Jalan Panjang Petani Konflik Agraria Blitar Mempertahankan Kedaulatan Ekonomi

Kamis, 19 Desember 2019 - 20:20 WIB
Jalan Panjang Petani...
Tukinan (Berjaket) aktivis petani perkebunan Kulonbambang, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, berfoto di depan Kantor CU Pawartaku. Foto/SINDOnews/Solichan Arif
A A A
Redistribusi (pembagian) tanah dalam sengketa agraria di Kabupaten Blitar, tidak serta merta menyelesaikan persoalan ekonomi petani. Redis memang telah melucuti status buruh perkebunan petani.

Tanah hasil perjuangan telah mengangkat derajat sosial ke taraf yang lebih manusiawi. Alat produksi (tanah) telah dikuasai, dimana bersama anak-anaknya, sanak keluarga serta kerabat, petani leluasa mengolah lahan.

Namun masalah pelik menyusul ketika mereka dihadapkan dengan biaya pengelolaan. Untuk mempertahankan cengkeh dan kopi sebagai tanaman produksi petani butuh modal awal yang tidak kecil.

Fenomena masa sulit itu berlangsung pada medio 2010. Melihat itu Farhan Mahfudzi (42), pendamping dari Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB) merasa gundah. Apalagi ia juga melihat lembaga perbankan telah mencium ketidakberdayaan para petani.

Jebolan Fakultas Hukum UGM itu menangkap adanya gelagat "jahat" lembaga perbankan. dan apa yang ia cemaskan betul betul terjadi. Seperti semut mengendus aroma gula.

Dalam waktu singkat marketing bank negara, swasta maupun lembaga keuangan yang masih memakai pola renternir, berduyun-duyun turun ke desa. Mereka datang dengan membawa bermacam-macam tawaran kerjasama.

Intinya sebuah pinjaman modal usaha mikro dengan tanah redis sebagai agunan (jaminan). "Di daerah petani perkebunan Gambar Anyar, Kecamatan Nglegok, dana BRI saja yang masuk mencapai Rp 11 miliar," kata Farhan kepada Sindonews.com.

Dengan pinjaman sebesar Rp11 miliar, setiap tahunnya petani di Gambar Anyar, dikenai kewajiban membayar bunga bank rata rata Rp1,1 miliar. Ini belum dari lembaga keuangan lain.

Gambar Anyar, merupakan salah satu wilayah pendampingan PPAB yang pada tahun 2010 berhasil memenangkan sengketa agraria. Redistribusi tanah yang didapat petani mencapai 212 hektar.

Di Gambar Anyar, jargon tanah untuk rakyat yang menjadi semangat land reform berhasil diwujudkan. Sayang, pengelolaan tanah (paska redis) gagal dimanfaatkan petani dengan baik.

Program kelompok petani kambing tidak berhasil dijalankan. Selain petani kurang maksimal dalam mengelola peternakan, sistem bantuan hibah tanpa pengembalian juga menjadi salah satu faktor pemicu kegagalan.

Pembentukan sentra petani kopi juga kandas. Melimpahnya biji kopi Excelsa di tanah perkebunan tanpa diikuti dengan pemasaran yang luas membuat bisnis kerakyatan itu macet di tengah jalan.

Satu satunya manfaat dari redis adalah 17 hektar lahan kolektif yang dikelola untuk kepentingan umum. Dari lahan kolektif itu pembiayaan untuk pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, termasuk gaji perangkat desa bisa dilakukan.

Di tengah situasi tersungkur itu pinjaman petani atas program kredit keuangan mikro paska redis, kata Farhan justru semakin meningkat. Sebuah situasi ekonomi yang tidak menguntungkan petani.

"Masuknya modal (bank) dengan program kredit keuangan mikro membuat tanah hasil redis dibuat jaminan," ungkap Farhan.

Memang ada petani yang berhasil. Mereka tidak hanya menikmati hasil panen. Tapi juga sanggup mengembalikan pinjaman serta bunga bank. Namun jumlah petani yang gagal jauh lebih besar.

