Perjalanan Keraton Cakraningrat IV Menjadi Pesantren Tertua di Madura
A
A
A
PESANTREN Sembilangan terletak di ujung barat Bangkalan, tepatnya di Desa Sembilangan, Kecamatan Kota, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
Pesantren yang hanya terletak sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Salak merupakan salah satu pesantren tertua yang ada di Bangkalan.
Diperkirakan usia Pesantren Sembilangan sekitar 270 tahun silam. Pasalnya, sebelum dijadikan lembaga pendidikan, dulu pesantren tersebut merupakan sebuah keraton.
Dan keraton tersebut menjadi pusat pemerintahan ketika Raden Djurit, Cakraningrat IV memimpin Madura Barat sejak 1718 sampai 1745.
Namun, dalam perjalanan waktu keraton berubah menjadi Pesantren Sembilangan. Hal ini terjadi setelah putri Cakraningrat IV menikah dengan Kiai Abdul Karim, cucu dari Sunan Cendana.
Saat hendak memasuki pesantren suasana keraton memang sudah terasa. Banyak pagar rumah warga hanya terbuat dari batu karang. Batu tersebut tidak dilekatkan dengan semen, melainkan hanya ditata langsung seperti zaman dulu.
Ketika masuk ke halaman pesantren juga terlihat sejumlah benda peninggalan keraton. Misal, sebuah kereta yang berusia sekitar ratusan tahun.
Kemudian ada bangunan kuno yang masih kokoh di komplek Pesantren Sembilangan. Bangunan tersebut warisan dari Keraton Cakraningrat IV yang wafat di daerah pengasingan, Tanjung Harapan, Afrika Selatan (Afsel).
Selain itu, di belakang bangunan kuno juga terdapat sebuah kolam atau Patertan, sebutan sumber air tempat mandi putri-putri keraton pada masa Kerajaan Cakraningrat IV.
Air pada kolam ini tidak terlalu dalam, hanya sekitar setengah meter. Di dalam kolam banyak ikan bileng, bentuknya seperti ikan lele. Kini, sumber air tersebut dikeramatkan.
"Pesantren ini sudah berusia ratusan tahun. Bisa jadi salah satu pesantren tertua disini. Karena pertama kali yang mendirikan pesantren ini menantunya Cakraningrat IV yakni Kiai Abdul Karim," terang Pengasuh Pesantren Sembilangan, KH Moh Sofwen.
Sofwen menceritakan, dulu para santri di Pesantren Sembilangan ikut membantu perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dalam melawan penjajah.
Sebab, para santri selain dibekali ilmu agama, juga diajari ilmu untuk melindungi diri sendiri seperti pencak silat.
"Disini banyak ditemukan benda peninggalan zaman keraton seperti kereta yang berusia 200 tahun dan pintu gerbang, yang dibangun pada tahun 1939. Disamping itu, juga ada tombak sisa dari kerajaan Cakraningrat IV," ucap keturunan keenam dari Kiai Abdul Karim itu.
Menurut Sofwen, sejarahnya keraton berubah menjadi Pesantren Sembilangan bermula ketika Putri Cakraningrat IV menikah dengan Kiai Abdul Karim.
Seiring dengan perkembangan zaman dan peralihan kekuasaan, akhirnya keraton tesebut jadi pesantren.
Semua benda peninggalan keraton Cakraningrat IV masih dirawat dengan baik secara turun temurun.
Sehingga benda-benda saksi sejarah dalam kondisi bagus, salah satunya bangunan keraton. Pihaknya tidak berani merubah wajah dari bangunan keraton.
"Kami hanya memperbaiki jika ada bangunan yang rusak. Misal, tembok mengelupas dan melakukan pengecatan dengan warga yang sama. Sehingga tidak sampai merubah wajah asli dari bangunan kuno ini. Sampai sekarang masih ditempati," ucapnya.
Begitu juga dengan kolam, sambung Sofwen, yang merupakan tempat pemandian para putri keraton Cakraningrat IV. Sampai saat ini kondisi masih bagus dan sumber airnya masih ada.
Banyak warga yang datang kesana untuk mengetahui secara langsung seperti apa bentuk kolamnya.
"Bagi warga yang datang ke kolam diharapkan mematuhi aturan yang ada. Supaya benda bersejarah tersebut masih tetap ada," sebutnya.
Pengunjung yang datang kesana dilarang mandi di kolam. Hanya saja pengunjung diperbolehkan berwudu dan mengambil air secukupnya.
