Menikmati Bubur Sayur Lodeh di Masjid Tertua

Rabu, 24 Juni 2015 - 09:24 WIB
Menikmati Bubur Sayur Lodeh di Masjid Tertua
Menikmati Bubur Sayur Lodeh di Masjid Tertua
A A A
Ada yang berbeda di Masjid Sabiilurrosyaad, Kauman Wijirejo, Pandak, setiap bulan Ramadan.

Tak seperti masjidmasjid lain yang selalu mempersembahkan menu buka puasa beragam setiap harinya, di masjid tertua di Bantul ini menu buka puasa selalu saja sama, yaitu bubur dilengkapi sayur lodeh tahu pedas diisi krecek dan tahu. Menu nasi bubur memang menjadi sajian buka puasa wajib yang harus ada setiap hari. Sebab, sajian ini memiliki makna dan filosofi yang harus dijaga. Sajian menu bubur kini menjadi sebuah tradisi turun-temurun sejak masjid tertua ini didirikan.

Masyarakat sekitar masjid tak ingin menghilangkan tradisi tersebut dari kehidupan mereka. Semua bahan dan tenaga berasal dari masyarakat yang menyumbang secara sukarela. Semuanya memang dilakukan dengan sukarela, tidak ada paksaan atau imbauan, semuanya melaksanakan hal tersebut karena merasa memiliki masjid tersebut. Menurut ketua takmir masjid tersebut, Haryadi, semua bahan, mulai beras, uba rampe, hingga kayu, datangnya dari warga.

Tanpa paksaan, mereka memberikan sumbangan sesuai kemampuan dan kemauan. “Kami sadar, ini sebuah tradisi yang harus kami lestarikan,” ucap pria yang juga menjabat Kabag Kesra Desa Wijirejo ini. Menurut Haryadi, tradisi bubur memang tidak lepas dari filosofi yang terkandung di dalamnya. Sama dengan masjid di Solo, bubur ternyata juga memiliki maksud sama untuk melakukan syiar agama Islam. Seperti yang dilakukan Panembahan Bodho, kakak Panembahan Senopati.

Bubur sangat cocok untuk buka puasa karena lembut, segar, sehingga enak di perut yang baru saja kosong karena puasa. Secara ekonomi, bubur juga hemat karena dengan bahan yang sama dapat menghasilkan porsi lebih banyak dibanding dimasak seperti nasi. Haryadi menyebutkan, di samping pertimbangan ekonomis dan kesehatan tersebut, sebenarnya cerita sesepuh desa, semua yang diajarkan para pendahulu tentu memiliki nilai, makna, dan arti.

Demikian pula dengan bubur yang diajarkan sesepuh desa tentu memiliki kandungan maksud. Bubur, ujar Haryadi, bisa bermakna bibirrrinberarti hal yang bagus, yaitu di masjid harus menjadi sumber dan pusat kebaikan dan hal yang bagus bagi masyarakat. Beber, yaitu membeberkan, menjelaskan, karena di dalam masjid Kanjeng Panembahan Bodho menerangkan ajaran Islam.

Babar, yaitu meratakan ajaran agama Islam ke seluruh lapisan masyarakat. Bubur, artinya melebur, yaitu ajaran agama Islam agar dapat melebur dengan jiwa masyarakat penganutnya. “Hal ini dapat dipahami, pada zaman dahulu makanan merupakan hal penting sebagai sarana dakwah,” tambahnya. Panembahan Bodho sendiri merupakan tokoh yang mendirikan dan membangun masjid tersebut. Dia merupakan ulama besar yang diyakini sebagai waliyulloh(kekasih Allah).

Panembahan Bodho bernama asli Raden Trenggono adalah Adipati Terung III pada awal abad ke-15 Masehi yang juga merupakan murid Sunan Kalijaga. Tetapi, karena pengikut Sunan Kalijaga, dia memilih menjadi ulama sehingga banyak yang menyebutnya Bodho atau bodoh. “Masjid ini dibangun jauh sebelum kerajaan Mataram ada sehingga Panembahan Senopati sangat menghormati beliau,” tuturnya.

Tak hanya filosofinya yang unik, tetapi ternyata personilnya pun berasal dari satu keluarga. Salah satu yang unik saat ini adalah personal yang memasaknya juga sudah turun-temurun. Masih satu garis dengan pendahulu mereka yang dulu juga menjadi juru masak bubur tersebut. Empat orang laki-laki yang kini sudah memasuki usia senja, Zurkoni, Wardani, Jamhani, dan Hasanudin, selalu setia memasak bubur sejak mereka masih anak-anak. “Mboten enten paksaan(tidak ada paksaan), semua sukarela,” kata Wardani, 60, difabel yang telah ikut memasak sejak menginjak remaja.

Disajikan dengan piring dari logam seng kuning dan putih, bubur yang diberi sayur dengan hiasan potongan tahu putih serta beberapa potongan tempe dengan pemanis irisan cabai kecil menjadi pemandangan setiap hari menjelang buka puasa, kecuali malam 21 Ramadan berganti nasi. Tidak ada keahlian khusus dari keempat laki-laki yang sudah tua tersebut. Meski tidak mengharuskan laki-laki, sebuah kebetulan, sajian bubur bersama sayurnya tersebut diolah oleh laki-laki semua.

Dalam sebuah kuali besar, mereka sukarela meramu 4,5 kg beras, memarut 7 butir kelapa, serta memotong beberapa tempe dan tahu menjadi bubur sejak pukul 14.00 WIB setiap hari.

Erfanto Linangkung
Bantul
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5977 seconds (0.1#10.140)