Ngulinkeun Bola (Memainkan Bola)

Selasa, 12 Mei 2015 - 11:39 WIB
Ngulinkeun Bola (Memainkan Bola)
Ngulinkeun Bola (Memainkan Bola)
A A A
Sepak bola merupakan olahraga yang diperkenalkan oleh Inggris kepada masyarakat Indonesia. Setelah itu dipopulerkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, sehingga lapang sepak bola tumbuh di areal perkebunan.

Olahraga ini menjadi olahraga yang paling digemari di seantero jagat raya, tidak peduli tua dan muda, laki-laki dan perempuan. Sistem turnamen memikat di semua tingkatan, dari mulai turnamen sepakbola Agustusan antarkampung dan antardesa, sampai antar klub-klub profesional yang harus mengikuti standardisasi FIFA.

Urusan ribut di lapangan dalam dunia sepak bola adalah hal yang biasa, jangankan memerebutkan sebuah trofi bergengsi dengan hadiah uang yang besar, pertandingan sepak bola antarkampung pun yang tidak menyediakan hadiah yang besar, hanya ala kadarnya, bisa menimbulkan konflik yang hebat. Menonton sepak bola di turnamen Agustusan merupakan tontonan yang sangat menarik, karena para penonton bisa dengan bebas mengekspresikan seluruh kegembiraan dan kekecewaannya.

Apabila terjadi gol, maka berlarilah seluruh penonton ke dalam lapangan. Ada yang berjingkrak, ada yang salto, ada yang gogoléran (tiduran), aya nu nyingsatkeun anderok (ada yang menaikkan rok), bahkan ada yang suka totonggéngan, bujurna ditonggéngkeun (nungging) ke arah lawan kampung sebelah. Siapa yang tidak panas kalau melihat peristiwa seperti itu, dan dari situlah biasanya pangkal keributan terjadi.

Penonton biasanya dibagi dalam dua blok, blok kiri dan blok kanan dalam posisi saling berhadapan. Peristiwa itu saya alami dulu ketika saya masih SD sekitar tahun 80-an. Tapi keributan yang terjadi tidak pernah menelan korban, baik korban jiwa maupun harta benda. Hanya ketegangan kecil saja yang biasanya dapat diselesaikan ketika pembagian hadiah Agustusan. Kedua timnya berujung pada kekecewaan, karena hadiah yang diberikan oleh desa tidak sesuai dengan harapan.

Kita paham, desa pada waktu itu adalah ujung tombak dan ujung tombokdari pembangunan. Yang paling menarik, lapang sepak bolanya tidak pakai garis, wasitnya cuma satu tanpa hakim garis. Kesebelasannya tanpa seragam, tidak pakai sepatu. Kekuatan sepak bola saat itu sangat diukur pada dua hal, yaitu kecepatan berlari dan kekuatan kaki untuk beradu, yang dalam istilah orang kampung disebut barung, karenanya kaki kekarlah yang paling menguasai permainan.

Setiap ada gol, yang kalah wajib membuka baju sebelah. Bila golnya bertambah, maka baju dibuka seluruhnya. Kebayang kalau golnya bertambah lagi, apakah harus buka celananya? Kadang outball dan offside bukan diten tu - kan oleh wasit, kan wasitnya tidak bisa melihat posisi keluar bola atau posisi offside karena garis lapangnya tidak ada. Seluruh pelanggaran ditentukan oleh penonton.

Siapa yang paling ngotot, itulah yang paling diikuti oleh wasit. Kalau dipikir-pikir, jangan-jangan suasana seperti ini mirip suasana di kampung kita hari ini, nyaris tidak ada aturan yang jelas dalam regulasi: siapa yang teriaknya paling keras, itulah yang paling diikuti oleh pengambil kebijakan. Kerasnya tidak mesti melalui kekuatan ucapan atau gerakan demonstrasi, cukup gerakin para buzzer, siapkan ribuan tagar, maka seluruh apa yang diinginkan akan mudah didengar dan diikuti.

