Sultan Thaha, Pejuang Jambi yang Tak Lelah Melawan Belanda

Senin, 06 Juli 2015 - 05:00 WIB
Sultan Thaha, Pejuang...
Sultan Thaha, Pejuang Jambi yang Tak Lelah Melawan Belanda
A A A
THAHA Syaifuddin atau yang lebih dikenal Sultan Thaha Syaifuddin lahir di Jambi tahun 1816 di lingkungan istana Tanah Pilih Kampung Gedang kerajaan Jambi.

Sejak kecil, Taha Saifuddin memang sudah memiliki keistimewaan dalam dirinya. Tanda-tanda itu tampak pada kecerdasan dan ketangkasan yang kerap terlihat saat dia bermain dengan teman sebayanya.

Bakat alam luar biasa itu sudah dimilikinya sejak dia lahir dari rahim sang ibu yang kala itu menjadi permaisuri di kerajaan Jambi. Taha Saifudin adalah anak Sultan Fachruddin, sultan pertama yang memerintah jambi sekitar awal abad ke-19 lalu.

Thaha kecil terkenal pandai bergaul dengan siapa tanpa membeda-bedakan, baik sesamam anak bangsawan atau anak-anak para hulu-balang yang menetap di perkampungan.

Berani karena benar dan takut akibat perbuatanya yang salah,begitu prinsip hidup yang dia jalankan. Sikap baik ini sangat kuat tertanam dalam dirinya.

Sikap itu pula yang pada akhirnya membentuk pribadi sang putra mahkota sampai kelak dewasa dan mampu memimpin kerajaan Islam di Jambi secara manusiawi.

Dia lindungi rakyat dari penindasan dan kesulitan hidup. Dia perangi kezaliman dan angkara murka kaum penjajah tanpa jera sampai mati tak ada sedikit pun kata kompromi yang dia kabulkan.

Jika dalam kenyataan hal itu merugikan dan membuat sengsara kehidupan rakyat Jambi. Thaha Saifuddin memang tak pernah lepas dari paham-paham kejujuran dan kebenaran.

Dia pun tak menyukai keangkuhan dan ketamakan. Thaha biasa dididik ayahnya dengan ajaran budi pekerti yang luhur serta ajaran Islam yang kuat.

Bahkan, pelajaran ilmu ketauhidan telah lama meresap secara baik di dalam jiwanya sejak usia lima tahun.

Sang putra mahkota Jambi percaya benar, tak ada kekuasaan yang paling besar dan kekal di dunia ini selain kekuasaan Allah swt.

Dan, dari dasar keyakinan yang ditumbuhkan sang ayah itu, Thaha akhirnya mampu berkembang sebagai anak yang luar biasa, berani, dan ulet dalam segala pekerjaan, termasuk dalam cara mengungkapkan pendapat pribadinya.

Di masa putra mahkota ini hidup, Jambi telah memiliki sejarah perjuangan yang cukup lama. Pada awal abad ke-19 atau pada saat dia dilahirkan tahun 1816, pemerintahan kerajaan yang ditampuk oleh sang ayah ini sudah bercorak Islam.

Corak lama yang menganut unsur Hindu-Buddha telah ditinggalkan. Sejak awal abad ke-19 itu pula, sisa kejayaan Sriwijaya dan Singasari maupun Majapahit yang pernah mampir di Jambi sebelumnya telah berubah total.

Bentuk kerajaan pun diubah menjadi kesultanan. Dan, Sultan Fachruddin, ayah Sultan Thaha yang pemerintahannya selalu di bawah tekanan Belanda, menjadi sultan Jambi pertama yang beragama Islam.

Saat menyadari usianya semakin tua, Sultah Fachrudin memberikan sebuah keris yang bernama keris Siginjei kepada Sultan Thaha yang kala itu berusia 25 tahun.

Sultan Fachrudin berpesan kepada anaknya agar memerangi Belanda hingga menyingkir dari bumi Jambi.

Karena usia Sultan Thaha masih sangat muda, maka sebelum menjadi raja, terlebih dahulu diangkat menjadi perdana menteri.

Sikap baginda Sultan Thaha ini sangat membuat iri adiknya yang lain, yaitu Sultan Nachruddin dan para anak keturunannya.

Sebab, mereka merasa punya hak yang sama pula untuk memerintah Jambi, namun mereka tak kuasa. Lambang kesultanan berupa keris Siginje yang menjadi syarat mutlak dalam memerintah kerajaan telah dimiliki Sultan Thaha.

Sehinggga secara resmi rakyat Jambi tak mendukung atau mengakui keberadaan Sultan Nachruddin. Sedangkan, pemerintahan Sultan Abdurachman pun sifatnya hanya sementara.

