Kisah Abdul Choliq Hasyim, Pengasuh Ponpes Tebuireng
A
A
A
ABDUL Choliq Hasyim dipercaya masyarakat mewarisi kesufian dan kekaromahan ayahnya, Kiai Hasyim Asy'ari. Berikut kisahnya.
Abdul Choliq Hasyim, ada juga yang menulis Abdul Kholiq Hasyim atau Abdul Kholik Hasyim, adalah pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng periode 1953-1965.
Dia dilahirkan pada tahun 1916 dengan nama kecil Abdul Hafidz. Ia adalah putra keenam pasangan Kiai Hasyim Asy'ari dan Nyai Nafiqah. Kiai Hasyim Asy'ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama sekaligus pendiri Pondok Pesantren Tebuireng.
Sejak kecil, kelebihan Choliq sudah tampak. Ketika ada tamu ayahnya yang datang dengan mobil misalnya, Choliq menekan ringan body mobil tersebut dengan jarinya. Anehnya, seketika itu bagian yang dipencetnya penyok.
Selain itu, suatu ketika, sang ayah pernah menghukumnya. Choliq diikat di sebuah pohon sawo dan diberi semut merah ganas. Namun, semut-semut itu hanya lewat begitu saja dan tidak mau menggigit tubuh Choliq.
Hadratus Syaikh merasa ada kelebihan dengan anaknya yang satu ini. Hingga akhirnya, selain dididik ilmu agama seperti saudaranya yang lain, Gus Kholiq juga diajari ilmu-ilmu spiritual oleh sang ayah.
Setelah dididik langsung ayahnya, Choliq melanjutkan pendidikan ke Ponpes Sekar Putih, Nganjuk, lalu Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa Tengah, dan Pesantren Kajen, Juwono, Pati, Jawa Tengah.
Pada tahun 1936, Choliq pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Di sana pula selama empat tahun dia memperdalam ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1939, Choliq pulang ke Tanah Air. Setahun kemudian, dia menikah dengan keponakan Kiai Baidhawi bernama Siti Azzah. Pada tahun 1942, Choliq mempunyai anak laki-laki yang diberi nama Abdul Hakam.
Sejak tahun 1944 atau satu tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, berbekal ilmu kanuragan yang tinggi Choliq masuk dinas ketentaraan nasional dan menjadi anggota PETA.
Bersama kakaknya, Kiai Wahid Hasyim, dia dikenal sebagai orang yang dekat dengan Jenderal Sudirman. Kiai Choliq mengundurkan diri dari militer pada 1952 dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel.
Dia lalu memilih ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji kedua. Sepulang dari Makkah, Kiai Choliq mampir ke Jakarta menemui Kiai Wahid Hasyim yang saat itu menjadi Menteri Agama.
Di sana, Kiai Choliq membicarakan masalah kepemimpinan Tebuireng yang waktu itu dipegang oleh Kiai Baidhawi. Dalam pandangan Kiai Choliq, naiknya Kiai Baidhawi sebagai pemimpin Tebuireng telah mengubah tradisi kepemimpinan pesantren yang biasanya diteruskan oleh putra pengasuhnya, bukan oleh menantunya.
Dari Jakarta, Kiai Choliq mampir ke Desa Kwaron, Jombang. Di sana, dia tinggal di rumah adiknya yang paling bungsu, Muhammad Yusuf Hasyim.
Dari desa itu, Kiai Choliq mengirim utusan ke Tebuireng dengan Kiai Baidhawi. Mendengar rencana tersebut, Kiai Baidhawi lalu menyerahkan kepemimpinan Tebuireng kepada Kiai Choliq.
Kiai Choliq Hasyim menjadi orang kelima yang mengasuh atau memimpin Pondok Pesantren Tebuireng, setelah KH Muhammad Hasyim Asy'ari, KH Abdul Wahid Hasyim, KH Abdul Karim Hasyim, dan KH Achmad Baidhawi.
Saat memimpin Tebuireng, Kiai Choliq banyak melakukan pembenahan pada sistem pendidikan dan pengajaran kitab kuning yang ada pada tahun-tahun sebelumnyan digantikan dengan sistem klasikal. Disipilin yang cukup tinggi juga dia terapkan di Tebuireng.
Dikutip dari www.istanaagency.com, saat mengemban amanah sebagai pengasuh Tebuireng, Kiai Choliq pernah mengajak putranya, Gus Hakam yang tengah duduk di kelas 4 MI, untuk mendirikan salat berjamaah di Ndalem Kasepuhan Pesantren Tebuireng.
Namun ada yang aneh, keduanya shalat saling membelakangi: Kiai Choliq menghadap kiblat dan Gus Hakam membelakangi kiblat. Gus Hakam yakin bahwa beliau menghadap ke arah kibalt sesuai keyakinannya. Beliau bersandar pada kaidah fiqih: "Keyakinan tidak dapat digugurkan oleh keraguan."
