Di Balik Fenomena Kekerasan pada Anak
A
A
A
BANDUNG - Saban hari, media massa terus mengungkapkan fenomena maraknya kekerasan pada anak. Terakhir dan yang cukup menyita perhatian publik yakni, tewasnya Angeline akibat dianiaya.
Ironisnya, setelah diselidiki polisi, tersangka pelaku pembunuhan tersebut ternyata Ibu Angkatnya sendiri yang notabene orang terdekat Angeline selama ini. Hingga kini, polisi pun belum mengetahui pasti peyebab Sang Ibu Angkat tega membunuh bocah perempuan berusia 8 tahun itu. Berbagai penyebab dan latar belakang tindak kekerasan pada anak kini terus digali demi mendapat kepastian.
Namun, fenomena maraknya kasus kekerasan pada anak dimana banyak pelakunya sudah menerima hukuman setimpal, ternyata tidak serta merta membuat pelaku lainnya jera. Padahal, dalam banyak kasus, pelaku kekerasan pada anak adalah orang terdekat korban yang seharusnya memberikan perlindungan.
Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan, apa sebenarnya penyebab dan latar belakang yang membuat kasus ini marak terjadi? Sebagian berbicara himpitan ekonomi sebagai penyebabnya, sebagian lainnya mengatakan kekerasan pada anak timbul karena dipicu perilaku buruk yang pelakunya.
Ketika 23 Juli mendatang diperingati sebagai Hari Anak Nasional, dimana seharusnya dirayakan dengan suka cita, namun kenyataanya, pekerjaan rumah besar menanti, agar tindak kejahatan yang menghantui generasi muda Bangsa ini segera sirna, setidaknya bisa ditekan. Berdasarkan data Unit Pelindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Kota Bandung, hingga pertengahan 2015, terdapat 60 kasus kekerasan seksual pada anak.
Sementara selama 2013 tercatat 94 kasus dan 2014, 120 kasus. Fakta lain pun pernah diungkapkan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid. Dia menyebutkan, setiap tahunnya, kejahatan seksual pada anak meningkat. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), kata dia, tercatat lebih dari 21 kasus pelanggaran hak anak dimana separuhnya merupakan kejahatan seksual.
Menurut dia, persentase kekerasan seksual pada anak terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Fenomena ini menggambarkan bahwa kejahatan seksual pada anak sama bahayanya dengan narkotika, yang termasuk ke dalam extra ordinary crime. “Kejahatan semacam ini mengancam keberlangsungan masa depan Indonesia,” ungkapnya, di Bandung, belum lama ini.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2011-2013, dari 7.650 kasus kekerasan pada anak di Indonesia, 30,01% atau 2.132 di antaranya merupakan kasus kejahatan seksual. Ironisnya lagi, tindak kejahatan ini mencuat dari lingkungan terdekat Sang Anak yakni, keluarga, sekolah, hingga tempat tinggalnya. Yang paling mengejutkan, banyak kasus kekerasan seksual pada anak dimana pelakunya anak-anak juga. “Potret ini seakan menunjukan bahwa Indonesia, bukan lagi tempat yang ramah bagi tumbuh kembang anak,” ucapnya.
Mulai Psikopat Hingga Urusan Rumah Tangga Jadi Penyebabnya
Sementara itu, psikolog perkembangan anak Rumah Sakit Melinda Efnie Indrianie menyebutkan, banyak penyebab terjadinya kekerasan pada anak mulai karakter pelaku yang memang psikopat dan mengalami gangguan kepribadian, faktor ekonomi, efek traumatik, dan lainnya. Sehingga, kata Efnie, penanganan kasus kekerasan pada anak pun tidak bisa digeneralisasi dan harus dianalisa per kasus.
“Akan tetapi, pemicu terbesar seseorang melakukan kekerasan terhadap anak biasanya memang replikasi atau pengulangan dari perjalanan hidup pelaku. Dimana pada masa lalunya, pelaku juga pernah menjadi korban kekerasan atau pernah mengalami efek traumatik,” ungkapnya. Bahkan, Efnie menyebutkan, replikasi merupakan penyebab dominan dalam kasus kekerasan pada anak di Negara ini.