"Ketidakmampuan mengembalikan pinjaman bank terjadi pada 60 persen petani penerima redis," paparnya.

Cicilan pinjaman pokok serta bunga bank, kata Farhan tidak terbayar karena banyak petani dirundung kegagalan panen. Akibat belitan hutang itu tidak sedikit tanah redis yang dijaminkan disita bank. "Banyak petani yang akhirnya kembali tidak memiliki tanah," sambungnya.

Meski tidak separah di Gambar Anyar, "bencana ekonomi" itu juga melanda petani Karanganyar, Kecamatan Nglegok, yang juga mendapat tanah redis seluas 182 hektar (tahun 2001). Nasib setali tiga uang menimpa petani perkebunan Banyuurip, Kecamatan Wonotirto, yang memperoleh redis tanah seluas 200 hektar (tahun 2002).

Hutang yang tidak terbayar membuat banyak petani angkat kaki dari desa karena tanah telah disita. Sebagian besar pergi merantau. Banyak juga yang kembali ke kehidupan lama, yakni menjadi buruh perkebunan.

Ada juga yang melibatkan diri ke dalam kelompok petani yang masih berjuang merebut hak tanah. Di kalangan petani yang berjuang, mereka itu distigma sebagai petani "lapar tanah". Sebuah sindiran sekaligus pendeskriditan.

Apa yang terjadi di Gambar Anyar, diakui Farhan sebagai bentuk kegagalan perjuangan. Hasil perjuangan yang dirintis sejak reformasi 1998-1999 berantakan. Aksi-aksi massa, dimana massa dikerahkan untuk turun ke jalan, bernegosiasi hingga menduduki lingkungan kekuasaan, seperti tidak ada gunanya.

Sebagai pendamping ia merasa kecolongan karena sejumlah evaluasi paska redis ternyata tidak berjalan. Akibat manajemen yang tidak terkonsep matang, redis gagal memakmurkan hidup petani.

"Justru kehidupan petani semakin suram dan itu menjadi tanggung jawab moral kami selaku pendamping," katanya.

Hasil evaluasi lanjutan para pendamping dan sejumlah organisasi tani lokal (OTL) yang masih berdiri memutuskan tanah petani harus diselamatkan. Pola pinjaman bank dengan tanah redis sebagai agunan harus segera dihentikan.

Kulonbambang Pelopor Kebangkitan Petani

Tukinan (46) merupakan warga asli Kulonbambang, Dusun Sumbermanggis, Desa Sumberurip, Kecamatan Doko. Ia lahir dari keluarga yang sepenuhnya menggantungkan hidup dari buruh perkebunan PT Saribumi Kawi.

Saribumi Kawi merupakan perkebunan yang ada sejak penjajahan Belanda, dengan cengkeh, kopi dan teh sebagai tanaman. Keluarga Tukinan adalah satu dari ratusan keluarga di Kulonbambang, yang menjadi buruh secara turun-temurun.

Suko dan Maryam, kakek dan neneknya menjadi buruh sejak perkebunan masih di bawah penguasaan kolonial Belanda. Begitu juga dengan Suwaji, ayahnya yang lahir tahun 1930, juga menyerahkan nasibnya sebagai buruh perkebunan .

"Saya merupakan generasi ketiga dari keluarga buruh perkebunan Kulonbambang," ungkap Tukinan.

Perkebunan Kulonbambang, berada di kawasan lereng Gunung Kawi yang berbatasan dengan Kabupaten Malang. Luas perkebunan dengan tanaman keras (cengkeh, kopi dan the) itu terbagi atas enam afdeeling yang posisinya mengelilingi permukiman warga.

Keenam afdeeling itu meliputi Lengkong, Tlogomas, Tlogogentong, Bambang, Tlogosari dan Tlogorejo. Selain ruas jalan desa yang masih berupa jalan berbatu hingga sekarang, intensitas curah hujan di kawasan itu, yakni terutama sore hari, masih relatif tinggi.

