Dewan Desak Menteri LKH Ungkap Nama Perusahaan Pembakar Hutan-Lahan
A
A
A
JAKARTA - Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan berlangsung rutin setiap tahun. Tahun ini, Karhutla di dua wilayah tersebut sangat serius.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Syaikhul Islam mengatakan, selain menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekosistemnya, juga menyebabkan gangguan kesehatan, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan gangguan aktivitas masyarakat lainnya seperti pendidikan, ekonomi dan sosial.
Dikatakan politikus PKB ini, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak Januari-September 2019 menyatakan bahwa sampai saat ini lebih dari 49.266 hektare lahan di Provinsi Riau terbakar dan masuk katagori bahaya.
Di Provinsi Jambi ada 11,022 hektare (ha) lahan terbakar, di Sumsel 11,826 ha lahan terbakar. Sedangkan di Kalimantan Barat lebih dari 25.900 ha lahan telah terbakar.
Kalimantan tengah 44,769 ha, dan Kalimantan Selatan 19,490 ha. Melengkapi laporan BNPB, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika telah mendeteksi lebih dari 25.000 titik panas di seluruh wilayah Indonesia.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa kebakaran pada 2019 ini seluas 328.724 ha hutan dan lahan.
Emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan mencapai 109,7 juta ton setara CO2 (karbon dioksida).
"Hal ini merupakan tragedi lingkungan hidup yang sangat mencoreng muka Indonesia di tengah Konferensi Tingkat Tinggi Aksi Perubahan Iklim yang sedang dilangsungkan saat ini di New York Amerika Serikat," katanya, Senin, 23 September 2019.
Sementara itu, Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, menyatakan telah menyegel 52 lokasi di enam provinsi; Riau, Jambi, Sumatera selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur yang merupakan area terdampak Karhutla dengan luasan lebih dari 9.000 ha.
Sejumlah korporasi juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Antara lain PT SKM di Kalbar, PT ABP di Kalbar, PT AER di Kalbar, PT KS di Kalteng, PT IFP di Kalteng.
"Melihat luasnya lahan yang terbakar dan banyaknya kerugian yang diakibatkan, Pimpinan Komisi VII meminta kepada menteri LKH untuk membuka nama-nama perusahaan/korporasi yang terlibat pembakaran hutan dan lahan tanpa ditutup tutupi. Kami meminta Menteri LKH segera mengidentifikasi, mengumpulkan dan mengumumkan nama-nama perusahaan/korporasi yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Tidak boleh ada tebang pilih. Semua temuan di lapangan harus disampaikan secara detail," kata Saiful Islam.
Selanjutnya, pihaknya juga mengharapkan penegak hukum segera melakukan penindakan dan penegakan hukum pada seluruh perusahaan yang melanggar.
"Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2019 ini seluas 328.724 ha. Pasti pelakunya banyak sekali. Perusahaan juga harus bertanggung jawab untuk menghentikan kebakaran di lokasi yang dimilikinya,” paparnya.
Sebagai Pimpinan Komisi VII DPR, dia mendorong pemerintah untuk melakukan pengawasan secara ketat kepada perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya dan meminta pertanggungjawaban hukum jika perusahaan melakukan pembakaran hutan.
“Perusahaan memiliki tanggung jawab dalam kasus kebakaran lahan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 67 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan setiap orang (termasuk perusahaan) untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup," urainya.
Selanjutnya, kata Saiful, berdasarkan Pasal 68, perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya wajib menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup.
Berdasarkan Pasal 69, perusahaan juga dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan perusakan lingkungan dan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
"Atas dasar hukum tersebut perusahaan atau korporasi yang terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan harus bertanggung jawab,” imbuhnya.
Komisi VII juga mendorong pemerintah untuk segera membuat mekanisme pelaksanaan serta prosedur atau tahapan secara rinci mengenai eksekusi putusan pengadilan yang dapat memaksa perusahaan membayar kerugian lingkungan hidup dan biaya pemulihan lingkungan hidup.