Kebayang, Ma Icih dan Mang Udin yang tidak ngerti akun dan tagar, kapan dia bisa didengar keinginannya. Sepak bola yang kita tonton hari ini, adalah sepak bola yang tertata, berstandardisasi, bersertifikasi, beregulasi. Imbuhan bermenunjukkan sebuah profesionalisme yang merujuk pada ketentuan yang bersifat mendunia yaitu FIFA. FIFA lah yang memiliki otoritas untuk menentukan persepakbolaan dunia tanpa dapat dipengaruhi oleh kekuatan apapun, sehingga FIFA menjadi sosok yang begitu dihormati dalam sistem sepak bola di dunia.

Terlepas benar atau tidaknya, objektivitas yang dimiliki oleh FIFA membawa implikasi yang cukup luas di mana semua jen jang persepakbolaan di seluruh dunia termasuk Indonesia harus tunduk pada seluruh ke tentuannya. Inilah kontroversi dalam pengelolaan sepak bola Indonesia yang bernama PSSI, selalu mengalami riuh rendah dalam setiap pergantian rezim kepemimpinan. Tentunya pikiran kita tidak akan pernah lupa, bagaimana kepemimpinan Nurdin Halid dianggap sebagai kepemimpinan yang tidak sejalan dengan spirit sepak bola pada waktu itu.

Dianggap minim prestasi, banyak kontroversi se hingga Pemerintah melalui Menpora berusaha untuk melakukan perubahan terhadap pengelolaan PSSI yang berujung pada dualisme turnamen Indonesia. Hari ini kita pun dihadapkan pada hal yang hampir serupa. Kepemimpinan di PSSI yang dulu merupakan kepemimpinan yang me miliki semangat pembaharuan, berdasarkan tafsir rezim yang berkuasa, kini tampil kembali menjadi kepemimpinan yang minim prestasi, banyak kontroversi dengan berbagai ragam tuduhan klasik di dalamnya: korup, manipulatif, dan berbagai tuduhan lain.

Ujung dari semua ini adalah dibekukannya PSSI dan berhentinya berbagai kompetisi di bawah kepemimpinan PSSI. Apabila ke depan terjadi perubahan rezim lagi, sangat dimungkinkan hal seperti ini akan ter - ulang kembali. Setiap keinginan perubahan se lalu menggunakan jargon yang sama, tapi selalu berujung pada kondisi yang tidak berbeda, ... jatuh bangun aku mengejarmu, namun dirimu tak mau mengerti.

Di suatu senja saat matahari hampir tenggelam, Ma Icih duduk termenung melihat anak-anak kecil bermain bola plastik di sudut halaman yang sempit. Mereka bermain dengan riang, sorak sorai terdengar penuh dengan suka cita. Dengan raut muka mengerut yang lapuk dimakan usia, Ma Icih bergumam, ”Ternyata sepak bola yang tanpa aturan, tanpa standardisasi, tanpa sertifikasi, telah membuat anak-anak cukup bahagia. Mereka tak memikirkan prestasi dari kakinya. Yang ada dalam pikirannya yang penting hidup senang tanpa beban.”

Dalam lamunannya, Ma Icih terperanjat ketika seluruh anak berlari seperti ketakutan. “Aya naon barudak? Siga nu sieun pisan (Ada apa anak-anak? Seperti ketakutan yang amat sangat),” seru Ma Icih. Anak-anak menjawab, “Itu Ma, Mang Udin ngambek. Bola nyentang kanu beungeutna ( bola mengenai mukanya).”

Tiba-tiba Mang Udin datang sambil terengah-engah penuh dengan emosi, “Nurustunjung tah barudak teh, Icih.Aing keur nagog di buruan bari udud bako tampang, ari jebred teh bola kanu beungeut aing. Udud aing potong, sekar roko seuneuan keneh meni ngajeletot kanu panon aing.” (Keterlaluan itu anak-anak, Icih. Saya lagi jongkok sambil merokok, tiba-tiba bola kena muka. Rokok saya jadi patah.