Suasana pegunungan berhawa dingin, berkabut dengan gerimis tak putus putus itu yang dirasakan siapapun yang berada disana. Tukinan yang di lingkungan warga desa lebih dikenal dengan nama Kinan bercerita bagaimana dirinya masih mengingat cerita kesengsaraan yang pernah dituturkan ayahnya.

Pada jaman kolonial setiap warga Kulonbambang, wajib bekerja sebagai buruh perkebunan. Semisal seorang suami bekerja sebagai buruh perkebunan, maka otomatis istrinya harus ikut ambil bagian di dalamnya. Aturan itu berlaku juga untuk anak-anak buruh yang berusia dewasa.

"Jika ketahuan ada anggota keluarga yang tidak ikut bekerja, perkebunan akan menjatuhkan hukuman," kata Kinan. Setiap buruh seperti dilarang sakit. Ketika ada buruh yang mangkir kerja dengan alasan sakit, yang bersangkutan harus bersembunyi.

Pintu rumah ditutup. Begitu juga dengan daun daun jendela. Jika ketahuan melakukan aktifitas di sekitar rumah, pegawai perkebunan akan datang lalu memaksa buruh kembali bekerja. Perkebunan menganggap alasan sakit hanya bohong-bohongan.

"Buruh juga dilarang membeli tanah serta memiliki ternak yang banyak. Karena dianggap akan menganggu kerja di perkebunan," tutur Kinan. Anak-anak buruh juga tidak diperbolehkan bersekolah tinggi. Bahkan bila perlu mereka tidak mengenal bangku pendidikan.

Di kawasan perkebunan berlaku tradisi sekolah tinggi hanya untuk anak-anak pegawai perkebunan. Keadaan ini diperparah dengan diciptakannya budaya konsumsif di masyarakat.

Setiap musim panen perkebunan membuat pasar kaget sebagai hiburan rakyat. Tempat-tempat judi tersedia termasuk pelacuran. Alih-alih menabung. Upah buruh tani yang tidak seberapa besarnya itu ludes dalam semalam, dan terpaksa mereka menghutang ke perkebunan.

Menurut Kinan, meski tidak lagi terang-terangan, aturan anak buruh dilarang sekolah tinggi masih terpelihara hingga jaman sebelum reformasi. Ia masih ingat bagaimana setiap di rumah selalu dipaksa untuk membantu bekerja di perkebunan.

"Saya merasakan sendiri bagaimana perkebunan begitu menghegemoni kehidupan sosial warga desa," jelasnya. Kinan memilih melawan dengan caranya sendiri. Ia meninggalkan rumah.

Dengan modal seadanya Kinan nekat melanjutkan pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Ia mengambil kuliah hukum di sebuah kampus swasta di Surabaya. Disitulah dirinya terjun ke dalam gerakan mahasiswa pro demokrasi yang kemudian mengenalkannya pada konflik agraria.

Sejumlah persoalan tanah di Tuban, dan Gresik, menjadi wilayah advokasinya. Atas dorongan kawan-kawannya di gerakan (FKMS dan FKMM) dan alasan Blitar, sebagai salah satu basis sengketa agraria di Jawa Timur, Kinan kemudian memutuskan pulang kampung.

"Meski saya warga asli tidak mudah mendekati masyarakat. Saya berhasil masuk melalui pertandingan bola antar kampung. Disitulah para petani kemudian mulai berhimpun dan bicara nasib," kenangnya.

Pada rentang tahun 1997-1999 Kinan memelopori kerja-kerja pengorganisiran termasuk terlibat aktif dalam pembentukan OTL (organsisasi tani lokal) Pawartaku (Paguyuban Warga Tani Kulonbambang).