Kondisi ini diperparah oleh beratnya beban hidup pelaku akibat kondisi ekonomi yang sulit. Selain faktor sulitnya ekonomi, replikasi juga biasanya dipicu masalah dalam keluarga ataupun perkawinanya yang dialami pelaku. Sehingga, efek kumulatif dari berbagai persoalan tersebut seringkali dilampiaskan pada anak. Disinggung soal penyalanggunaan internet, menurut Efnie, hal itu bukanlah faktor utama.
Pasalnya, internet hanya menyediakan informasi atau berita-berita yang belum tentu menggiring seseorang melakukan tindak kekerasan pada anak. Meskipun, lanjut Efnie, orang yang terpapar langsung lingkungan yang penuh kekerasan, semisal adiksi games yang mengandung unsur kekerasan, dimungkinkan pula dapat melakukan tindak kekerasan.
“Menurut teori behaviourisme, bahwa dengan memperhatikan, mengobservasi, mengalami, atau pernah berada di lingkungan semacam itu, orang bisa berbuat kekerasan,” jelasnya. Menurut Sosiolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Eva Nuriyah, kekerasan pada anak juga dapat disebabkan oleh perilaku orang tua atau lingkungan sekitar. Biasanya, dipicu oleh tindakan-tindakan yang tidak disadari dan tidak dianggap sebuah kekerasan. Padahal, jika tindakan tersebut dilakukan, pelakunya bahkan bisa dipidanakan.
Dia mencontohkan, dengan memukul anak atau membentak anak secara berlebihan, akan menimbulkan luka fisik dan psikologis pada anak. Tak hanya itu, menurutnya, masyarakat umumnya merasa bahwa tindak kekerasan yang dilakukan orang tua pada anaknya merupakan urusan rumah tangga yang tidak bisa dicampuri orang lain, sehingga masyarakat pun enggan untuk melapor.
“Tapi, saya mengapresiasi banyaknya kasus kekerasan anak yang terungkap saat ini. Sebab, hal itu tentunya tak bisa dilepaskan dari laporan keluarga ataupun tetangga di lingkungan korban. Masyarakat kini semakin peduli dan menganggap pencegahan kekerasan pada anak merupakan tanggung jawab mereka juga,” tuturnya. Diakuinya.
Sejak dulu, kekerasan pada anak ini sebenarnya sudah ada, namun masyarakat umumnya belum memahami bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan tindakan kekerasan seperti guru SD yang kerap mengetuk-ngetukannya penggaris panjang ke papan tulis untuk mendapatkan perhatian siswanya. Tak jarang, penggaris panjang itu melayang ke tangan siswa yang enggan memperhatikannya. “Sebenanya, fenomena kekerasan pada anak ini seperti fenomena gunung es ,dimana data yang sebenarnya mungkin jauh lebih besar,” ungkapnya.
Anak Korban Kekerasan Butuh Rehabilitasi
Apapun penyebabnya, diperlukan sebuah solusi agar kekerasan pada anak tidak terus terulang. Sosiolog Unpad Eva Nuriyah menyebutkan, sejumlah upaya bisa dilakukan untuk mencegah kekerasan pada anak di antaran upaya promotif untuk meningkatkan kapasitas kemampuan individu, kelompok, atau masyarakat. Contohnya, sosialisasi yang bersifat edukasi untuk memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa kekerasan pada anak dapat menghambat tumbuh kembang anak dan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di masa mendatang.
Selain itu, upaya kuratif yang bertujuan untuk merawat dan mengobati individu, kelompok, dan masyarakat yang terdampak kekerasan pun perlu dilakukan. Pengobatan fisik dan psikologis bertujuan untuk mengintegrasi korban ke lingkungan semula. Rehabilitasi korban kekerasan juga perlu mendapat dukungan dari orang tua, guru, masyarakat, hingga pemerintah.
“Yang perlu diperhatikan, sebagian besar kekerasan yang terjadi pada anak dilakukan orang di lingkungan terdekatnya. Sehingga, ketika anak menjadi korban, proses reintegrasinya perlu dukungan serius yang melibatkan psikolog dan pekerja sosial,” jelasnya.
