Siswa Takut Sekolah Mereka Ambruk
A
A
A
GUNUNGKIDUL - Rusaknya bangunan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah Banjarejo, Tepus (sebelumnya tertulis MI Wonosobo) hingga kini belum tertangani.
Pihak sekolah mulai khawatir bangunan tersebut bisa mengancam keselamatan guru dan siswa saat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Kepala Sekolah MIM Ban jarejo Heri Mustofa mengatakan, bangunan MIM ini dibangun pada 1987. Dari tujuh ruangan yang ada, saat ini hanya ada tiga ruangan yang kondisinya baik.
Tiga ruangan tersebut yakni ruang kelas V, kelas VI, serta ruang kepala sekolah dan guru. “Sementara empat di antaranya mengalami kerusakan cukup parah dan membahayakan kegiatan belajar mengajar,” katanya kepada wartawan, kemarin. Dari pantauan KORAN SINDO, kayu-kayu penyangga atap mulai rusak. Kondisinya juga sudah miring dan rawan ambrol.
Bahkan tiang penyangga teras sudah tidak layak sehingga pihak sekolah terpaksa memasang tiang penyangga darurat. “Kami sudah sampaikan kon disi bangunan di MIM ini ke Kementrian Agama, namun belum ada tindak lanjut,” kata dia. Padahal kalau melihat jumlah murid, untuk sekolah ini masih standar dengan memiliki 69 siswa. Jarak dengan salah satu SD negeri juga cukup.
“Jadi memang ini semestinya masih dipertahankan dan segera ada renovasi. Jarak dengan SD negeri sekitar 5 km,” bebernya. Selain kondisi atap, kondisi lantai di ruang kelas juga memprihatinkan. Lantai yang terbuat dari ubin tersebut mengelupas dan banyak sekali lubang ubin sehingga tanah warna merah terlihat.
Sementara dinding penyekat yang memisahkan ruangan kelas juga dalam keadaan miring dan bisa roboh sewaktuwaktu. ”Kami tidak memiliki anggaran. Di sekolah ini hanya ada satu guru PNS, sepuluh lainnya hanya guru honorer,” kata heri. Menurutnya, saat ini pihaknya juga tidak mampu memasang gambar presiden dan wakil presiden di setiap kelas.
Ini lantaran tidak adanya anggaran yang dimiliki. “Kami saja masih menanggung utang pembayaran untuk operasional sebesar Rp9 juta, jadi kami belum memiliki gambar presiden dan wakil presiden,” katanya. Heri menambahkan, untuk kelancaran operasional sekolah, para guru terpaksa harus patungan untuk membeli keperluan kegiatan belajar.
Sementara itu, salah seorang siswa kelas V MIM tersebut, Dea Oktavia Ayu Ramadani mengaku sering kali khawatir dengan bangunan sekolahnya. Dia berharap sekolahnya bisa segera dibangun sehingga bisa nyaman menerima pelajaran. ”Kami sering waswas dan takut kalau ambruk, harapan kami bisa dibangun,” ucapnya.
Suharjono
Pihak sekolah mulai khawatir bangunan tersebut bisa mengancam keselamatan guru dan siswa saat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Kepala Sekolah MIM Ban jarejo Heri Mustofa mengatakan, bangunan MIM ini dibangun pada 1987. Dari tujuh ruangan yang ada, saat ini hanya ada tiga ruangan yang kondisinya baik.
Tiga ruangan tersebut yakni ruang kelas V, kelas VI, serta ruang kepala sekolah dan guru. “Sementara empat di antaranya mengalami kerusakan cukup parah dan membahayakan kegiatan belajar mengajar,” katanya kepada wartawan, kemarin. Dari pantauan KORAN SINDO, kayu-kayu penyangga atap mulai rusak. Kondisinya juga sudah miring dan rawan ambrol.
Bahkan tiang penyangga teras sudah tidak layak sehingga pihak sekolah terpaksa memasang tiang penyangga darurat. “Kami sudah sampaikan kon disi bangunan di MIM ini ke Kementrian Agama, namun belum ada tindak lanjut,” kata dia. Padahal kalau melihat jumlah murid, untuk sekolah ini masih standar dengan memiliki 69 siswa. Jarak dengan salah satu SD negeri juga cukup.
“Jadi memang ini semestinya masih dipertahankan dan segera ada renovasi. Jarak dengan SD negeri sekitar 5 km,” bebernya. Selain kondisi atap, kondisi lantai di ruang kelas juga memprihatinkan. Lantai yang terbuat dari ubin tersebut mengelupas dan banyak sekali lubang ubin sehingga tanah warna merah terlihat.
Sementara dinding penyekat yang memisahkan ruangan kelas juga dalam keadaan miring dan bisa roboh sewaktuwaktu. ”Kami tidak memiliki anggaran. Di sekolah ini hanya ada satu guru PNS, sepuluh lainnya hanya guru honorer,” kata heri. Menurutnya, saat ini pihaknya juga tidak mampu memasang gambar presiden dan wakil presiden di setiap kelas.
Ini lantaran tidak adanya anggaran yang dimiliki. “Kami saja masih menanggung utang pembayaran untuk operasional sebesar Rp9 juta, jadi kami belum memiliki gambar presiden dan wakil presiden,” katanya. Heri menambahkan, untuk kelancaran operasional sekolah, para guru terpaksa harus patungan untuk membeli keperluan kegiatan belajar.
Sementara itu, salah seorang siswa kelas V MIM tersebut, Dea Oktavia Ayu Ramadani mengaku sering kali khawatir dengan bangunan sekolahnya. Dia berharap sekolahnya bisa segera dibangun sehingga bisa nyaman menerima pelajaran. ”Kami sering waswas dan takut kalau ambruk, harapan kami bisa dibangun,” ucapnya.
Suharjono
(ftr)