Aksi buruh pertama kali mengusung isu THR (Tunjangan Hari Raya) yang tidak layak. Saat itu menjelang hari raya tahun 1999. Sebanyak 108 petani berunjuk rasa menuntut THR layak. Perusahaan kalah dan memilih menyanggupi tuntutan petani.

Kemenangan dalam menuntut THR membuat petani Kulonbambang semakin bersemangat. Dari THR isu perjuangan beralih upah layak setara UMK. "Selama 1999-2000 terjadi tiga aksi besar, dimana puncaknya buruh tani mogok kerja yang sebelumnya tidak pernah terjadi," paparnya.

Seiring meleburnya (fusi) organ juang petani pada tahun 2003, yakni Aliansi Mahasiswa Petani Blitar (AMPHIBI) dan Serikat Petani Aryo Blitar (SPAB), FKMS, FKMM menjadi Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB) dan Yayasan Sitas Desa (Solidaritas Masyarakat Desa), seluruh perjuangan petani terfokus pada isu landreform. Disetiap aksi petani selalu mengkampanyekan tanah untuk rakyat.

Ada sebanyak 12 titik sengketa termasuk Kulonbambang yang menjadi pendampingan PPAB. Di antaranya perkebunan Gambar Anyar, Kecamatan Nglegok (212 hektar); Karanganyar, Kecamatan Nglegok (182 hektar); Pijiombo, Kecamatan Wlingi (50 hektar); Soso, Kecamatan Gandusari (74 hektar); Ponggok, Kecamatan Ponggok (37 hektar); Sidorejo, Kecamatan Ponggok (26 hektar); Gunung Nyamil, Kecamatan Wonotirto (400 hektar); Banyuurip, Kecamatan Wonotirto (200 hektar); dan Ngeni Ngadipuro, Kecamatan Wonotirto (1.956 hektar)

Saat itu April 2012. Perjuangan petani Kulonbambang tidak sia-sia. Negara membagikan tanah redis seluas 319 hektar. Sebanyak 1.050 bidang tanah dibagikan kepada 500 kepala keluarga (KK) di Kulonbambang, dimana luasan dan posisi sesuai kriteria perjuangan masing-masing.

Sesuai kadar perjuangannya ada petani yang mendapat tanah kelas A seluas satu hektar 20 are. Kemudian kelas B satu hektar, kelas C 80 are, kelas D 70 are, dan kelas F 50 are. Satu are memiliki ukuran 12 ribu meter persegi. Selain itu petani masih memiliki 50 hektar tanah kolektif yang penggarapannya dilakukan bersama-sama.

"Rata-rata petani mendapatkan tiga perempat hingga satu hektar," jelas Kinan. Seide dengan Farhan. Kinan tidak berharap persoalan yang terjadi di Gambar Anyar, dan perkebunan lainnya meluas ke Kulonbambang.

Mereka bersepakat harus ada lembaga keuangan yang berpihak petani dan bukan sekedar mengurusi perputaran modal. Petani Kulonbambang yang menerima redis relatif belakang harus diselamatkan sekaligus dijadikan percontohan (pilot project) bagi petani lainnya.

"Dengan memiliki lembaga keuangan sendiri yang bisa membantu keuangan petani maka secara otomatis akan mengurangi masuknya modal dari luar yang berdampak buruk bagi petani," tegasnya menambahkan petani harus berdaulat secara ekonomi.

Credit Union Pawartaku "Messiah" Petani

Dimulai dari mana?. Pertanyaan itu selalu muncul dalam setiap diskusi pendamping dan OTL (organisasi tani lokal). OTL merupakan organ tempat berhimpunnya petani saat mereka memperjuangkan isu agraria.

Kecuali OTL Pawartaku di Kulonbambang, begitu redis tanah sebagai target perjuangan tercapai, banyak OTL di Blitar, yang membubarkan diri. Di Kulonbambang, sedari awal pendamping dan petani tetap berusaha mempertahankan tradisi berorganisasi.

