Gigih Berjuang, Gurunya Para Guru Bangsa

Sabtu, 27 Juni 2015 - 09:20 WIB
Gigih Berjuang, Gurunya Para Guru Bangsa
Gigih Berjuang, Gurunya Para Guru Bangsa
A A A
Suasana Ramadan di Masjid As Sholeh Darat di Jalan Kakap Darat Tirto No 29 Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, tampak berbeda.

Di depannya terpasang spanduk bertulis “Hadirilah Pengajian Umum Haul Akbar Mbah Kyai Sholeh Darat ke 115 pada Ahad 26 Juli 2015”. Ya , masjid itulah salah satu petilasan ulama besar Kiai Sholeh Darat yang kini masih ada. Makam ini sudah dilakukan pemugaran beberapa kali. Di masjid itu pula setiap tahun diselenggarakan pengajian untuk memperingati haul kiai bernama lengkap Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani.

“Beliau sebenarnya wafat pada tanggal 28 Ramadan 1321 Hijriah/18 Desember 1903, namun keturunannya biasa memperingati pada 10 hari setelah Lebaran. Hal ini memudahkan para pengunjung,” kata cicit Kyai Sholeh Darat, Agus Taufiq. Selain diselenggarakan pengajian di Masjid As Sholeh Darat, keturunan Kiai Sholeh Darat yang masih ada juga berziarah ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bergota Semarang.

Diceritakan Agus, Kiai Sholeh Darat itu sebenarnya lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, dengan mana Muhammad Sholeh pada 1820 Masehi atau 1235 Hijriah. Seiring perjalanan waktu, namanya ditambah Darat. Sebutan kata “Darat” di belakang namanya adalah sebutan masyarakat untuk menunjukkan tempat tinggalnya, yakni di Kampung Darat, Semarang. Putra dari Kiai Umar ini sejak muda memang sudah haus dengan ilmu, selain belajar ilmu keagamaan dengan ayahnya, ia juga belajar mengaji ke beberapa ulama yang ada di tanah Jawa.

Merasa belum cukup, ulama yang paling tidak menulis 40 kitab ini juga merantau ke Mekkah untuk belajar ilmu keislaman. Sepulang dari Tanah Arab, Kiai Sholeh Darat pulang ke Semarang menikah dengan Sofiyah, putri Kyai Murtadho yang merupakan teman akrab ayahnya. “Pesantren di Kampung Darat itu sebenarnya yang mendirikan adalah Kiai Murtadho, namun yang meneruskan perkembangannya adalah Kiai Sholeh Darat,” ungkap Agus. Selama berkiprah di Semarang, banyak ulama maupun para tokoh kelak menjadi guru bangsa menimba ilmu kepadanya.

Sejumlah guru bangsa yang pernah berguru kepada Kiai Shaleh di antaranya, KH Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Munawir Krapyak Yogyakarta, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan ulama lainnya. Sementara murid dari kalangan nonkiai yang terkenal adalah pahlawan emansipasi wanita, Raden Ajeng (RA) Kartini.

Putri Bupati Jepara ini sewaktu menikah dengan Bupati Rembang Joyodiningrat diberi kado oleh Kiai Sholeh Darat berupa kitab Tafsir Alquran Faidhur Rohman fi Tarjamati Tafsiri Kalam Al-Malik al-Dayan. Itu merupakan kitab tafsir Alquran pertama di Indonesia dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. “Saat ini kitab tafsir itu berada di Museum Kartini Rembang,” tutur Taufiq. Melalui kitab yang dihadiahkan dari Kiai Sholeh Darat itu, Kartini banyak belajar tentang Islam.

Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya, yaitu “Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya” (Q.S Al- Baqoroh: 257). Dalam banyak suratnya kepada temannya orang Belanda, JH Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari Gelap Menuju Cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda “Door Duisternis Toot Licht”. Oleh Armin Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi untuk buku kumpulan surat menyurat Kartini.

Dinyatakan Agus, berdasarkan penuturan orang tuanya, sosok Kiai Selah Darat merupakan teguh dalam mengajarkan nilai-nilai keislaman. Semangatnya besar agar ajaran Islam itu bisa dipahami penduduk muslim di Jawa. Tak pelak, kitab-kitab yang ditulis rata-rata menggunakan bahasa Jawa, meskipun tetap menggunakan aksara Arab. Dari sekitar 40 kitab yang pernah ditulis Kiai Saleh Darat, setidaknya ada 12 kitab telah ditemukan di antaranya, Majmuat Syariat al Kafiyat lil Al-awam, terjemah Al-Hikam, Munjiyat, Lathaif al-thoharah wa Asrorus Solah, Manasik al-Haj, Pasolatan, Minhaj Al-Atqiya, Faid al-Rohman, dan lainnya. “Bahkan ada yang tersimpan di museum di Belanda dan Inggris,” kata Agus.

Menurut Agus, sosok Kiai Sholeh Darat merupakan pejuang gigih membela bangsa. Setelah kekalahan Pangeran Diponegoro, dia juga menulis siasat perang dengan bahasa Jawa beraksara Arab karena pada saat itu orang Belanda tidak bisa membaca bahasa Arab. Di setiap kesempatan, dia selalu memupuk nilai kebangsaan kepada murid-muridnya. Kiai Sholeh Darat juga tokoh yang bersahaja. Dalam semua kitabnya, dia selalu merendah dan menyebut dirinya sebagai orang Jawa awam yang tak paham seluk beluk bahasa Arab.

Dalam prolog kitabnya selalu tertulis “Kitab ini dipersembahkan kepada orang awam dan bodoh seperti saya”. Meskipun demikian, dikatakan Agus, kealiman dan daya intelektualnya tidak diragukan lagi. Terbukti sudah puluhan karya kitab lahir dari tangannya. Begitu pula banyak ulama besar dulu pernah berguru kepadanya.

Amin Fauzi
Kota Semarang
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8357 seconds (0.1#10.140)