Olah Kulit Kacang Serap Limbah Logam
A
A
A
Persoalan air bersih hingga saat ini masih menjadi masalah dunia. Tercatat tiap delapan detik ada satu anak di dunia yang meninggal akibat air tercemar.
Berangkat dari persoalan itulah, dua siswa SMA Kesatuan Bangsa Yogyakarta meneliti limbah kulit kacang tanah sebagai adsorbenpotensi logam tembaga. Mereka adalah Najwan Husein Assegaf dan Gultekin Uludug, siswa kelas XI IPA. Bahkan, proyek penelitian yang mereka buat meraih medali perak untuk kategori lingkungan dalam ajang Golden Climate International Environmental Project Olympiade (GCIEPO) 2015 di Mombasa, Kenya, Afrika, pada awal Mei 2015.
“Kita tahu bersama, pencemaran air terbesar dikarenakan limbah logam berat, utamanya di negara- negara industri. Di sisi lain, dari hasil pengamatan kami, orang Indonesia suka makan kacang tapi kulitnya selama ini kurang dimanfaatkan. Karena itu, dalam penelitian ini kami juga mengusung slogan habis makan kacang, manfaatkan kulitnya,” ujar Najwan. Menurut Najwan, memang telah banyak metode pemurnian air konvensional. Sayangnya, biaya yang dikeluarkan cukup mahal.
Dengan limbah kulit kacang tanah itulah mereka mengusulkan sebagai bahan adsorben yang sederhana, murah, efektif, dan berkelanjutan. “Dalam penelitian kami ini bahkan telah terbukti kulit kacang tanah mampu menyerap hingga 85% logam berat yang mencemari air. Mendapatkan kulit kacang pun tidak susah karena Indonesia sendiri menjadi negara urutan keenam dunia produsen kacang tanah yakni 1,2 juta metrik ton per tahun,” ungkap siswa kelahiran Pekalongan, 14 Februari 1998 ini.
Untuk menjadi adsorben potensi, kulit kacang tanah menjalani proses yang mudah saja. Awalnya kulit kacang tanah dikeringkan, kemudian dibuat menjadi bubuk dengan cara menggiling dan mengayaknya. Bubuk kulit kacang itulah yang kemudian dicampurkan dengan air tercemar tembaga. Setelah didiamkan beberapa saat, air kemudian bisa disaring untuk membuang ampas bubuk kulit kacang.
“Dalam penelitian yang kami lakukan, kami menganalisis air hasil saringan dengan Flammable Atom Analyzer Spectrophometer. Percobaan kami lakukan dengan beberapa takaran kulit kacang, pH (tingkat keasaman) air limbah dan waktu kontak yang berbeda. Ternyata, pada pH 6 air limbah diperoleh hasil persentase pengeluaran tembaga tertinggi, yakni 85%,” paparnya. Gultekin mengungkapkan, proyek penelitian yang mereka lakukan memiliki kelebihan tersendiri dibanding metode penyerapan logam berat yang pernah ada.
Kelebihan mereka ialah pengembangan manfaat dari bubuk kulit kacang yang telah digunakan menyerap ion tembaga. Pemanfaatan yang dilakukan yakni menjadikannya bahan campuran pembuatan guci atau keramik. “Tentu akan berbahaya jika ampas kulit kacang tanah yang mengandung tembaga dibuang begitu saja ke lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan pengendapan dengan cara menjerat ion tembaga ke dalam kerangka padatan. Kami pun mengusulkan untuk dibuat guci pajangan,” sarannya.
Agar tidak mengontaminasi lingkungan kembali, ampas kulit kacang bekas saringan air limbah dapat dikeringkan kembali. Lalu dicampur dengan tanah liat, mencetaknya menjadi bentuk tertentu dan membakarnya pada suhu 800–1.000 derajat celcius. Dengan proses ini, kulit kacang tanah akan hilang terbakar dan ion tembaga dapat terperangkap dalam keramik tanah liat.
“Meski menjadi hiasan, ion tembaga tidak akan berpengaruh terhadap udara di lingkungan sekitarnya. Tapi dengan syarat, guci atau keramik yang dihasilkan tidak terkena air hujan. Sebab, jika terkena air hujan, ada kemungkinan ion tembaga yang telah terperangkap kembali mencemari lingkungan,” ujar siswa kelahiran 21 Februari 1998 di Kazan, Rusia ini. Sementara itu, prestasi yang mereka raih pada GCIEPO 2015, diakui Gultekin sangat membanggakan.
