Pengelolaan SG-PAG Jadi Bom Waktu
A
A
A
GUNUNGKIDUL - Konflik antara masyarakat pengelola Pantai Watukodok dengan investor asal Jakarta adalah bukti bahwa pengelolaan Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG) bisa menjadi bom waktu ke depannya.
Hal ini disampaikan Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito saat dimintai analisisnya terkait konflik pengelolaan Watukodok di Gunungkidul. Arie menegaskan sebenarnya yang harus dipahami dari kejadian ini adalah bentuk perjuangan masyarakat untuk mengembalikan tanah untuk rakyat.
Saat ini di Yogyakarta terjadi ancaman tata ruang dalam kaitannya terhadap kepemilikan sumber daya agraria. “Kalau ini dibiarkan ini bisa menjadi bom waktu,” ucapnya mengingatkan kemarin. Menurutnya, ukuran Keistimewaan DIY bukan dari investor yang melakukan mengalih fungsi lahan. Akan tetapi ukuran Keistimewaan DIY adalah makin sejahteranya rakyat.
“Alat alat produksi yang bisa dimanfaatkan dan pelayan publik yang bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka, bukan malah memobilisasi investor,” pungkasnya. Sampai kemarin konflik Pantai Watukodok yang berada di Desa Kemadang, Tanjungsari belum juga bisa ditangani secara tuntas oleh Pemkab Gunungkidul.
Munculnya investor asal Jakarta dengan membawa surat sakti berupa kekancingan dari Panitikismo Keraton Yogyakarta membuat puluhan warga yang sudah lama mendiami lokasi pariwisata bergerak melawan. Semua menolak kedatangan investor yang merongrong sendi ekonominya. “Kami hanya menuntut hak kami yang sudah lama mengolah dan mengembangkan sehingga Watukodok dikenal,” kata Ngadimin salah satu warga di Watukodok kemarin.
Dia menjelaskan warga berharap baik investor maupun Pemkab bisa memanusiakan warga sekitar Watukodok. Bukannya justru meminta masyarakat mengosongkan lahan yang maudibangun resort mewaholeh sang pemodal, Enny Supiani. Tidak hanya itu, sikap pemkab yang justru cenderung memihak investor semakin memperumit konflik di tengah booming pariwisata.
“Kami butuh untuk dilindungi dan tetap bisa berusaha untuk kehidupan sehari hari, bukannya penggusuran,” sesal Ngadimin. Dia berharap pihak Keraton juga memiliki sikap yang bijaksana dan tidak asal memberikan kekancingan bagi pemodal yang ujung-ujungnya menggusur warga kecil. Dari informasi yang berhasil diperoleh KORAN SINDO YOGYA, selain Watukodok, ada beberapa pesisir pantai yang kini sudah dikuasai investor.
Beberapa di antaranya adalah di Watulawang, dan sejumlah areal yang rawan menimbulkan konflik. Kendati demikian, Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemkab GunungkidulTommy Harahap menjamin konflik Watukodok tidak akan meluas. Saat ini pihaknya terus memediasi dan berusaha menempatkan warga Watu kodok terlibat dalam pengembangan pantai bersama investor.
”Kami masih terus memediasi dan semua pihak kami harap bisa saling menghormati,” tukasnya. Konflik agraria yang melibatkanasetKeratontidakhanyaterjadi di Gunungkidul. Permasalahan konflik lahan milik Kadipaten Pakualaman atau Pakualam Ground (PAG) dengan warga di Kabupaten Kulonprogo sudah terjadi sejak lama.
Sekitar sepuluh tahun lalu konflik lahan sudah muncul seiring rencana penambangan pasir besi. Belakangan konflik lahan PAG semakin kencang sehubungan rencana pembangunan bandara. Sedangkan keberadaan tanah Sultan Ground (SG) lebih banyak berada di kawasan tengah dan utara. Lahan Pakualam Ground selama ini banyak terdapat di kawasan selatan Kulonprogo, khususnya di kawasan pantai.
Setidaknya bentang panjang lahan Pakualam Ground mencapai sekitar 15 kilometer dari Trisik, Banaran, Galur sampai wilayah Pasir Mendhit, Jangkaran, Temon. Antara Banaran sampai Karangwuni akan menjadi lokasi penambangan pasir besi. Bahkan PT Jogja Magasa Iron telah mendirikan dua pilot project di Trisik dan Karangwuni. Sejak ada wacana penambangan banyak warga yang menolak.
Bahkan warga kerap menggelar aksi penolakkan tambang. Warga yang merupakan petani penggarap lahan PAG merasa sudah menggarap lahan turun temurun selama puluhan tahun. Bahkan belakangan mereka sudah tidak mengakui keberadaan tanah PAG, karena tidak pernah ada bukti yang jelas.
