Sering Diziarahi Warga Keturunan di Indonesia
A
A
A
SEMARANG - Sunan Kuning atau Sun Kun Ing dipercaya merupakan salah satu penyebar agama Islam Tionghoa di Semarang. Makamnya berada di Kelurahan Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, atau di Bukit Pekayangan, yang berbatasan dengan Jalan Muradi.
Tak jauh dari makam, ada kompleks Resosialisasi Argorejo atau yang lebih dikenal dengan SK. Penyebutan SK se-benarnya karena letak lokalisasi tersebut berada di Jalan Sri Kuncoro yang disingkat SK. Makam itu pertama kali ditemukan oleh Mbah Saribin. Eyang Buyut Saribin diceritakan merupakan tokoh yang memiliki ilmu spiritual tinggi.
Lelaki asal Kudus itu memutuskan bersemedi di Bukit Pekayangan, setelah lima kerbaunya hilang. Dia memilih mengasingkan karena malu kepada murid-muridnya. Sebab, dia biasanya bisa menyembuhkan berbagai penyakit dan kerap membantu masyarakat. Tetapi menemukan kerbau yang hilang tidak bisa.
Alkisah dalam mimpinya, dia kemudian didatangi oleh penunggang kereta kencana yang mengikat kerbau-kerbaunya di hutan Pekayangan. Tak lama kemudian, kerbaunya ditemukan di bukit itu, padahal berjarak dekat dengan rumahnya. Sebenarnya dia sudah mencari ke banyak desa, keluarmasuk hutan, dan tidak ditemukan juga.
Setelah kerbau ditemukan, bersama dengan warga setempat, melakukan bersihbersih di kawasan bukit secara memutar hingga sampai ke atas. Di atas bukit ditemukan batu berjajar yang diduga merupakan makam. Ada enam petilasan, selain Sun Kun Ing, ada juga Sunan Kalijaga, Sunan Ambarawa dan para abdinya, di antaranya Kiai Jimat, Kiai Mojopahit dan Kiai Sekabat.
Saribin mendapati nama tersebut dari semedi. Saribin merupakan juru kunci pertama. Juru kunci kedua adalah Timan, berikutnya Jasman, Sarpani, dan terakhir Sutomo. Makam itu pertama kali dibangun oleh warga keturunan asal Klaten bernama Ny Siek Sing Kang.
Dia menyisihkan sebagian penjualan dari emas berliannya membangun nisan permanen bergaya akulturasi China-Jawa sebagai wujud syukur. Emas berliannya itu sebelumnya hilang di kereta api karena telah dicuri seseorang dan belakangan pelakunya ditangkap oleh polisi.
Selain membuat cungkup, tak jauh dari makam juga diberi gerbang pintu masuk bergaya arsitektur China. Juru kunci makam, Sutomo, 57, bisa menceritakan soal buyutnya, Mbah Saribin, penemu makam. Namun, dia tidak bisa menjelaskan sosok Sunan Kuning semasa hidup. Sosok Sunan Kuning yang dia dengar dari cerita dari waktu ke waktu.
Setahunya, Sunan Kuning itu ayahnya bernama Probo dari Kadilangu Demak. “Ceritanya dulu penyebar agama Islam di sini,” ucapnya. Sutomo menceritakan, saat juru kunci masih dipegang ayahnya, Sarpani, makam itu banyak dikunjungi orang Jawa maupun China dari mana-mana. Mulai dari Solo, Jakarta, Sumatera, dan Kalimantan. Tapi saat ini intensitasnya sudah menurun.
“Pada malam Jumat, di bulan Sura pihak kelurahan dan warga sini memanjatkan doa di areal makam dengan membawa berbagai. Kemudian makanan disantap bersamasama, “ papar Sutomo.
Dalam versi yang lain, Sunan Kuning merupakan seorang pemimpin pemberontakan Tionghoa melawan VOC. Menurut Remy Silado dalam 9 Oktober 1740: Drama Sejarah, dalam catatan seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thien Joe, bahwa Sunan Kuning adalah sebutan populer Raden Mas Garendi. Sunan kuning berasal dari kata Cun Ling (bangsawan tertinggi). Dia merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pecinan (1740-1743).
