Tragedi Tolikara Bentuk Akumulasi Diskriminasi Warga Papua
A
A
A
JAKARTA - Insiden Tolikara, Papua yang terjadi pada hari raya Idul Fitri, Jumat 17 Juli 2015, dinilai salah satu bentuk akumulasi diskriminasi dan ketidakadilan warga Papua yang berkepanjangan.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Setara Institute Hendardi. "Pembakaran tempat ibadah adalah satu pelanggaran HAM, meski belum tentu dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat," kata Hendardi dalam keterangan persnya, Selasa (21/7/2015).
Akan tetapi, lanjut dia, nyata pula kekerasan itu dimulai karena provokasi bersenjata oleh pihak tertentu terhadap warga Papua sebelum pembakaran terjadi jika merujuk pada temuan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI).
"Soal provokasi bersenjata ini yang sejak awal tidak dikemukakan oleh Polri," katanya.
Dia menuturkan, apapun latar belakangnya, peristiwa ini menunjukkan bahwa negara telah lalai menjaga hak atas rasa aman warga.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, insiden itu juga menunjukkan bahwa intoleransi di tengah masyarakat juga semakin rentan dan mudah dibakar.
Dan kerentanan itu bisa mencapai titik kulminasi yang mungkin lebih besar, karena isu utama Papua adalah keadilan dan penghargaan martabat warga Papua.
Dia menambahkan, potensi ketegangan atas dasar agama, suku, pendatang versus pribumi, sebenarnya telah menguat sejak lama, akibat kebijakan transmigrasi politis yang meminggirkan warga Papua.
"Komnas HAM harus bekerja, Polri harus serius bekerja dan jujur serta terbuka mengungkap fakta," pungkasnya.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Setara Institute Hendardi. "Pembakaran tempat ibadah adalah satu pelanggaran HAM, meski belum tentu dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat," kata Hendardi dalam keterangan persnya, Selasa (21/7/2015).
Akan tetapi, lanjut dia, nyata pula kekerasan itu dimulai karena provokasi bersenjata oleh pihak tertentu terhadap warga Papua sebelum pembakaran terjadi jika merujuk pada temuan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI).
"Soal provokasi bersenjata ini yang sejak awal tidak dikemukakan oleh Polri," katanya.
Dia menuturkan, apapun latar belakangnya, peristiwa ini menunjukkan bahwa negara telah lalai menjaga hak atas rasa aman warga.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, insiden itu juga menunjukkan bahwa intoleransi di tengah masyarakat juga semakin rentan dan mudah dibakar.
Dan kerentanan itu bisa mencapai titik kulminasi yang mungkin lebih besar, karena isu utama Papua adalah keadilan dan penghargaan martabat warga Papua.
Dia menambahkan, potensi ketegangan atas dasar agama, suku, pendatang versus pribumi, sebenarnya telah menguat sejak lama, akibat kebijakan transmigrasi politis yang meminggirkan warga Papua.
"Komnas HAM harus bekerja, Polri harus serius bekerja dan jujur serta terbuka mengungkap fakta," pungkasnya.
(nag)