“Itu tanah ngoro-oro dan dikelola warga untuk pertanian,” cetus Ketua Kisik Pranaji, Desa Pleret Sukarman kemarin. Tanah ngoro-oro ini merupakan tanah negara yang bisa dimiliki oleh rakyat. Namun tanah ini belakangan diklaim oleh Puro Pakulaman sebagai tanah PA. Hanya warga tidak mempercayai dan menolak rencana pendataan untuk mendapatkan magersari (kekancingan).
Sekitar lima tahun lalu warga sempat disosialisasi akan magersari. Tapi sosialisasai akhirnya batal karena ditolak warga. “Kami tidak mau ada magersari karena kalau mau justru memperkuat klaim mereka (Pakualaman),” tegasnya melawan. Meski begitu warga mengaku khawatir dengan adanya investasi.
Sebab lahan yang dikembangkan menjadi kawasan pertanian ini akan berubah fungsi dan kepemilikan. Bahkan konflik pasir besi juga telah menyebabkan satu warga setempat, Tukidjo dipenjara. “Kami tetap solid dan akan menolak investor,” tandasnya. Sementara itu, Ketua Wahana Tri Tunggal (WTT) Martono mengutarakan warga memang mengakui keberadaan tanah Pakualaman Ground.
Hanya sampai saat ini mereka tidak pernah memiliki surat kekancingan atau magersari . Lima tahun lalu, warga mengurus proses itu dengan membayar sejumlah uang. Sayangnya sampai kemarin magersari itu belum juga turun. “Saya lupa berapa dulu harganya,” jelas Martono. Kepala Desa Glagah Agus Parmono mengamini sosialisasi magersari memang pernah dilakukan.
Tapi dihentikan dan tidak sampai proses pemberian kekancingan karena lahan akan menjadi lokasi bandara. “Jadi di desa itu ada data siapa saja petani penggarap lahan PAG ada,” tambahnya. Diakuinya, lahan PAG ini banyak dipakai warga untuk usaha. Mulai pertanian, tambak udang hingga hotel dan penginapan.
Mereka siap melepas haknya jika bandara dibangun. Kompensasi yang akan diberikan disesuaikan dengan bangunan dan hak-hak penggarap. “Di Glagah ada sekitar 130 hektare lahan yang PAG,” tandasnya. Terpisah Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo mengatakan keberadaan Perda Keistimewaan DIY menjadi dasar untuk melakukan penataan atas tanah SG maupun PAG.
Danais itu juga digelontorkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengurusi lahan-lahan tersebut. “Sebenarnya batas-batas tanah itu sudah ada dan patoknya juga terpasang,” sebut Hasto. Menurut Hasto, kebanyakan lahan PAG yang dimanfaatkan warga untuk usaha. Sedangkan lahan SG kebanyakan di kota dan masih belum dimanfaatkan. Warga yang memegang kekancingan atau magersari juga jumlahnya tidak banyak. “Kami akan dorong agar ada penataan terhadap aset SG dan PAG itu,” tutur Hasto.
SG Dikelola Pemkab Bantul
Konflik tanah Sultan Ground di objek wisata Kabupaten Bantul kemungkinan terjadi sangat tipis. Meski semua objek wisata pantai sepanjang 13 kilometer (km) lebih yang ada di Bantul terdiri dari Sultan Ground, namun pengelolaannya berada di tangan pemerintah. Dan semua pengelolaan tersebut sudah diamini oleh pihak pemilik lahan yaitu Keraton Ngayogyakarto.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bantul, Bambang Legowo mengatakan di wilayahnya untuk semua objek wisata pantai, lahannya merupakan milik Keraton. Sementara objek wisata lain seperti Gua Selarong ataupun Gua Cerme lahannya milik Pemkab Bantul. Dan pengelolaanya semua dikuasai oleh Pemkab Bantul meskipun melibatkan masyarakat Banyak.
“Kalau pun ada objek wisata yang sebagian milik tanah pribadi, Pemkab hanya mengelola yang milik Pemkab saja,” paparnya kemarin. Bila ada investor yang ingin mengelola kawasan obyek wisata, lanjut dia, maka harus melalui Pemkab Bantul. Hal tersebut diperlukan agar semuanya bisa terkontrol dan konflik kepentingan dengan masyarakat bisa diminimalisir.
