Nenek 93 Tahun Disidang karena Kasus Tanah
A
A
A
BANDUNG - Hj Oyoh alias Yoyoh nenek berusia 93 tahun di Bandung terancam hukuman enam tahun penjara akibat terlibat kasus pemalsuan data hak kepemilikan tanah bersama anaknya, Amin Mustofa.
Hal tersebut terungkap dalam sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Selasa (11/8/2015).
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Jonlar Purba menjelaskan, terdakwa yang tinggal di Pasir Kiara RT 2 RW 16, Kelurahan Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi ini diduga memalsukan data hak kepemilikan tanah yang diterbitkan pada 1936 atas tanah di Jalan Terusan Pasteur (Dr Djunjunan) No 86-88, Kota Bandung.
Menurut JPU, terdakwa dan anaknya memalsukan data saat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung awal 2004 lalu.
Mereka mengklaim jika tanah di Jalan Terusan Pasteur (Dr Djunjunan) No 86-88 merupakan tanah hasil warisan.
Namun pada kenyataannya tanah tersebut secara sah adalah milik Itok Setiawan dengan SHM No 175/Kelurahan Sukabungah seluas 1.840 M2 dan milik Soetjipto Lustojoputro dengan SHM No 446/Kelurahan Sukabungah seluas 1.840 M2.
“Terdakwa memakai bukti 1 lembar surat diatas segel bermaterai Zegel Van Ned Indie 1 1/2 G tahun 1936, tertanggal Soekadjadi 10 Desember 1936 mengenai hibah tanah yang terletak di Jalan Terusan Pasteur (Dr Djunjunan) dari H Yasin kepada anaknya bernama H Hanafiah. Yang mana bukti berupa segel tersebut diperoleh dari anaknya terdakwa yaitu Amin Mustofa yang juga memperolehnya dari orang lain yang tidak terkait dengan keluarga atau warisan,” papar JPU.
Berdasarkan BAP Laboratorium Kriminalistik dari Puslabfor Mabes Polri tahun 2008, dalam kesimpulannya menyatakan bahwa surat Zegel Van Ned Indie non identik dengan dokuman pembanding. Surat tersebut merupakan produk cetak yang berbeda dengan dokumen pembanding.
Dalam simpulan JPU menyebutkan, akibat perbuatan terdakwa korban mengalami kerugian mencapai Rp1 miliar. Selain itu, kesehatan Itok juga menjadi terganggu dan usahanya menjadi ikut terganggu.
Usai persidangan, majelis hakim sempat bertanya kepada kedua terdakwa mengenai isi dakwaan JPU.
Namun lantaran terdakwa Yoyoh mengalami gangguan pendengaran, dia hanya bisa terdiam tanpa menjawab dengan sepatah kata pun. Sementara anaknya mengiyakan semua dakwaan JPU.
Tak sampai disitu, salah seorang kuasa hukum terdakwa, Andri Andrian, meminta keringanan agar terdakwa Yoyoh yang telah tua tidak selalu disertakan saat sidang berlangsung.
Mendengar permohonan tersebut, majelis hakim pun dengan tegas menolaknya. Pasalnya sesuai dengan undang-undang hal tersebut telah diatur, dan dalam setiap persidangan terdakwa diharuskan hadir.
“Usulan itu tidak masuk akal. KUHPidana melarang usulan itu. Terdakwa harus in absentia. Anda harus mengerti,” tegas majelis hakim, Berton Sihotang.
Dalam sidang tersebut terdakwa terancam hukuman enam tahun penjara lantaran didakwa dengan Pasal 263 ayat 2 jo pasal 55 ayat 1 KUHP.
Sidang lanjutan kasus tersebut akan kembali digelar pada 25 Agustus mendatang dengan agenda eksepsi.
Hal tersebut terungkap dalam sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Selasa (11/8/2015).
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Jonlar Purba menjelaskan, terdakwa yang tinggal di Pasir Kiara RT 2 RW 16, Kelurahan Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi ini diduga memalsukan data hak kepemilikan tanah yang diterbitkan pada 1936 atas tanah di Jalan Terusan Pasteur (Dr Djunjunan) No 86-88, Kota Bandung.
Menurut JPU, terdakwa dan anaknya memalsukan data saat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung awal 2004 lalu.
Mereka mengklaim jika tanah di Jalan Terusan Pasteur (Dr Djunjunan) No 86-88 merupakan tanah hasil warisan.
Namun pada kenyataannya tanah tersebut secara sah adalah milik Itok Setiawan dengan SHM No 175/Kelurahan Sukabungah seluas 1.840 M2 dan milik Soetjipto Lustojoputro dengan SHM No 446/Kelurahan Sukabungah seluas 1.840 M2.
“Terdakwa memakai bukti 1 lembar surat diatas segel bermaterai Zegel Van Ned Indie 1 1/2 G tahun 1936, tertanggal Soekadjadi 10 Desember 1936 mengenai hibah tanah yang terletak di Jalan Terusan Pasteur (Dr Djunjunan) dari H Yasin kepada anaknya bernama H Hanafiah. Yang mana bukti berupa segel tersebut diperoleh dari anaknya terdakwa yaitu Amin Mustofa yang juga memperolehnya dari orang lain yang tidak terkait dengan keluarga atau warisan,” papar JPU.
Berdasarkan BAP Laboratorium Kriminalistik dari Puslabfor Mabes Polri tahun 2008, dalam kesimpulannya menyatakan bahwa surat Zegel Van Ned Indie non identik dengan dokuman pembanding. Surat tersebut merupakan produk cetak yang berbeda dengan dokumen pembanding.
Dalam simpulan JPU menyebutkan, akibat perbuatan terdakwa korban mengalami kerugian mencapai Rp1 miliar. Selain itu, kesehatan Itok juga menjadi terganggu dan usahanya menjadi ikut terganggu.
Usai persidangan, majelis hakim sempat bertanya kepada kedua terdakwa mengenai isi dakwaan JPU.
Namun lantaran terdakwa Yoyoh mengalami gangguan pendengaran, dia hanya bisa terdiam tanpa menjawab dengan sepatah kata pun. Sementara anaknya mengiyakan semua dakwaan JPU.
Tak sampai disitu, salah seorang kuasa hukum terdakwa, Andri Andrian, meminta keringanan agar terdakwa Yoyoh yang telah tua tidak selalu disertakan saat sidang berlangsung.
Mendengar permohonan tersebut, majelis hakim pun dengan tegas menolaknya. Pasalnya sesuai dengan undang-undang hal tersebut telah diatur, dan dalam setiap persidangan terdakwa diharuskan hadir.
“Usulan itu tidak masuk akal. KUHPidana melarang usulan itu. Terdakwa harus in absentia. Anda harus mengerti,” tegas majelis hakim, Berton Sihotang.
Dalam sidang tersebut terdakwa terancam hukuman enam tahun penjara lantaran didakwa dengan Pasal 263 ayat 2 jo pasal 55 ayat 1 KUHP.
Sidang lanjutan kasus tersebut akan kembali digelar pada 25 Agustus mendatang dengan agenda eksepsi.
(sms)