ABK Indonesia Banyak Dijadikan Budak Kapal Asing
A
A
A
BREBES - Koordinator LSM Forum Migran Indonesia (Formigran) Kabupaten Brebes Jamaludin mengatakan, sebagian besar TKI yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di kapal-kapal luar negeri menjadi korban perbudakan.
Indikasinya adanya perbudakan itu adalah kontrak kerja yang tidak jelas karena hanya diketahui oleh agen penyalur, agen pemilik kapal dan ABK saja, gaji rendah (rata-rata 250 dolar per bulan), dan jam kerja yang tidak jelas.
"Dari kasus-kasus yang kami tangani, kontrak kerja mereka dibuat asal-asalan. Tidak ada campur tangan perwakilan kedutaan seperti TKI di sektor lain," kata Jamaludin, kepada Sindonews, Rabu (20/5/2015).
Jamal melanjutkan, TKI yang bekerja di sektor kelautan dengan menjadi ABK selama ini juga tidak mendapat perlindungan yang seharusnya dari pemerintah, karena belum ada regulasi yang mengatur pemberangkatan dan perlindungan mereka secara jelas.
"Kalau TKI di sektor lain seperti domestik sudah ada UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. Aturan itu tidak cukup untuk melindungi para TKI yang di sektor kelautan seperti para ABK itu," papar dia.
Akibat ketiadaan regulasi tersebut, penyaluran TKI yang bekerja menjadi ABK di kapal-kapal luar negeri dilakukan secara asal-asalan, sehingga rentan menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
"Penyalurannya tidak jelas. Sebagai contoh, perusahaan penyalurnya ada yang terdaftar di Dishub, Kementerian Kelautan, dan Dinsosnakertrans. Jika ada masalah yang terjadi kebingunan. Lalu siapa yang melindungi mereka?" ucapnya.
Untuk itu, Jamal mendesak pemerintah bersama DPR segera membuat regulasi terkait penempatan dan perlindungan untuk TKI yang bekerja di sektor kelautan. Terlebih, pemerintah juga sudah meratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya.
"Walaupun sudah meratifikasi, tapi sayangnya itu tidak diadopsi dengan merevisi Undang-undang Perlindungan yang sudah ada agar ada perlindungan yang jelas untuk para ABK. Makanya sampai saat ini terus terjadi kasus ABK," pungkasnya.
Indikasinya adanya perbudakan itu adalah kontrak kerja yang tidak jelas karena hanya diketahui oleh agen penyalur, agen pemilik kapal dan ABK saja, gaji rendah (rata-rata 250 dolar per bulan), dan jam kerja yang tidak jelas.
"Dari kasus-kasus yang kami tangani, kontrak kerja mereka dibuat asal-asalan. Tidak ada campur tangan perwakilan kedutaan seperti TKI di sektor lain," kata Jamaludin, kepada Sindonews, Rabu (20/5/2015).
Jamal melanjutkan, TKI yang bekerja di sektor kelautan dengan menjadi ABK selama ini juga tidak mendapat perlindungan yang seharusnya dari pemerintah, karena belum ada regulasi yang mengatur pemberangkatan dan perlindungan mereka secara jelas.
"Kalau TKI di sektor lain seperti domestik sudah ada UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. Aturan itu tidak cukup untuk melindungi para TKI yang di sektor kelautan seperti para ABK itu," papar dia.
Akibat ketiadaan regulasi tersebut, penyaluran TKI yang bekerja menjadi ABK di kapal-kapal luar negeri dilakukan secara asal-asalan, sehingga rentan menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
"Penyalurannya tidak jelas. Sebagai contoh, perusahaan penyalurnya ada yang terdaftar di Dishub, Kementerian Kelautan, dan Dinsosnakertrans. Jika ada masalah yang terjadi kebingunan. Lalu siapa yang melindungi mereka?" ucapnya.
Untuk itu, Jamal mendesak pemerintah bersama DPR segera membuat regulasi terkait penempatan dan perlindungan untuk TKI yang bekerja di sektor kelautan. Terlebih, pemerintah juga sudah meratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya.
"Walaupun sudah meratifikasi, tapi sayangnya itu tidak diadopsi dengan merevisi Undang-undang Perlindungan yang sudah ada agar ada perlindungan yang jelas untuk para ABK. Makanya sampai saat ini terus terjadi kasus ABK," pungkasnya.
(san)