Honor Pejabat Kabupaten Bantul Naik 20 Kali Lipat
A
A
A
BANTUL - Honorarium sejumlah pejabat di Kabupaten Bantul yang menjadi anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) di Kabupaten ini ternyata gila-gilaan.
Bahkan, dari laporan hasil penelitian (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2014, honor mereka bisa naik hingga 20 kali lipat dibanding dengan ketentuan Standar Harga Barang dan Jasa (SHBJ).
Dalam LHP tersebut disebutkan, forum yang terdiri 19 orang masing-masing mulai Bupati, Wakil Bupati, Ketua DPRD, Sekretaris Daerah (Sekda), Kepala Polres (Polres), Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari), Kepala Pengadilan Negeri, Komandan Kodim hingga beberapa pejabat pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) membebani anggaran Rp247 juta.
Sekretaris Masyarakat Transparansi Bantul (MTB) Rino Caroko menyesalkan besaran anggaran yang diberikan oleh Pemkab Bantul untuk anggota Forkompinda. Untuk bupati saja ada kenaikan setidaknya 20 kali dibanding SHBJ yang telah dia tetapkan untuk anak buahnya. Hal tersebut menunjukkan Bupati tidak konsekuen dengan apa yang dia putuskan.
“Bupati honornya bisa naik 20 kali lipat dari Rp200 ribu menjadi Rp4 juta. Seharusnya kalau untuk anak buahnya besarannya seperti tertera dalam Peraturan Bupati (Perbup) yang beliau buat, maka beliau juga harus menggunakan dasar tersebut untuk pemberian honor kepada dirinya (bupati) ataupun pejabat lain," katanya, Senin (8/6/2015).
Dia meminta adanya revisi pemberian honor kepada para pemimpin di Bantul yang melebihi ketentuan tersebut. Sebab, anggaran tersebut bisa dialokasikan ke pos yang lain, seperti untuk program pengurangan keluarga miskin atau juga bisa digunakan untuk relokasi warga yang berada di daerah rawan bencana tanah longsor.
Terpisah, Sekretaris Daerah (Sekda) Bantul Riyantono menandaskan jika pemberian honor di atas SHBJ tersebut sah-sah saja. Bahkan, dalam Undang-undang nomor 73/2013 membolehkan hal tersebut asalkan sesuai dengan kemampuan daerah.
Menurutnya, jika hal tersebut menjadi sorotan BPK, hal tersebut bukan sebuah persoalan serius karena bukan subtansi. “Kalau substansial, maka kami tidak mungkin mendapatkan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP),” terangnya.
Pemberian honor di atas ketentuan tersebut diperbolehkan asalkan ada izin dari Bupati dan sesuai dengan kemampuan anggaran. Dan menurutnya, itu wajar mengingat pentingnya Forkompinda untuk membahas dan mengantisipasi hal-hal yang penting seperti tambak udang, jelang lebaran, terorisme dan lain-lain.
Karena melalui Forkompinda tersebut, permasalahan penting bisa terselesaikan dengan segera. Diberitakan sebelumnya, Penanggungjawab Pemeriksaan BPK DIY Nur Miftahul Lail menyatakan, honor Forkompinda itu membebani keuangan daerah karena terdapat kelebihan pembayaran di atas SHBJ sebesar Rp247 juta lebih.
Dalam dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK terungkap, honorarium dianggarkan melebihi SHBJ. Honor bupati selaku ketua pembina misalnya, sesuai SHBJ maksimal hanya Rp200.000 per bulan dinaikan menjadi Rp4 juta alias naik 20 kali lipat.
Demikian pula honor anggota pembina yang terdiri dari wakil bupati, Komandan Kodim, Kapolres, Kajari, Ketua Pengadilan dan Ketua DPRD dibayar Rp3.500.000 per bulan dari seharusnya hanya Rp200.000.
Bahkan, dari laporan hasil penelitian (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2014, honor mereka bisa naik hingga 20 kali lipat dibanding dengan ketentuan Standar Harga Barang dan Jasa (SHBJ).
Dalam LHP tersebut disebutkan, forum yang terdiri 19 orang masing-masing mulai Bupati, Wakil Bupati, Ketua DPRD, Sekretaris Daerah (Sekda), Kepala Polres (Polres), Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari), Kepala Pengadilan Negeri, Komandan Kodim hingga beberapa pejabat pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) membebani anggaran Rp247 juta.
Sekretaris Masyarakat Transparansi Bantul (MTB) Rino Caroko menyesalkan besaran anggaran yang diberikan oleh Pemkab Bantul untuk anggota Forkompinda. Untuk bupati saja ada kenaikan setidaknya 20 kali dibanding SHBJ yang telah dia tetapkan untuk anak buahnya. Hal tersebut menunjukkan Bupati tidak konsekuen dengan apa yang dia putuskan.
“Bupati honornya bisa naik 20 kali lipat dari Rp200 ribu menjadi Rp4 juta. Seharusnya kalau untuk anak buahnya besarannya seperti tertera dalam Peraturan Bupati (Perbup) yang beliau buat, maka beliau juga harus menggunakan dasar tersebut untuk pemberian honor kepada dirinya (bupati) ataupun pejabat lain," katanya, Senin (8/6/2015).
Dia meminta adanya revisi pemberian honor kepada para pemimpin di Bantul yang melebihi ketentuan tersebut. Sebab, anggaran tersebut bisa dialokasikan ke pos yang lain, seperti untuk program pengurangan keluarga miskin atau juga bisa digunakan untuk relokasi warga yang berada di daerah rawan bencana tanah longsor.
Terpisah, Sekretaris Daerah (Sekda) Bantul Riyantono menandaskan jika pemberian honor di atas SHBJ tersebut sah-sah saja. Bahkan, dalam Undang-undang nomor 73/2013 membolehkan hal tersebut asalkan sesuai dengan kemampuan daerah.
Menurutnya, jika hal tersebut menjadi sorotan BPK, hal tersebut bukan sebuah persoalan serius karena bukan subtansi. “Kalau substansial, maka kami tidak mungkin mendapatkan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP),” terangnya.
Pemberian honor di atas ketentuan tersebut diperbolehkan asalkan ada izin dari Bupati dan sesuai dengan kemampuan anggaran. Dan menurutnya, itu wajar mengingat pentingnya Forkompinda untuk membahas dan mengantisipasi hal-hal yang penting seperti tambak udang, jelang lebaran, terorisme dan lain-lain.
Karena melalui Forkompinda tersebut, permasalahan penting bisa terselesaikan dengan segera. Diberitakan sebelumnya, Penanggungjawab Pemeriksaan BPK DIY Nur Miftahul Lail menyatakan, honor Forkompinda itu membebani keuangan daerah karena terdapat kelebihan pembayaran di atas SHBJ sebesar Rp247 juta lebih.
Dalam dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK terungkap, honorarium dianggarkan melebihi SHBJ. Honor bupati selaku ketua pembina misalnya, sesuai SHBJ maksimal hanya Rp200.000 per bulan dinaikan menjadi Rp4 juta alias naik 20 kali lipat.
Demikian pula honor anggota pembina yang terdiri dari wakil bupati, Komandan Kodim, Kapolres, Kajari, Ketua Pengadilan dan Ketua DPRD dibayar Rp3.500.000 per bulan dari seharusnya hanya Rp200.000.
(san)