ada lembaga sosial yang bisa menampung ketiga anaknya nanti,” ujar alumnus SMPN 1 Sewon ini.

Erfanto Linangkung
Bantul
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8286 seconds (0.1#10.140)