Bara apinya kena mata terasa sakit sekali) Ma Icih menimpali, “Jangan marahmarah Udin, yang salah bukan anak-anak. Mereka bermain di arena yang mereka sukai. Sebaiknya maneh (kamu) Udin, memahami keinginan dan kebahagiaan anak-anak. Kenapa harus nongkrong di buruan(halaman rumah) pada waktu anakanak main bola? ” Mang Udin menjawab, “Begini Icih, tadinya Aki teh khawatir anak-anak main bola kan tidak pake wasit, tidak ada garis lapangnya, tidak ada hakim garis, takut anakanak parasea(berantem) karena bermain tanpa aturan.

Yah, Aki tungguin demi ketertiban dan pro fe sionalisme sepak bola barudak.” Ma Icih menimpali sambil tersenyum, “Ah, sia teh Udin. Suka sok ngatur. Yang jelas mah, tidak ada kamu pun mereka sudah bisa berjalan dengan sendirinya, tanpa ribet dengan berbagai aturan dan rasa takut. Justru karena kamu mengawasi mereka dengan berbagai kekhawatiran, membuat anak-anak jadi bubar main bolanya karena kamu tidak terima ketika ada bola nyasar ke luar area lapangan dan kena di wajah kamu.”

“Iya Nini, Aki juga sekarang sadar, bahwa Aki terlalu protektif terhadap anak-anak yang bermain bola. Akibatnya beungeut (wajah) Aki bareuh (bengkak), anak-anak sepakbolanya bubar. Dipikir-pikir sama Aki, ngapain aki harus ngurus dan cemas pada anak-anak, karena mereka sudah punya ukuran dan aturannya sendiri yang tidak bisa diukur oleh pikiran aki. Padahal kalo tadi aki nyiramin kebon kacang, geus menang tujuh kotak mah dibanding nguruskeun barudak.” Ma Icih menimpali,

“Bener pisan Aki, kita tidak mesti mengurus bahkan jadi pengurus satu permainan yang bukan milik kita lagi. Biarkan anak-anak bermain sepak bola dengan kegembiraan tanpa harus ribet dengan berbagai aturan dan ketertundukan pada standardisasi sepak bola kalau memang tidak pernah kita capai. Aki mah fokus we ngurus kebon kacang jeung ngurus hayam, meh barudak cukup sayur jeung dagingna. Meh awakna sehat, maen bolana jagjag. ” (lebih baik akin fokus ngurus kebun kacang dan ayam agar anak-anak tercukupi sayur dan dagingnya.

Sehingga badannya sehat, main bolanya kuat) Mang Udin menutup pembicaraannya, “Iyah Nini, jangan sampai kita tidak men da - pat dua-duanya. Prestasi jauh tanah ka langit, hi buran ge leungit. Beas teu boga, gawe pasea. Te rus aki jeung nini tidak bisa lagi nonton incu urang, si kasep Abdulrahman, main di Persib. Duh, ampun teuing....” (prestasi yang jauh dari ha rapan, hiburan juga hilang. Beras tak punya, hanya berantem kerjaannya.

Kakek dan nenek rika bisa lagi nonton cucu kita, si gabteng Abdulrahman, main di Persib. Duh, am - pun…) “Ari maneh Aki, incu ti mana ka Ab dul rah - man? (cucu dari mana itu Abdularhman?)” tanya Ma Icih. Mang Udin tersenyum simpul men ja - wab, “Iih, Nini, nya incu ti aki jeung ti ninina atuh anu dititipkeun ka Pa Umuh...” (ya cucu da ri kakek dan neneknya yang dititikan ke pak Umuh)

Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3048 seconds (0.1#10.140)