"Ganti rugi tersebut nantinya dapat digunakan untuk memulihkan lingkungan yang rusak akibat pembakaran hutan sehingga hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 dapat dipenuhi," pungkasnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Syaikhul Islam mengatakan, selain menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekosistemnya, juga menyebabkan gangguan kesehatan, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan gangguan aktivitas masyarakat lainnya seperti pendidikan, ekonomi dan sosial.
Dikatakan politikus PKB ini, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak Januari-September 2019 menyatakan bahwa sampai saat ini lebih dari 49.266 hektare lahan di Provinsi Riau terbakar dan masuk katagori bahaya.
Di Provinsi Jambi ada 11,022 hektare (ha) lahan terbakar, di Sumsel 11,826 ha lahan terbakar. Sedangkan di Kalimantan Barat lebih dari 25.900 ha lahan telah terbakar.
Kalimantan tengah 44,769 ha, dan Kalimantan Selatan 19,490 ha. Melengkapi laporan BNPB, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika telah mendeteksi lebih dari 25.000 titik panas di seluruh wilayah Indonesia.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa kebakaran pada 2019 ini seluas 328.724 ha hutan dan lahan.
Emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan mencapai 109,7 juta ton setara CO2 (karbon dioksida).
"Hal ini merupakan tragedi lingkungan hidup yang sangat mencoreng muka Indonesia di tengah Konferensi Tingkat Tinggi Aksi Perubahan Iklim yang sedang dilangsungkan saat ini di New York Amerika Serikat," katanya, Senin, 23 September 2019.
Sementara itu, Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, menyatakan telah menyegel 52 lokasi di enam provinsi; Riau, Jambi, Sumatera selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur yang merupakan area terdampak Karhutla dengan luasan lebih dari 9.000 ha.
Sejumlah korporasi juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Antara lain PT SKM di Kalbar, PT ABP di Kalbar, PT AER di Kalbar, PT KS di Kalteng, PT IFP di Kalteng.
"Melihat luasnya lahan yang terbakar dan banyaknya kerugian yang diakibatkan, Pimpinan Komisi VII meminta kepada menteri LKH untuk membuka nama-nama perusahaan/korporasi yang terlibat pembakaran hutan dan lahan tanpa ditutup tutupi. Kami meminta Menteri LKH segera mengidentifikasi, mengumpulkan dan mengumumkan nama-nama perusahaan/korporasi yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Tidak boleh ada tebang pilih. Semua temuan di lapangan harus disampaikan secara detail," kata Saiful Islam.
Selanjutnya, pihaknya juga mengharapkan penegak hukum segera melakukan penindakan dan penegakan hukum pada seluruh perusahaan yang melanggar.
"Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2019 ini seluas 328.724 ha. Pasti pelakunya banyak sekali. Perusahaan juga harus bertanggung jawab untuk menghentikan kebakaran di lokasi yang dimilikinya,” paparnya.
Sebagai Pimpinan Komisi VII DPR, dia mendorong pemerintah untuk melakukan pengawasan secara ketat kepada perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya dan meminta pertanggungjawaban hukum jika perusahaan melakukan pembakaran hutan.
“Perusahaan memiliki tanggung jawab dalam kasus kebakaran lahan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 67 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan setiap orang (termasuk perusahaan) untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup," urainya.
Selanjutnya, kata Saiful, berdasarkan Pasal 68, perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya wajib menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup.
Berdasarkan Pasal 69, perusahaan juga dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan perusakan lingkungan dan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
"Atas dasar hukum tersebut perusahaan atau korporasi yang terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan harus bertanggung jawab,” imbuhnya.
Komisi VII juga mendorong pemerintah untuk segera membuat mekanisme pelaksanaan serta prosedur atau tahapan secara rinci mengenai eksekusi putusan pengadilan yang dapat memaksa perusahaan membayar kerugian lingkungan hidup dan biaya pemulihan lingkungan hidup.
"Ganti rugi tersebut nantinya dapat digunakan untuk memulihkan lingkungan yang rusak akibat pembakaran hutan sehingga hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 dapat dipenuhi," pungkasnya.
(boy)