Anne rufaidah
Ironisnya, setelah diselidiki polisi, tersangka pelaku pembunuhan tersebut ternyata Ibu Angkatnya sendiri yang notabene orang terdekat Angeline selama ini. Hingga kini, polisi pun belum mengetahui pasti peyebab Sang Ibu Angkat tega membunuh bocah perempuan berusia 8 tahun itu. Berbagai penyebab dan latar belakang tindak kekerasan pada anak kini terus digali demi mendapat kepastian.
Namun, fenomena maraknya kasus kekerasan pada anak dimana banyak pelakunya sudah menerima hukuman setimpal, ternyata tidak serta merta membuat pelaku lainnya jera. Padahal, dalam banyak kasus, pelaku kekerasan pada anak adalah orang terdekat korban yang seharusnya memberikan perlindungan.
Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan, apa sebenarnya penyebab dan latar belakang yang membuat kasus ini marak terjadi? Sebagian berbicara himpitan ekonomi sebagai penyebabnya, sebagian lainnya mengatakan kekerasan pada anak timbul karena dipicu perilaku buruk yang pelakunya.
Ketika 23 Juli mendatang diperingati sebagai Hari Anak Nasional, dimana seharusnya dirayakan dengan suka cita, namun kenyataanya, pekerjaan rumah besar menanti, agar tindak kejahatan yang menghantui generasi muda Bangsa ini segera sirna, setidaknya bisa ditekan. Berdasarkan data Unit Pelindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Kota Bandung, hingga pertengahan 2015, terdapat 60 kasus kekerasan seksual pada anak.
Sementara selama 2013 tercatat 94 kasus dan 2014, 120 kasus. Fakta lain pun pernah diungkapkan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid. Dia menyebutkan, setiap tahunnya, kejahatan seksual pada anak meningkat. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), kata dia, tercatat lebih dari 21 kasus pelanggaran hak anak dimana separuhnya merupakan kejahatan seksual.
Menurut dia, persentase kekerasan seksual pada anak terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Fenomena ini menggambarkan bahwa kejahatan seksual pada anak sama bahayanya dengan narkotika, yang termasuk ke dalam extra ordinary crime. “Kejahatan semacam ini mengancam keberlangsungan masa depan Indonesia,” ungkapnya, di Bandung, belum lama ini.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2011-2013, dari 7.650 kasus kekerasan pada anak di Indonesia, 30,01% atau 2.132 di antaranya merupakan kasus kejahatan seksual. Ironisnya lagi, tindak kejahatan ini mencuat dari lingkungan terdekat Sang Anak yakni, keluarga, sekolah, hingga tempat tinggalnya. Yang paling mengejutkan, banyak kasus kekerasan seksual pada anak dimana pelakunya anak-anak juga. “Potret ini seakan menunjukan bahwa Indonesia, bukan lagi tempat yang ramah bagi tumbuh kembang anak,” ucapnya.
Mulai Psikopat Hingga Urusan Rumah Tangga Jadi Penyebabnya
Sementara itu, psikolog perkembangan anak Rumah Sakit Melinda Efnie Indrianie menyebutkan, banyak penyebab terjadinya kekerasan pada anak mulai karakter pelaku yang memang psikopat dan mengalami gangguan kepribadian, faktor ekonomi, efek traumatik, dan lainnya. Sehingga, kata Efnie, penanganan kasus kekerasan pada anak pun tidak bisa digeneralisasi dan harus dianalisa per kasus.
“Akan tetapi, pemicu terbesar seseorang melakukan kekerasan terhadap anak biasanya memang replikasi atau pengulangan dari perjalanan hidup pelaku. Dimana pada masa lalunya, pelaku juga pernah menjadi korban kekerasan atau pernah mengalami efek traumatik,” ungkapnya. Bahkan, Efnie menyebutkan, replikasi merupakan penyebab dominan dalam kasus kekerasan pada anak di Negara ini.