Setelah salam, Kiai Choliq terkejut melihat putranya salat dengan membelakangi kiblat. Perdebatan terjadi di antara bapak dan anak ini. Gus Hakam tetap ngotot bahwa arah kiblat yang beliau yakini benar.
Kemudian Kiai Choliq salat dua rakaat dan memanjatkan doa. Lalu, beliau memerintahkan Gus Hakam untuk mengulangi salatnya di atas sajadah sang ayah.
Tatkala Gus Hakam tengah takbiratul ihram di atas sajadah sang ayah, beliau melihat Kakbah berada tepat di depan mata. Akhirnya, Gus Hakam mengakui bahwa arah kiblat yang didawuhkan (disampaikan) ayahnya adalah benar.
Selain itu, Kiai Choliq sangat disegani masyarakat karena memiliki ilmu kanuragan tinggi. Hampir setiap hari tamu-tamu berdatangan ke rumahnya, baik meminta doa-doa atau meminta syarat kesembuhan.
Masyarakat sangat percaya bahwa Kiai Choliq mewarisi kesufian dan kekaromahan Kiai Hasyim sehingga bisa melakukan keajaiban-keajaiban tertentu.
Konon, Kiai Choliq pernah menurunkan buah kelapa tanpa memanjatnya. Ketika dia menggerakkan tenaga dari bawah, buah kelapa sudah berjatuhan. Dia juga terkenal kebal senjata tajam.
Pada masa penjajahan, Kiai Choliq pernah ditahan oleh tentara Belanda tanpa alasan jelas. Ia dijatuhi hukuman mati. Keluarga dan santri Tebuireng pun cemas.
Detik-detik terakhir jelang eksekusi, Kiai Choliq meminta waktu kepada algojo untuk salat dua rakaat. Seusai salat, ia berdoa kepada Allah. Keajaiban pun datang. Pihak Belanda menyatakan Kiai Choliq tidak jadi dihukum mati.
Bulan Juni 1965, atau tiga bulan sebelum meletusnya pemberontakan G 30 S/PKI, Kiai Choliq menderita sakit selama beberapa hari. Keluarga dan santri Tebuireng cemas. Mereka mengharap kesembuhan sang pengasuh. Namun, akhirnya Kiai Choliq mengembuskan napas terakhir.
Jenazah Kiai Choliq dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Pesantren Tebuireng.
Sumber:
Buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan (Penulis Johan Prasetya, Penerbit Saufa, Agustus 2014), www.nu.or.id, www.istanaagency.com, dan kadal-bento.blogspot.com.
PILIHAN:
Mengenang Wahid Hasyim, Pahlawan Nasional dari Jombang
Abdul Choliq Hasyim, ada juga yang menulis Abdul Kholiq Hasyim atau Abdul Kholik Hasyim, adalah pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng periode 1953-1965.
Dia dilahirkan pada tahun 1916 dengan nama kecil Abdul Hafidz. Ia adalah putra keenam pasangan Kiai Hasyim Asy'ari dan Nyai Nafiqah. Kiai Hasyim Asy'ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama sekaligus pendiri Pondok Pesantren Tebuireng.
Sejak kecil, kelebihan Choliq sudah tampak. Ketika ada tamu ayahnya yang datang dengan mobil misalnya, Choliq menekan ringan body mobil tersebut dengan jarinya. Anehnya, seketika itu bagian yang dipencetnya penyok.
Selain itu, suatu ketika, sang ayah pernah menghukumnya. Choliq diikat di sebuah pohon sawo dan diberi semut merah ganas. Namun, semut-semut itu hanya lewat begitu saja dan tidak mau menggigit tubuh Choliq.
Hadratus Syaikh merasa ada kelebihan dengan anaknya yang satu ini. Hingga akhirnya, selain dididik ilmu agama seperti saudaranya yang lain, Gus Kholiq juga diajari ilmu-ilmu spiritual oleh sang ayah.
Setelah dididik langsung ayahnya, Choliq melanjutkan pendidikan ke Ponpes Sekar Putih, Nganjuk, lalu Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa Tengah, dan Pesantren Kajen, Juwono, Pati, Jawa Tengah.
Pada tahun 1936, Choliq pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Di sana pula selama empat tahun dia memperdalam ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1939, Choliq pulang ke Tanah Air. Setahun kemudian, dia menikah dengan keponakan Kiai Baidhawi bernama Siti Azzah. Pada tahun 1942, Choliq mempunyai anak laki-laki yang diberi nama Abdul Hakam.
Sejak tahun 1944 atau satu tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, berbekal ilmu kanuragan yang tinggi Choliq masuk dinas ketentaraan nasional dan menjadi anggota PETA.
Bersama kakaknya, Kiai Wahid Hasyim, dia dikenal sebagai orang yang dekat dengan Jenderal Sudirman. Kiai Choliq mengundurkan diri dari militer pada 1952 dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel.