Setelah lambang kebesaran atau kekuasaan raja itu dilimpahkan kepada Sultan Thaha, Baginda Sultan Fachruddin wafat dengan tenang.

Baginda meninggalkan Sejumlah tugas yang harus bisa diselesaikan oleh adik dan putra satu-satunya ini. Kala itu, kesultanan Jambi tengah menghadapi posisi sulit.

Perjuangan Sultan Thaha Saifuddin Melawan Belanda.

Belanda sebelumnya telah berhasil menekan Sultan Fachrudin untuk menandatangani surat perjanjian yang isinya harus mengakui hak serta kekuasaan penjajah dalam perdagangan di wilayah Jambi.

Tindakan yang merugikan Jambi ini memang tak kuasa ditolak oleh Sultan Fachruddin kala masih hidup. Karenanya sebagai penerus pemerintahannya, Sultan Taha menghadapi tugas mahaberat.

Jiwanya yang penuh diliputi ilmu ketauhidan terus berontak melihat sikap belanda dan VOC yang akan mengambil kekuasaan penuh yang ditinggalkan ayahandanya.

Dia ingin agar jambi dapat kembali menjadi kesultanan yang berdaulat penuh atas rakyatnya. Maka untuk memulihkan kondisi semula, tindakan pertama yang akan dilakukannya itu suatu ketika diungkapkan kepada sang paman, Sultan Abdurachman.

"Paman Sultan, aku sama sekali tak dapat menerima tindakan belanda ini. Aku tak suka bila Jambi terjual begitu saja kepada kekuatan asing. Sanggupkah kita melawan mereka sekarang paman?” tanya Sultan Thaha pada Abdurahman.

"Benar, ananda Pangeran. Jika dengan perlawanan senjata dan pengerahan rakyat ke medan tempur, sudah tentu tak mungkin kita dapat mengimbangi kekuatan Belanda," jawab Abdurachman.

"Untuk itu, kita harus mencari cara yang praktis. Nah, bagaimana jika kita mengadakan hubungan dengan bangsa Amerika? Sebentar lagi kaum pedagang asing itu akan datang ke Jambi untuk mencari rempah-rempah," tambah Abdurachman.

Saran Abdurachman diterima oleh Sultan Thaha. "Tepat sekali saran paman. Dengan pegabungan dua kekuatan nantinya, sekaligus aku akan mengeluarkan pula maklumat untuk tak mengakui perjanjian lama yang pernah ditandatangani oleh ayahanda dahulu," kata Sultan Thaha.

"Bergegaslah, Paman. Sebab, menurut kabar di Palembang pun pihak sultan setempat tengah memberontak pula melawan Belanda. Ini kesempatan bagi Jambi untuk mengacaukan mereka," ujar Sultan Thaha lagi.

Namun, menjelang perlawanan besar itu tiba, Sultan merasa kaget karena para pedagang Amerika yang akan siap membantunya telah ditangkap Belanda sebelum mengadakan aksi penyerangan.

Rahasia ini bocor akibat laporan dari sultan Nachruddin yang merasa iri dan ingin memencing di air keruh. Adik nomor dua sultan pertama Jambi ini berharap, dengan jasanya itu kelak dia pun akan diangkat menjadi sultan pula oleh Belanda.

Di sisi lain, Belanda ternyata lebih kaget lagi. Pasalnya, bangsa penjajah ini tak menduga bahwa di samping perlawanan besar. Sultan Thaha yang memimpin pasukan Jambi menyodorkan pula maklumatnya.

Sultan Thaha menghapus perjanjian lama, dan isi maklumat yang dibuatnya sama sekali tak mengakui hak-hak belanda atas Jambi. Belanda lalu membujuk sang Sultan untuk memperbaharui saja isi perjanjian lama.

Tapi, harapan Belanda ini ditolak mentah-mentah. Akhirnya, pertempuran besar pun berlangsung dengan kekalahan di pihak Belanda.

Namun, meskipun Jambi berhasil memperoleh kemenangan besar, hati Sultan sangat sedih.

Pamannya, sultan Abdurachman, tewas. Sementara pamannya yang lain, yaitu paman sultan Nachruddin, kini berada di pihak Belanda dan secara tak langsung tak mengakui pula Sultan Thaha sebagai Sultan Jambi ke-3.

Kemenangan ini sekaligus telah memecah dua bagian isi kesultanan Jambi. Sultan Taha terus memimpin rakyat.

Kebencian terhadap pamannya yang berkhianat itu justru membuat dia lebih dekat lagi mengikis habis bentuk penindasan serta penjajahan di bumi Jambi.

Akhirnya, Sultan Taha berhasil melaksanakan niatnya. Dia memimpin pemerintahan baru dengan bekal pusaka Keris Siginjei.