“Masyarakat tetap harus dilibatkan dalam pengelolaan objek wisata tersebut,” tandasnya. Saat ini, lanjut Bambang, meski dikelola oleh Pemkab Bantul tapi masyarakat juga sudah mendirikan kelompok-kelompok sadar wisata atau Pokdarwis. Pokdarwis tersebut mengelola masing-masing obyek wisata untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
suharjono/ kuntadi/ erfanto linangkung
Hal ini disampaikan Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito saat dimintai analisisnya terkait konflik pengelolaan Watukodok di Gunungkidul. Arie menegaskan sebenarnya yang harus dipahami dari kejadian ini adalah bentuk perjuangan masyarakat untuk mengembalikan tanah untuk rakyat.
Saat ini di Yogyakarta terjadi ancaman tata ruang dalam kaitannya terhadap kepemilikan sumber daya agraria. “Kalau ini dibiarkan ini bisa menjadi bom waktu,” ucapnya mengingatkan kemarin. Menurutnya, ukuran Keistimewaan DIY bukan dari investor yang melakukan mengalih fungsi lahan. Akan tetapi ukuran Keistimewaan DIY adalah makin sejahteranya rakyat.
“Alat alat produksi yang bisa dimanfaatkan dan pelayan publik yang bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka, bukan malah memobilisasi investor,” pungkasnya. Sampai kemarin konflik Pantai Watukodok yang berada di Desa Kemadang, Tanjungsari belum juga bisa ditangani secara tuntas oleh Pemkab Gunungkidul.
Munculnya investor asal Jakarta dengan membawa surat sakti berupa kekancingan dari Panitikismo Keraton Yogyakarta membuat puluhan warga yang sudah lama mendiami lokasi pariwisata bergerak melawan. Semua menolak kedatangan investor yang merongrong sendi ekonominya. “Kami hanya menuntut hak kami yang sudah lama mengolah dan mengembangkan sehingga Watukodok dikenal,” kata Ngadimin salah satu warga di Watukodok kemarin.
Dia menjelaskan warga berharap baik investor maupun Pemkab bisa memanusiakan warga sekitar Watukodok. Bukannya justru meminta masyarakat mengosongkan lahan yang maudibangun resort mewaholeh sang pemodal, Enny Supiani. Tidak hanya itu, sikap pemkab yang justru cenderung memihak investor semakin memperumit konflik di tengah booming pariwisata.
“Kami butuh untuk dilindungi dan tetap bisa berusaha untuk kehidupan sehari hari, bukannya penggusuran,” sesal Ngadimin. Dia berharap pihak Keraton juga memiliki sikap yang bijaksana dan tidak asal memberikan kekancingan bagi pemodal yang ujung-ujungnya menggusur warga kecil. Dari informasi yang berhasil diperoleh KORAN SINDO YOGYA, selain Watukodok, ada beberapa pesisir pantai yang kini sudah dikuasai investor.
Beberapa di antaranya adalah di Watulawang, dan sejumlah areal yang rawan menimbulkan konflik. Kendati demikian, Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemkab GunungkidulTommy Harahap menjamin konflik Watukodok tidak akan meluas. Saat ini pihaknya terus memediasi dan berusaha menempatkan warga Watu kodok terlibat dalam pengembangan pantai bersama investor.
”Kami masih terus memediasi dan semua pihak kami harap bisa saling menghormati,” tukasnya. Konflik agraria yang melibatkanasetKeratontidakhanyaterjadi di Gunungkidul. Permasalahan konflik lahan milik Kadipaten Pakualaman atau Pakualam Ground (PAG) dengan warga di Kabupaten Kulonprogo sudah terjadi sejak lama.
Sekitar sepuluh tahun lalu konflik lahan sudah muncul seiring rencana penambangan pasir besi. Belakangan konflik lahan PAG semakin kencang sehubungan rencana pembangunan bandara. Sedangkan keberadaan tanah Sultan Ground (SG) lebih banyak berada di kawasan tengah dan utara. Lahan Pakualam Ground selama ini banyak terdapat di kawasan selatan Kulonprogo, khususnya di kawasan pantai.
Setidaknya bentang panjang lahan Pakualam Ground mencapai sekitar 15 kilometer dari Trisik, Banaran, Galur sampai wilayah Pasir Mendhit, Jangkaran, Temon. Antara Banaran sampai Karangwuni akan menjadi lokasi penambangan pasir besi. Bahkan PT Jogja Magasa Iron telah mendirikan dua pilot project di Trisik dan Karangwuni. Sejak ada wacana penambangan banyak warga yang menolak.
Bahkan warga kerap menggelar aksi penolakkan tambang. Warga yang merupakan petani penggarap lahan PAG merasa sudah menggarap lahan turun temurun selama puluhan tahun. Bahkan belakangan mereka sudah tidak mengakui keberadaan tanah PAG, karena tidak pernah ada bukti yang jelas.