Dia lalu memilih ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji kedua. Sepulang dari Makkah, Kiai Choliq mampir ke Jakarta menemui Kiai Wahid Hasyim yang saat itu menjadi Menteri Agama.
Di sana, Kiai Choliq membicarakan masalah kepemimpinan Tebuireng yang waktu itu dipegang oleh Kiai Baidhawi. Dalam pandangan Kiai Choliq, naiknya Kiai Baidhawi sebagai pemimpin Tebuireng telah mengubah tradisi kepemimpinan pesantren yang biasanya diteruskan oleh putra pengasuhnya, bukan oleh menantunya.
Dari Jakarta, Kiai Choliq mampir ke Desa Kwaron, Jombang. Di sana, dia tinggal di rumah adiknya yang paling bungsu, Muhammad Yusuf Hasyim.
Dari desa itu, Kiai Choliq mengirim utusan ke Tebuireng dengan Kiai Baidhawi. Mendengar rencana tersebut, Kiai Baidhawi lalu menyerahkan kepemimpinan Tebuireng kepada Kiai Choliq.
Kiai Choliq Hasyim menjadi orang kelima yang mengasuh atau memimpin Pondok Pesantren Tebuireng, setelah KH Muhammad Hasyim Asy'ari, KH Abdul Wahid Hasyim, KH Abdul Karim Hasyim, dan KH Achmad Baidhawi.
Saat memimpin Tebuireng, Kiai Choliq banyak melakukan pembenahan pada sistem pendidikan dan pengajaran kitab kuning yang ada pada tahun-tahun sebelumnyan digantikan dengan sistem klasikal. Disipilin yang cukup tinggi juga dia terapkan di Tebuireng.
Dikutip dari www.istanaagency.com, saat mengemban amanah sebagai pengasuh Tebuireng, Kiai Choliq pernah mengajak putranya, Gus Hakam yang tengah duduk di kelas 4 MI, untuk mendirikan salat berjamaah di Ndalem Kasepuhan Pesantren Tebuireng.
Namun ada yang aneh, keduanya shalat saling membelakangi: Kiai Choliq menghadap kiblat dan Gus Hakam membelakangi kiblat. Gus Hakam yakin bahwa beliau menghadap ke arah kibalt sesuai keyakinannya. Beliau bersandar pada kaidah fiqih: "Keyakinan tidak dapat digugurkan oleh keraguan."
Setelah salam, Kiai Choliq terkejut melihat putranya salat dengan membelakangi kiblat. Perdebatan terjadi di antara bapak dan anak ini. Gus Hakam tetap ngotot bahwa arah kiblat yang beliau yakini benar.
Kemudian Kiai Choliq salat dua rakaat dan memanjatkan doa. Lalu, beliau memerintahkan Gus Hakam untuk mengulangi salatnya di atas sajadah sang ayah.
Tatkala Gus Hakam tengah takbiratul ihram di atas sajadah sang ayah, beliau melihat Kakbah berada tepat di depan mata. Akhirnya, Gus Hakam mengakui bahwa arah kiblat yang didawuhkan (disampaikan) ayahnya adalah benar.
Selain itu, Kiai Choliq sangat disegani masyarakat karena memiliki ilmu kanuragan tinggi. Hampir setiap hari tamu-tamu berdatangan ke rumahnya, baik meminta doa-doa atau meminta syarat kesembuhan.
Masyarakat sangat percaya bahwa Kiai Choliq mewarisi kesufian dan kekaromahan Kiai Hasyim sehingga bisa melakukan keajaiban-keajaiban tertentu.
Konon, Kiai Choliq pernah menurunkan buah kelapa tanpa memanjatnya. Ketika dia menggerakkan tenaga dari bawah, buah kelapa sudah berjatuhan. Dia juga terkenal kebal senjata tajam.
Pada masa penjajahan, Kiai Choliq pernah ditahan oleh tentara Belanda tanpa alasan jelas. Ia dijatuhi hukuman mati. Keluarga dan santri Tebuireng pun cemas.
Detik-detik terakhir jelang eksekusi, Kiai Choliq meminta waktu kepada algojo untuk salat dua rakaat. Seusai salat, ia berdoa kepada Allah. Keajaiban pun datang. Pihak Belanda menyatakan Kiai Choliq tidak jadi dihukum mati.
Bulan Juni 1965, atau tiga bulan sebelum meletusnya pemberontakan G 30 S/PKI, Kiai Choliq menderita sakit selama beberapa hari. Keluarga dan santri Tebuireng cemas. Mereka mengharap kesembuhan sang pengasuh. Namun, akhirnya Kiai Choliq mengembuskan napas terakhir.
Jenazah Kiai Choliq dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Pesantren Tebuireng.
Sumber:
Buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan (Penulis Johan Prasetya, Penerbit Saufa, Agustus 2014), www.nu.or.id, www.istanaagency.com, dan kadal-bento.blogspot.com.
PILIHAN:
Mengenang Wahid Hasyim, Pahlawan Nasional dari Jombang
(zik)