Sebagai tanda kebesaran kesultanannya. Sultan Nachruddin pun diusir. Dia di nobatkan sebagai Sultan Jambi III dengan gelar Pangeran Jayaningrat.

Pemerintahannya yang sah dan kini menghadapi perlawanan segitiga itu, dibantu oleh anak Sultan Abdurachman yang juga adik sepupunya bernama Raden Muhammad, yang kemudian bergelar Pangeran Kartadiningrat.

Sementara itu, pihak Belanda menyusun kembali kekuatan baru. Bala bantuan yang akan dipakai menebus kekalahan perangnya dengan kesultanan Jambi cepat didatangkan dari Palembang.

Dibantu Sultan Nachruddin yang telah menjadi antek sekutunya, kemudian terjadilah perang kedua.

Istana kesultanan diserang dan dihancurkan, Sultan Thaha terpaksa meninggalkan istananya yang porak-poranda. Dia pergi mengungsi ke wilayah Muara Tembesi.

Bersama sisa-sisa pengikut setianya, dia lalu melancarkan perang gerilya. Sultan Nachruddin resmi diangkat Belanda sebagai sultan baru yang ke-4. Tetapi, rakyat Jambi tetap tak mau mengakuinya.

Pusaka keris Siginjei yang dipakai sebagai bukti kekuasaan raja masih ada di tangan Sultan Taha.

Untuk itu, sekalipun Belanda memberlakukan pasal perjanjian baru yang lebih merugikan serta hanya menguntungkan pihak VOC, pihak rakyat Jambi tetap memihak kepada Sultan Thaha.

Untung saja menyadari posisinya yang sangat kurang menguntungkan karena di satu sisi sebagai sultan baru dia tak diakui kedaulatannya oleh rakyat, sementara di pihak lain Belanda pun mengadakan penekanan terhadapnya, akhirnya dengan sisa-sisa

semangat nasionalismenya Sultan Nachruddin kembali berbelok arah. Secara diam-diam, dia pun menyatakan bersalah kepada keponakannya di tempat pengungsian.

Pernyataan yang disampaikan secara langsung diterima dengan gembira oleh Sultan Thaha.

Kemudian, dengan diam-diam pula tanpa diketahui Belanda, sang sultan gadungan Nachruddin segera memindahkan pusat pemerintahannya dari Jambi ke suatu wilayah bernama Dusun Tengah, yang lokasinya sekarang berdekatan sekali dengan Muara Tembesi yang kala itu menjadi pusat kegiatan gerilya Sultan Thaha.

Pihak Belanda pun berhasil dikecoh sampai waktu yang cukup lama oleh kedua paman dan keponakan yang sama-sama bertekad untuk bersatu padu kembali membela tanah Jambi itu.

Perlawanan demi perlawanan pun terus digencarkan sampai batas waktu yang tak terhingga.

Dikabarkan, pihak Jambi tetap berada di bawah kendali Sultan Thaha dalam posisi gerilyanya hingga mencapai usia 85 tahun dan tetap tak mengakui kehadiran Belanda maupun organisasi dagangnya, VOC.

Waktu itu pasukan Sultan Thaha dan Sultan Nachruddin terus mengadakan perlawanan. Pertempuran kerap berlangsung dari waktu ke waktu di seluruh wilayah Jambi.

Mulai dari wilayah Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi, Muaro Tebo, Mesumai, Merangin, hingga ke Kuala Tungkal, perlawanan rakyat Jambi terus bergolak.

Sultan Thaha sendiri tak mempunyai pikiran untuk menyerah sekalipun perlawanan yang ditunjukannya lama-kelamaan semakin parah.

Tetapi bagaimanapun, semangat perjuangan rakyat Jambi yang tak didukung oleh persenjataan besar sebagaimana perlawanan pihak kerajaan pribumi di wilayah Indonesia lainnya itu, tetap tak berhasil mematahkan maklumat keji yang di buat Belanda.

Kala itu, Belanda telah sempat memperluas kekuasaannya hingga membuat Sultan Thaha Kian Tersudut.

Akhirnya sang sultan mengasingkan diri di sebuah daerah Tebo, sampai beliau menghembuskan nafas terakhirnya sebagai pahlawan yang tak pernah lelah mengusir penjajah dari tanah Jambi.

Bahkan pemerintah pun tak pernah menghapus nama besarnya dan bumi Jambi. Dan, sebagai tanda penghormatan dari pemerintah, kini nama Sultan Thaha tersebut terukir abadi sebagai nama bandar udara dan salah satu perguruan tinggi di Provinsi Jambi.

Sumber:

mbokr02.wordpress, diolah dari berbagai sumber
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1484 seconds (0.1#10.140)