Rumah Adat Panjalin, Saksi Bisu Penyebaran Islam di Majalengka

Sabtu, 13 Juni 2015 - 05:00 WIB
Rumah Adat Panjalin, Saksi Bisu Penyebaran Islam di Majalengka
Rumah Adat Panjalin, Saksi Bisu Penyebaran Islam di Majalengka
A A A
RUMAH Adat Panjalin di Majalengka, Jawa Barat, disebut-sebut sebagai saksi bisu penyebaran Islam di daerah tersebut. Bagaimana ceritanya?

Cirebon, hingga saat ini masih menjadi ikon ketika membahas penyebaran agama Islam di Tanah Air. Keberadaan istana dan masjid dengan gaya arsitektur kuno, merupakan salah satu alasan mengapa Kota Udang itu begitu lekat dengan proses penyebaran Islam di Indonesia.

Keterangan dari sejumlah literatur yang bercerita tentang dakwah yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati, semakin memperkuat image tentang itu. Dalam sejumlah keterangan disebutkan bahwa peran Sunan Gunung Jati dalam penyebaran Islam di Jawa Barat sangat besar.

Namun, puluhan kilometer dari letak pusat kejayaan Cirebon masa lalu, tepatnya di Majalengka, juga terdapat bangunan yang diduga menjadi tempat penyebaran agama Islam. Bangunan kuno itu bernama Rumah Adat Panjalin.

Rumah Adat Panjalin adalah bangunan yang diyakini sebagai peninggalan masa lalu yang hingga kini masih bisa dilihat. Rumah kuno itu terletak di RT 1/5 Blok Rabu, Desa Panjalin, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Dikutip dari infomajalengka.wordpress.com, nama 'panjalin' diambil dari kata penjalin yang berarti 'Hutan Rotan'. Konon, ketika pembangunan rumah adat ini hanya menggunakan sebuah batang pohon raksasa tanpa memotong pohon tersebut, dan akar dari pohon ini terletak di bawah Rumah Adat Panjalin.

Sebagai rumah zaman dahulu, secara fisik rumah tersebut tentunya memiliki perbedaan yang cukup mencolok dengan bangunan-bangunan rumah yang ada di sekitarnya. Rumah yang memiliki luas sekira 9x9 meter itu hanya terbuat dari kayu-kayu berukuran besar dan bambu.

Sepintas, rumah yang berdiri di lahan seluas 172 meter persegi itu hampir mirip dengan gudang padi orangtua zaman dahulu.

Secara fisik, rumah tersebut masuk dalam kategori rumah panggung. Terdapat sebanyak 16 tiang kayu yang berfungsi untuk menyangga rumah.

Untuk memasuki rumah itu, tamu terlebih dahulu harus menaiki tangga yang terdapat di mulut pintu. Ada empat anak tangga yang harus dinaiki untuk bisa masuk.

Begitu memasuki bagian dalam rumah, akan terlihat dua ruangan yang memiliki luas hampir sama. Dua ruangan itu masing-masing ruang depan atau ruang utama dan ruang dalam. Khusus untuk ruang dalam, berfungsi sebagai ruang keluarga atau aktivitas pemilik rumah itu.

Kedua ruangan itu dipisahkan dengan penyekat yang terbuat dari papan kayu. Langit-langit ruangan rumah itu dilengkapi dengan karya seni yang cukup indah, yakni karya seni geometris.

Sama halnya dengan penyekat, untuk lantai pun terbuat dari bambu. Satu-satunya bagian yang sama persis dengan rumah sekarang, terletak pada bagian atap, yakni terbuat dari genting.

Selain dari segi bangunan, keunikan dari Rumah Adat Panjalin tersebut juga terlihat dari beberapa aksesori yang menempel di dinding rumah yang terbuat dari kayu dan bambu.

Seperti yang terlihat di bagian luar, persis di sebelah kiri pintu. Di sana terdapat sebuah kalimat dengan menggunakan ejaan kuno yang berbunyi 'Mutus Karuhun, Pegat Katurunan'.

Kalimat tersebut dibentuk sedemikian rupa, hingga membentuk sebuah lingkaran. Di bagian tengah lingkaran, tertulis kata 'Munafek' dengan menggunakan ejaan latin.

Juru pelihara Rumah Adat Panjalin, Iang Saeful Iksan menceritakan, berdasarkan keterangan juru pelihara sebelumnya, rumah adat itu sudah berdiri sejak sekira 300 tahun silam. Rumah tersebut dibangun oleh keturunan dari Kerajaan Talaga untuk berdakwah, menyebarkan agama Islam.

"Konon dibangun sekira 300 tahun yang lalu atau abad ke-17 oleh Eyang Sanata atau Raden Saneh. Beliau tinggal di sini bersama istrinya, yakni Nyi Serumi," kata Iang.

Rumah Adat Panjalin, Saksi Bisu Penyebaran Islam di Majalengka


Eyang Sanata menempati rumah itu hingga akhir hayatnya. Sepeninggal Eyang Sanata, kepemilikan rumah tersebut dilanjutkan oleh anak-cucunya sebagai ahli waris, secara turun-temurun.

"Nah, untuk kalimat 'Mutus Karuhun, Pegat Katurunan' itu dibuat oleh keturunan Eyang Sanata ke-10, yakni Bapak Jumhari," jelasnya.

Kalimat yang tertulis di dekat pintu masuk itu, memiliki pesan yang cukup mendalam. Melalui kalimat tersebut, Jumhari mengingatkan kepada penerusnya untuk tetap menjaga segala peninggalan dari leluhurnya.

"Itu memiliki arti 'Orang yang menghilangkan peninggalan orangtua dulu, sama dengan orang yang memutuskan kekeluargaan'. Itu sama dengan perbuatan munafik."

Keberadaan Rumah Adat Panjalin, dengan segala keunikan dan sejarahnya, mampu mencuri perhatian para akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Dari beberapa catatan yang ada, selain instansi, terdapat sejumlah perguruan tinggi seperti Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan, dan universitas lainnya tercatat dalam daftar pengunjung ke bangunan kuno itu.

Mereka yang datang ke sana, sebagian di antaranya rombongan besar. Dalam satu tahun, tercatat bisa mencapai enam sampai delapan kali kunjungan dari para akademisi itu.

"Entah itu datang secara perorangan maupun dalam rombongan. Mereka yang datang ke sini itu ada yang untuk tugas akhir dan ada juga untuk penelitian lainnya," pungkas Iang.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4140 seconds (0.1#10.140)