Kompetisi internasional itu sendiri diikuti 120 tim dari 35 negara untuk kategori lingkungan. Beberapa negara yang menjadi pesaing mereka antara lain Amerika Serikat, Jerman, Turki, Afrika Selatan, Irak, Pakistan, Bosnia, dan Kazakstan. _
Ratih Keswara
Yogyakarta
Berangkat dari persoalan itulah, dua siswa SMA Kesatuan Bangsa Yogyakarta meneliti limbah kulit kacang tanah sebagai adsorbenpotensi logam tembaga. Mereka adalah Najwan Husein Assegaf dan Gultekin Uludug, siswa kelas XI IPA. Bahkan, proyek penelitian yang mereka buat meraih medali perak untuk kategori lingkungan dalam ajang Golden Climate International Environmental Project Olympiade (GCIEPO) 2015 di Mombasa, Kenya, Afrika, pada awal Mei 2015.
“Kita tahu bersama, pencemaran air terbesar dikarenakan limbah logam berat, utamanya di negara- negara industri. Di sisi lain, dari hasil pengamatan kami, orang Indonesia suka makan kacang tapi kulitnya selama ini kurang dimanfaatkan. Karena itu, dalam penelitian ini kami juga mengusung slogan habis makan kacang, manfaatkan kulitnya,” ujar Najwan. Menurut Najwan, memang telah banyak metode pemurnian air konvensional. Sayangnya, biaya yang dikeluarkan cukup mahal.
Dengan limbah kulit kacang tanah itulah mereka mengusulkan sebagai bahan adsorben yang sederhana, murah, efektif, dan berkelanjutan. “Dalam penelitian kami ini bahkan telah terbukti kulit kacang tanah mampu menyerap hingga 85% logam berat yang mencemari air. Mendapatkan kulit kacang pun tidak susah karena Indonesia sendiri menjadi negara urutan keenam dunia produsen kacang tanah yakni 1,2 juta metrik ton per tahun,” ungkap siswa kelahiran Pekalongan, 14 Februari 1998 ini.
Untuk menjadi adsorben potensi, kulit kacang tanah menjalani proses yang mudah saja. Awalnya kulit kacang tanah dikeringkan, kemudian dibuat menjadi bubuk dengan cara menggiling dan mengayaknya. Bubuk kulit kacang itulah yang kemudian dicampurkan dengan air tercemar tembaga. Setelah didiamkan beberapa saat, air kemudian bisa disaring untuk membuang ampas bubuk kulit kacang.
“Dalam penelitian yang kami lakukan, kami menganalisis air hasil saringan dengan Flammable Atom Analyzer Spectrophometer. Percobaan kami lakukan dengan beberapa takaran kulit kacang, pH (tingkat keasaman) air limbah dan waktu kontak yang berbeda. Ternyata, pada pH 6 air limbah diperoleh hasil persentase pengeluaran tembaga tertinggi, yakni 85%,” paparnya. Gultekin mengungkapkan, proyek penelitian yang mereka lakukan memiliki kelebihan tersendiri dibanding metode penyerapan logam berat yang pernah ada.
Kelebihan mereka ialah pengembangan manfaat dari bubuk kulit kacang yang telah digunakan menyerap ion tembaga. Pemanfaatan yang dilakukan yakni menjadikannya bahan campuran pembuatan guci atau keramik. “Tentu akan berbahaya jika ampas kulit kacang tanah yang mengandung tembaga dibuang begitu saja ke lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan pengendapan dengan cara menjerat ion tembaga ke dalam kerangka padatan. Kami pun mengusulkan untuk dibuat guci pajangan,” sarannya.
Agar tidak mengontaminasi lingkungan kembali, ampas kulit kacang bekas saringan air limbah dapat dikeringkan kembali. Lalu dicampur dengan tanah liat, mencetaknya menjadi bentuk tertentu dan membakarnya pada suhu 800–1.000 derajat celcius. Dengan proses ini, kulit kacang tanah akan hilang terbakar dan ion tembaga dapat terperangkap dalam keramik tanah liat.
“Meski menjadi hiasan, ion tembaga tidak akan berpengaruh terhadap udara di lingkungan sekitarnya. Tapi dengan syarat, guci atau keramik yang dihasilkan tidak terkena air hujan. Sebab, jika terkena air hujan, ada kemungkinan ion tembaga yang telah terperangkap kembali mencemari lingkungan,” ujar siswa kelahiran 21 Februari 1998 di Kazan, Rusia ini. Sementara itu, prestasi yang mereka raih pada GCIEPO 2015, diakui Gultekin sangat membanggakan.
Kompetisi internasional itu sendiri diikuti 120 tim dari 35 negara untuk kategori lingkungan. Beberapa negara yang menjadi pesaing mereka antara lain Amerika Serikat, Jerman, Turki, Afrika Selatan, Irak, Pakistan, Bosnia, dan Kazakstan. _
Ratih Keswara
Yogyakarta
(ars)