Kondisi ini diperparah oleh beratnya beban hidup pelaku akibat kondisi ekonomi yang sulit. Selain faktor sulitnya ekonomi, replikasi juga biasanya dipicu masalah dalam keluarga ataupun perkawinanya yang dialami pelaku. Sehingga, efek kumulatif dari berbagai persoalan tersebut seringkali dilampiaskan pada anak. Disinggung soal penyalanggunaan internet, menurut Efnie, hal itu bukanlah faktor utama.
Pasalnya, internet hanya menyediakan informasi atau berita-berita yang belum tentu menggiring seseorang melakukan tindak kekerasan pada anak. Meskipun, lanjut Efnie, orang yang terpapar langsung lingkungan yang penuh kekerasan, semisal adiksi games yang mengandung unsur kekerasan, dimungkinkan pula dapat melakukan tindak kekerasan.
“Menurut teori behaviourisme, bahwa dengan memperhatikan, mengobservasi, mengalami, atau pernah berada di lingkungan semacam itu, orang bisa berbuat kekerasan,” jelasnya. Menurut Sosiolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Eva Nuriyah, kekerasan pada anak juga dapat disebabkan oleh perilaku orang tua atau lingkungan sekitar. Biasanya, dipicu oleh tindakan-tindakan yang tidak disadari dan tidak dianggap sebuah kekerasan. Padahal, jika tindakan tersebut dilakukan, pelakunya bahkan bisa dipidanakan.
Dia mencontohkan, dengan memukul anak atau membentak anak secara berlebihan, akan menimbulkan luka fisik dan psikologis pada anak. Tak hanya itu, menurutnya, masyarakat umumnya merasa bahwa tindak kekerasan yang dilakukan orang tua pada anaknya merupakan urusan rumah tangga yang tidak bisa dicampuri orang lain, sehingga masyarakat pun enggan untuk melapor.
“Tapi, saya mengapresiasi banyaknya kasus kekerasan anak yang terungkap saat ini. Sebab, hal itu tentunya tak bisa dilepaskan dari laporan keluarga ataupun tetangga di lingkungan korban. Masyarakat kini semakin peduli dan menganggap pencegahan kekerasan pada anak merupakan tanggung jawab mereka juga,” tuturnya. Diakuinya.
Sejak dulu, kekerasan pada anak ini sebenarnya sudah ada, namun masyarakat umumnya belum memahami bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan tindakan kekerasan seperti guru SD yang kerap mengetuk-ngetukannya penggaris panjang ke papan tulis untuk mendapatkan perhatian siswanya. Tak jarang, penggaris panjang itu melayang ke tangan siswa yang enggan memperhatikannya. “Sebenanya, fenomena kekerasan pada anak ini seperti fenomena gunung es ,dimana data yang sebenarnya mungkin jauh lebih besar,” ungkapnya.
Anak Korban Kekerasan Butuh Rehabilitasi
Apapun penyebabnya, diperlukan sebuah solusi agar kekerasan pada anak tidak terus terulang. Sosiolog Unpad Eva Nuriyah menyebutkan, sejumlah upaya bisa dilakukan untuk mencegah kekerasan pada anak di antaran upaya promotif untuk meningkatkan kapasitas kemampuan individu, kelompok, atau masyarakat. Contohnya, sosialisasi yang bersifat edukasi untuk memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa kekerasan pada anak dapat menghambat tumbuh kembang anak dan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di masa mendatang.
Selain itu, upaya kuratif yang bertujuan untuk merawat dan mengobati individu, kelompok, dan masyarakat yang terdampak kekerasan pun perlu dilakukan. Pengobatan fisik dan psikologis bertujuan untuk mengintegrasi korban ke lingkungan semula. Rehabilitasi korban kekerasan juga perlu mendapat dukungan dari orang tua, guru, masyarakat, hingga pemerintah.
“Yang perlu diperhatikan, sebagian besar kekerasan yang terjadi pada anak dilakukan orang di lingkungan terdekatnya. Sehingga, ketika anak menjadi korban, proses reintegrasinya perlu dukungan serius yang melibatkan psikolog dan pekerja sosial,” jelasnya.
Anne rufaidah
(ars)