Sosialisasikan Keunikan Kelentangan
A
A
A
ALAT musik tradisional kelentang pertama kali diketahuinya tahun 2002 lalu, saat Kabupaten Banyuasin baru berdiri.
Ketika itu, Raden ditugaskan Bupati Amiruddin Inoed untuk menggali seni dan budaya dari seluruh pelosok daerah yang belum terangkat kepermukaan. “Saat tengah berjalan-jalan mencari apa saja seni dan budaya asli Banyuasin, saya diberitahu kalau di Desa Tanjung Beringin ada alat musik unik. Lalu saya kesana untuk memastikannya. Ternyata benar saja di sana ada alat musik dari kayu kemahang yang disebut kelentang,” paparnya.
Sejak menemukan keberadaan alat musik ini tahun 2002 lalu, Disparsenbudpora terus berusaha mengembangkan dan mengenalkan alat musik ini kepada masyarakat, baik itu di Kabupaten Banyuasin maupun Provinsi Sumsel. “Ke depan, alat ini akan mulai dan terus kami dikembangkan serta kenalkan ke tingkat nasional bahkan internasional, melalui berbagai acara dan kegiatan budaya yang diikuti. Sejauh ini, alat musik kelentang ini sudah pernah ditampilkan di Festival Sriwijaya dan Festival Besemah,” jelasnya.
Selain itu, sebagai upaya pelestarian, Disparsenbudpora berencana mematenkan alat musik kelentangan karena khawatir diakui oleh daerah lain. Sebab sudah banyak terjadi, banyak seni maupun budaya yang tiba-tiba diakui oleh orang maupun daerah lain. Karena itu, pihaknya belum mau sembarangan memberikan pelajaran kepada seniman dan masyarakat dari daerah lain yang tertarik untuk mempelajari alat musik ini, kecuali kepada generasi muda asli Banyuasin.
“Tapi setelah dipatenkan, barulah alat musik ini akan lebih dikenalkan kepada khalayak umum. Namun kendalanya saat ini, kita tidak memiliki cukup dana untuk mengajukan alat ini untuk mendapatkan hak kekayaan intelektual (HKI) di Direktorat Jendral HKI – Departemen Hukum dan HAM RI (Ditjen HKI),” pungkasnya.
Yopie cipta raharja
Ketika itu, Raden ditugaskan Bupati Amiruddin Inoed untuk menggali seni dan budaya dari seluruh pelosok daerah yang belum terangkat kepermukaan. “Saat tengah berjalan-jalan mencari apa saja seni dan budaya asli Banyuasin, saya diberitahu kalau di Desa Tanjung Beringin ada alat musik unik. Lalu saya kesana untuk memastikannya. Ternyata benar saja di sana ada alat musik dari kayu kemahang yang disebut kelentang,” paparnya.
Sejak menemukan keberadaan alat musik ini tahun 2002 lalu, Disparsenbudpora terus berusaha mengembangkan dan mengenalkan alat musik ini kepada masyarakat, baik itu di Kabupaten Banyuasin maupun Provinsi Sumsel. “Ke depan, alat ini akan mulai dan terus kami dikembangkan serta kenalkan ke tingkat nasional bahkan internasional, melalui berbagai acara dan kegiatan budaya yang diikuti. Sejauh ini, alat musik kelentang ini sudah pernah ditampilkan di Festival Sriwijaya dan Festival Besemah,” jelasnya.
Selain itu, sebagai upaya pelestarian, Disparsenbudpora berencana mematenkan alat musik kelentangan karena khawatir diakui oleh daerah lain. Sebab sudah banyak terjadi, banyak seni maupun budaya yang tiba-tiba diakui oleh orang maupun daerah lain. Karena itu, pihaknya belum mau sembarangan memberikan pelajaran kepada seniman dan masyarakat dari daerah lain yang tertarik untuk mempelajari alat musik ini, kecuali kepada generasi muda asli Banyuasin.
“Tapi setelah dipatenkan, barulah alat musik ini akan lebih dikenalkan kepada khalayak umum. Namun kendalanya saat ini, kita tidak memiliki cukup dana untuk mengajukan alat ini untuk mendapatkan hak kekayaan intelektual (HKI) di Direktorat Jendral HKI – Departemen Hukum dan HAM RI (Ditjen HKI),” pungkasnya.
Yopie cipta raharja
(ars)