Buruh Butuh Jaminan Sosial, Bukan Asuransi
A
A
A
MEDAN - Ratusan buruh menuntut agar asuransi sosial yang selama ini berkedok jaminan sosial pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan, dihapuskan.
Menurut buruh, yang dibutuhkan saat ini bukan asuransi, tapi kepastian akan jaminan sosialnya terpenuhi. Tuntutan buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 Sumut itu disampaikan ketika berunjuk rasa di Gedung DPRD Sumut, Jalan Imam Bonjol, Medan, Senin (10/8). Kaum buruh meminta ketegasan pemerintah dalam membedakan makna jaminan sosial dengan asuransi sosial.
“Kami bukan anti jaminan sosial, justru kami meminta pemerintah memberikannya. Tapi yang kami tolak adalah asuransi sosial yang selama ini terselubung di lembaga BPJS,” ungkap Ketua DPD SBSI 1992 Sumut, Bambang Hermanto. Bambang menyebutkan, pembentukan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS dinilai hanya sarat kepentingan. Sumber dana BPJS Ketenagakerjaan sudah jelas dari iuran Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Keselamatan Kerja (JKK), Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKM), dan Jaminan Pensiun (JP).
Penumpukan modal dari iuran yang dikutip selama ini tidak jelas diketahui jumlah dan tempat penyimpanannya. Dia mencontohkan, pada sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), iuran dibayar sepenuhnya oleh perusahaan dengan ketentuan lajang 3% dan berkeluarga 6%. Sementara pada UU BPJS justru buruh wajib membayar 1% dari upah sebulan.
Lalu, sebelumnya JHT buruh dapat diambil setelah lima tahun, kini menjadi sepuluh tahun, sebagaimana diatur melalui PP No 46 tahun 2015. “Sistem ini jelas-jelas sudah merugikan buruh. Dana-dana yang dihimpun itu disimpan di mana? Bagaimana pengelolaannya? Hingga kini semua itu masih samar-samar,” ujarnya. Menurutnya, sistem yang dibangun saat ini bukan lagi jaminan sosial, tapi murni sistem asuransi sosial.
Sebab, sesuai fakta, pelayanan kesehatan didasari pada besarnya iuran. Seharusnya yang disebut dengan pelayanan sosial kepada warga tidak dibeda-bedakan berdasar pada nilai premi. “Apakah warga yang berhak menerima pelayanan kesehatan lebih baik hanya warga yang membayar premi lebih besar? Seharusnya pelayanan kepada warga itu merata,” katanya.
Buruh menganggap BPJS hanya model jaminan akal-akalan. Sebab, negara gagal mengemban tanggung jawab tentang jaminan sosial. Dalam kesempatan itu, massa juga menuntut agar segera diterbitkannyaPeraturanPemerintahPengganti Undang-Undang (Perppu) terhadap UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), agar tercipta jaminan sosial yang sesungguhnya dan yang ber-keadilan.
Anggota DPRD Sumut dari Komisi B, Aripay Tambunan, yang menerima pengunjuk rasa menjelaskan, semua isu nasional yang menjadi tuntutan buruh akan ditindaklanjuti dengan mengirim surat kepada Presiden RI, DPR, dan kementerian terkait. Politisi PAN ini ikut menceritakan bagaimana buruknya pelayanan BPJS karena tidak bisa menjawab tuntutan masyarakat Sumut.
“Persoalan BPJS akan menjadi poin penting, dan saya sarankan agar Komisi E nantinya menindaklanjuti persoalan ini. Ditindaklanjuti serta rumah sakit provider diperbanyak di Medan dan kabupaten/kota lain,” katanya. Sementara anggota Komisi E DPRD Sumut, Zahir, mengatakan, persoalan BPJS seharusnya tidak boleh ada potongan dari gaji.
Jika mau dipotong, harus dinaikkan dulu hajinya. Diharapkan, yang 1% itu ditanggung pengusaha tempat buruh bekerja. “Hal ini akan kami sampaikan juga ke pemerintah pusat,” ujar politisi PDI Perjuangan itu.