“Itu tanah ngoro-oro dan dikelola warga untuk pertanian,” cetus Ketua Kisik Pranaji, Desa Pleret Sukarman kemarin. Tanah ngoro-oro ini merupakan tanah negara yang bisa dimiliki oleh rakyat. Namun tanah ini belakangan diklaim oleh Puro Pakulaman sebagai tanah PA. Hanya warga tidak mempercayai dan menolak rencana pendataan untuk mendapatkan magersari (kekancingan).
Sekitar lima tahun lalu warga sempat disosialisasi akan magersari. Tapi sosialisasai akhirnya batal karena ditolak warga. “Kami tidak mau ada magersari karena kalau mau justru memperkuat klaim mereka (Pakualaman),” tegasnya melawan. Meski begitu warga mengaku khawatir dengan adanya investasi.
Sebab lahan yang dikembangkan menjadi kawasan pertanian ini akan berubah fungsi dan kepemilikan. Bahkan konflik pasir besi juga telah menyebabkan satu warga setempat, Tukidjo dipenjara. “Kami tetap solid dan akan menolak investor,” tandasnya. Sementara itu, Ketua Wahana Tri Tunggal (WTT) Martono mengutarakan warga memang mengakui keberadaan tanah Pakualaman Ground.
Hanya sampai saat ini mereka tidak pernah memiliki surat kekancingan atau magersari . Lima tahun lalu, warga mengurus proses itu dengan membayar sejumlah uang. Sayangnya sampai kemarin magersari itu belum juga turun. “Saya lupa berapa dulu harganya,” jelas Martono. Kepala Desa Glagah Agus Parmono mengamini sosialisasi magersari memang pernah dilakukan.
Tapi dihentikan dan tidak sampai proses pemberian kekancingan karena lahan akan menjadi lokasi bandara. “Jadi di desa itu ada data siapa saja petani penggarap lahan PAG ada,” tambahnya. Diakuinya, lahan PAG ini banyak dipakai warga untuk usaha. Mulai pertanian, tambak udang hingga hotel dan penginapan.
Mereka siap melepas haknya jika bandara dibangun. Kompensasi yang akan diberikan disesuaikan dengan bangunan dan hak-hak penggarap. “Di Glagah ada sekitar 130 hektare lahan yang PAG,” tandasnya. Terpisah Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo mengatakan keberadaan Perda Keistimewaan DIY menjadi dasar untuk melakukan penataan atas tanah SG maupun PAG.
Danais itu juga digelontorkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengurusi lahan-lahan tersebut. “Sebenarnya batas-batas tanah itu sudah ada dan patoknya juga terpasang,” sebut Hasto. Menurut Hasto, kebanyakan lahan PAG yang dimanfaatkan warga untuk usaha. Sedangkan lahan SG kebanyakan di kota dan masih belum dimanfaatkan. Warga yang memegang kekancingan atau magersari juga jumlahnya tidak banyak. “Kami akan dorong agar ada penataan terhadap aset SG dan PAG itu,” tutur Hasto.
SG Dikelola Pemkab Bantul
Konflik tanah Sultan Ground di objek wisata Kabupaten Bantul kemungkinan terjadi sangat tipis. Meski semua objek wisata pantai sepanjang 13 kilometer (km) lebih yang ada di Bantul terdiri dari Sultan Ground, namun pengelolaannya berada di tangan pemerintah. Dan semua pengelolaan tersebut sudah diamini oleh pihak pemilik lahan yaitu Keraton Ngayogyakarto.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bantul, Bambang Legowo mengatakan di wilayahnya untuk semua objek wisata pantai, lahannya merupakan milik Keraton. Sementara objek wisata lain seperti Gua Selarong ataupun Gua Cerme lahannya milik Pemkab Bantul. Dan pengelolaanya semua dikuasai oleh Pemkab Bantul meskipun melibatkan masyarakat Banyak.
“Kalau pun ada objek wisata yang sebagian milik tanah pribadi, Pemkab hanya mengelola yang milik Pemkab saja,” paparnya kemarin. Bila ada investor yang ingin mengelola kawasan obyek wisata, lanjut dia, maka harus melalui Pemkab Bantul. Hal tersebut diperlukan agar semuanya bisa terkontrol dan konflik kepentingan dengan masyarakat bisa diminimalisir.
“Masyarakat tetap harus dilibatkan dalam pengelolaan objek wisata tersebut,” tandasnya. Saat ini, lanjut Bambang, meski dikelola oleh Pemkab Bantul tapi masyarakat juga sudah mendirikan kelompok-kelompok sadar wisata atau Pokdarwis. Pokdarwis tersebut mengelola masing-masing obyek wisata untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
suharjono/ kuntadi/ erfanto linangkung
(bbg)