Persekutuan Tionghoa-Jawa melawan VOC; RM Darajadi menyebut Raeden Mas Garendi bersama Kapitan Sepanjang (Kho panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawanan terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram.
Arif Purniawan
Tak jauh dari makam, ada kompleks Resosialisasi Argorejo atau yang lebih dikenal dengan SK. Penyebutan SK se-benarnya karena letak lokalisasi tersebut berada di Jalan Sri Kuncoro yang disingkat SK. Makam itu pertama kali ditemukan oleh Mbah Saribin. Eyang Buyut Saribin diceritakan merupakan tokoh yang memiliki ilmu spiritual tinggi.
Lelaki asal Kudus itu memutuskan bersemedi di Bukit Pekayangan, setelah lima kerbaunya hilang. Dia memilih mengasingkan karena malu kepada murid-muridnya. Sebab, dia biasanya bisa menyembuhkan berbagai penyakit dan kerap membantu masyarakat. Tetapi menemukan kerbau yang hilang tidak bisa.
Alkisah dalam mimpinya, dia kemudian didatangi oleh penunggang kereta kencana yang mengikat kerbau-kerbaunya di hutan Pekayangan. Tak lama kemudian, kerbaunya ditemukan di bukit itu, padahal berjarak dekat dengan rumahnya. Sebenarnya dia sudah mencari ke banyak desa, keluarmasuk hutan, dan tidak ditemukan juga.
Setelah kerbau ditemukan, bersama dengan warga setempat, melakukan bersihbersih di kawasan bukit secara memutar hingga sampai ke atas. Di atas bukit ditemukan batu berjajar yang diduga merupakan makam. Ada enam petilasan, selain Sun Kun Ing, ada juga Sunan Kalijaga, Sunan Ambarawa dan para abdinya, di antaranya Kiai Jimat, Kiai Mojopahit dan Kiai Sekabat.
Saribin mendapati nama tersebut dari semedi. Saribin merupakan juru kunci pertama. Juru kunci kedua adalah Timan, berikutnya Jasman, Sarpani, dan terakhir Sutomo. Makam itu pertama kali dibangun oleh warga keturunan asal Klaten bernama Ny Siek Sing Kang.
Dia menyisihkan sebagian penjualan dari emas berliannya membangun nisan permanen bergaya akulturasi China-Jawa sebagai wujud syukur. Emas berliannya itu sebelumnya hilang di kereta api karena telah dicuri seseorang dan belakangan pelakunya ditangkap oleh polisi.
Selain membuat cungkup, tak jauh dari makam juga diberi gerbang pintu masuk bergaya arsitektur China. Juru kunci makam, Sutomo, 57, bisa menceritakan soal buyutnya, Mbah Saribin, penemu makam. Namun, dia tidak bisa menjelaskan sosok Sunan Kuning semasa hidup. Sosok Sunan Kuning yang dia dengar dari cerita dari waktu ke waktu.
Setahunya, Sunan Kuning itu ayahnya bernama Probo dari Kadilangu Demak. “Ceritanya dulu penyebar agama Islam di sini,” ucapnya. Sutomo menceritakan, saat juru kunci masih dipegang ayahnya, Sarpani, makam itu banyak dikunjungi orang Jawa maupun China dari mana-mana. Mulai dari Solo, Jakarta, Sumatera, dan Kalimantan. Tapi saat ini intensitasnya sudah menurun.
“Pada malam Jumat, di bulan Sura pihak kelurahan dan warga sini memanjatkan doa di areal makam dengan membawa berbagai. Kemudian makanan disantap bersamasama, “ papar Sutomo.
Dalam versi yang lain, Sunan Kuning merupakan seorang pemimpin pemberontakan Tionghoa melawan VOC. Menurut Remy Silado dalam 9 Oktober 1740: Drama Sejarah, dalam catatan seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thien Joe, bahwa Sunan Kuning adalah sebutan populer Raden Mas Garendi. Sunan kuning berasal dari kata Cun Ling (bangsawan tertinggi). Dia merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pecinan (1740-1743).
Persekutuan Tionghoa-Jawa melawan VOC; RM Darajadi menyebut Raeden Mas Garendi bersama Kapitan Sepanjang (Kho panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawanan terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram.
Arif Purniawan
(ftr)