M rinaldi khair
Menurut buruh, yang dibutuhkan saat ini bukan asuransi, tapi kepastian akan jaminan sosialnya terpenuhi. Tuntutan buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 Sumut itu disampaikan ketika berunjuk rasa di Gedung DPRD Sumut, Jalan Imam Bonjol, Medan, Senin (10/8). Kaum buruh meminta ketegasan pemerintah dalam membedakan makna jaminan sosial dengan asuransi sosial.
“Kami bukan anti jaminan sosial, justru kami meminta pemerintah memberikannya. Tapi yang kami tolak adalah asuransi sosial yang selama ini terselubung di lembaga BPJS,” ungkap Ketua DPD SBSI 1992 Sumut, Bambang Hermanto. Bambang menyebutkan, pembentukan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS dinilai hanya sarat kepentingan. Sumber dana BPJS Ketenagakerjaan sudah jelas dari iuran Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Keselamatan Kerja (JKK), Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKM), dan Jaminan Pensiun (JP).
Penumpukan modal dari iuran yang dikutip selama ini tidak jelas diketahui jumlah dan tempat penyimpanannya. Dia mencontohkan, pada sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), iuran dibayar sepenuhnya oleh perusahaan dengan ketentuan lajang 3% dan berkeluarga 6%. Sementara pada UU BPJS justru buruh wajib membayar 1% dari upah sebulan.
Lalu, sebelumnya JHT buruh dapat diambil setelah lima tahun, kini menjadi sepuluh tahun, sebagaimana diatur melalui PP No 46 tahun 2015. “Sistem ini jelas-jelas sudah merugikan buruh. Dana-dana yang dihimpun itu disimpan di mana? Bagaimana pengelolaannya? Hingga kini semua itu masih samar-samar,” ujarnya. Menurutnya, sistem yang dibangun saat ini bukan lagi jaminan sosial, tapi murni sistem asuransi sosial.
Sebab, sesuai fakta, pelayanan kesehatan didasari pada besarnya iuran. Seharusnya yang disebut dengan pelayanan sosial kepada warga tidak dibeda-bedakan berdasar pada nilai premi. “Apakah warga yang berhak menerima pelayanan kesehatan lebih baik hanya warga yang membayar premi lebih besar? Seharusnya pelayanan kepada warga itu merata,” katanya.
Buruh menganggap BPJS hanya model jaminan akal-akalan. Sebab, negara gagal mengemban tanggung jawab tentang jaminan sosial. Dalam kesempatan itu, massa juga menuntut agar segera diterbitkannyaPeraturanPemerintahPengganti Undang-Undang (Perppu) terhadap UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), agar tercipta jaminan sosial yang sesungguhnya dan yang ber-keadilan.
Anggota DPRD Sumut dari Komisi B, Aripay Tambunan, yang menerima pengunjuk rasa menjelaskan, semua isu nasional yang menjadi tuntutan buruh akan ditindaklanjuti dengan mengirim surat kepada Presiden RI, DPR, dan kementerian terkait. Politisi PAN ini ikut menceritakan bagaimana buruknya pelayanan BPJS karena tidak bisa menjawab tuntutan masyarakat Sumut.
“Persoalan BPJS akan menjadi poin penting, dan saya sarankan agar Komisi E nantinya menindaklanjuti persoalan ini. Ditindaklanjuti serta rumah sakit provider diperbanyak di Medan dan kabupaten/kota lain,” katanya. Sementara anggota Komisi E DPRD Sumut, Zahir, mengatakan, persoalan BPJS seharusnya tidak boleh ada potongan dari gaji.
Jika mau dipotong, harus dinaikkan dulu hajinya. Diharapkan, yang 1% itu ditanggung pengusaha tempat buruh bekerja. “Hal ini akan kami sampaikan juga ke pemerintah pusat,” ujar politisi PDI Perjuangan itu.
M rinaldi khair
(bbg)