Sebagian masyarakat menyakini air yang ada pada sumber tersebut bisa menyembuhkan sejumlah penyakit.
Pesantren yang hanya terletak sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Salak merupakan salah satu pesantren tertua yang ada di Bangkalan.
Diperkirakan usia Pesantren Sembilangan sekitar 270 tahun silam. Pasalnya, sebelum dijadikan lembaga pendidikan, dulu pesantren tersebut merupakan sebuah keraton.
Dan keraton tersebut menjadi pusat pemerintahan ketika Raden Djurit, Cakraningrat IV memimpin Madura Barat sejak 1718 sampai 1745.
Namun, dalam perjalanan waktu keraton berubah menjadi Pesantren Sembilangan. Hal ini terjadi setelah putri Cakraningrat IV menikah dengan Kiai Abdul Karim, cucu dari Sunan Cendana.
Saat hendak memasuki pesantren suasana keraton memang sudah terasa. Banyak pagar rumah warga hanya terbuat dari batu karang. Batu tersebut tidak dilekatkan dengan semen, melainkan hanya ditata langsung seperti zaman dulu.
Ketika masuk ke halaman pesantren juga terlihat sejumlah benda peninggalan keraton. Misal, sebuah kereta yang berusia sekitar ratusan tahun.
Kemudian ada bangunan kuno yang masih kokoh di komplek Pesantren Sembilangan. Bangunan tersebut warisan dari Keraton Cakraningrat IV yang wafat di daerah pengasingan, Tanjung Harapan, Afrika Selatan (Afsel).
Selain itu, di belakang bangunan kuno juga terdapat sebuah kolam atau Patertan, sebutan sumber air tempat mandi putri-putri keraton pada masa Kerajaan Cakraningrat IV.
Air pada kolam ini tidak terlalu dalam, hanya sekitar setengah meter. Di dalam kolam banyak ikan bileng, bentuknya seperti ikan lele. Kini, sumber air tersebut dikeramatkan.
"Pesantren ini sudah berusia ratusan tahun. Bisa jadi salah satu pesantren tertua disini. Karena pertama kali yang mendirikan pesantren ini menantunya Cakraningrat IV yakni Kiai Abdul Karim," terang Pengasuh Pesantren Sembilangan, KH Moh Sofwen.
Sofwen menceritakan, dulu para santri di Pesantren Sembilangan ikut membantu perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dalam melawan penjajah.
Sebab, para santri selain dibekali ilmu agama, juga diajari ilmu untuk melindungi diri sendiri seperti pencak silat.
"Disini banyak ditemukan benda peninggalan zaman keraton seperti kereta yang berusia 200 tahun dan pintu gerbang, yang dibangun pada tahun 1939. Disamping itu, juga ada tombak sisa dari kerajaan Cakraningrat IV," ucap keturunan keenam dari Kiai Abdul Karim itu.
Menurut Sofwen, sejarahnya keraton berubah menjadi Pesantren Sembilangan bermula ketika Putri Cakraningrat IV menikah dengan Kiai Abdul Karim.
Seiring dengan perkembangan zaman dan peralihan kekuasaan, akhirnya keraton tesebut jadi pesantren.
Semua benda peninggalan keraton Cakraningrat IV masih dirawat dengan baik secara turun temurun.
Sehingga benda-benda saksi sejarah dalam kondisi bagus, salah satunya bangunan keraton. Pihaknya tidak berani merubah wajah dari bangunan keraton.
"Kami hanya memperbaiki jika ada bangunan yang rusak. Misal, tembok mengelupas dan melakukan pengecatan dengan warga yang sama. Sehingga tidak sampai merubah wajah asli dari bangunan kuno ini. Sampai sekarang masih ditempati," ucapnya.
Begitu juga dengan kolam, sambung Sofwen, yang merupakan tempat pemandian para putri keraton Cakraningrat IV. Sampai saat ini kondisi masih bagus dan sumber airnya masih ada.
Banyak warga yang datang kesana untuk mengetahui secara langsung seperti apa bentuk kolamnya.
"Bagi warga yang datang ke kolam diharapkan mematuhi aturan yang ada. Supaya benda bersejarah tersebut masih tetap ada," sebutnya.
Pengunjung yang datang kesana dilarang mandi di kolam. Hanya saja pengunjung diperbolehkan berwudu dan mengambil air secukupnya.
Sebagian masyarakat menyakini air yang ada pada sumber tersebut bisa menyembuhkan sejumlah penyakit.
(nag)