Meski tidak seintensif saat perjuangan berebut tanah masih berjalan, mereka masih aktif melakukan pertemuan untuk membahas seputar isu-isu petani. "OTL Desa Kulonbambang, Kecamatan Doko, salah satu yang masih berdiri," tutur Farhan.

Ada sebanyak 20 orang OTL Pawartaku yang terlibat aktif. Melalui kesepakatan bersama, pada 9 Maret 2013 berdirilah organisasi Credit Union (CU) Pawartaku, atau koperasi kredit Pawartaku .

CU adalah sekumpulan orang yang saling percaya untuk mengumpulkan modal bersama-sama yang lalu dipinjamkan ke anggota demi kesejahteraan bersama. Secara prinsip berbeda dengan koperasi simpan pinjam.

Lembaga ini merupakan gabungan antara koperasi, bank dan asuransi. Sebagai koperasi CU memiliki simpanan pokok dan simpanan wajib. Sebagai bank, produk simpanan sukarela memiliki banyak turunan simpanan, yakni mulai simpanan pensiun, pendidikan, dan simpanan harian.

Sedangkan sebagai asuransi, CU memberikan asuransi pada tabungan dan pinjaman anggota serta asuransi kesehatan dan kematian. Sebuah fasilitas yang tidak dipunyai koperasi simpan pinjam.

Model lembaga keuangan ini pertama kali muncul di negara Eropa (Jerman) abad 19 yang dilatarbelakangi banyaknya petani terjerat hutang lintah darat. Situasi petani di Jerman, saat itu memiliki kesamaan nasib dengan petani Kabupaten Blitar.

Dengan banyaknya petani menjual tanah, kemudian disita karena tidak mampu mengangsur pinjaman, kehadiran CU Pawartaku menjadi jawaban. "Di awal anggota CU adalah 20 orang OTL serta pendamping," kata Farhan yang juga manajer CU Pawartaku.

CU Pawartaku memiliki dua kantor yang dioperasikan empat orang karyawan dan dibantu empat orang sukarelawan. Satu kantor berada di wilayah Kulonbambang. Kantor lainnya berada di Kota Blitar. Semuanya rumah warga yang telah disewa.

Gerimis masih mengguyur wilayah Kulonbambang, saat dua orang remaja putri duduk di kursi dengan piranti komputer desktop di depannya. Tak jauh dari sana sebuah mesin printer bekerja mencetak kertas penuh angka tanpa suara.

Di lokasi yang sama tampak seorang laki-laki berkacamata menghadap layar komputer jinjing. Jaka Wandira begitu biasa disapa, terlihat sibuk membuat laporan keuangan.

Jaka merupakan aktivis petani sejak masih mahasiswa, dan hingga kini masih konsisten di jalurnya. Mereka, kata Farhan selalu ada di jam-jam kerja. "Artinya kantor selalu buka setiap hari melayani petani," papar Farhan.

Sebelum berdiri tegak, pembentukan CU Pawartaku juga melalui proses studi banding cukup panjang. Selama setahun Farhan Cs menemui orang-orang yang lebih dulu berpengalaman.

Berulangkali datang ke Malang, Jogjakarta, dan Pontianak, Kalimantan, dimana sudah lebih dulu ada CU. Dari diskusi tentang konsep dan gagasan, CU Pawartaku akhirnya memutuskan bergabung dengan CU gerakan konsepsi filosofi petani di bawah naungan Institute Dayakologi, Kalimantan.

"CU Pawartaku merupakan CU ketujuh dari tujuh CU yang ada di Indonesia," kata Farhan. Diakui Farhan tidak mudah meyakinkan sekaligus mengajak petani menjadi anggota. Apalagi hal ini menyangkut uang.

Di awal berdiri (2013) anggota CU Pawartaku hanya sekitar 20 orang yang semuanya adalah anggota OTL. Untuk menjadi anggota setiap orang merogoh kocek Rp50 ribu. Pinjaman umum dengan bunga 2 persen masih menjadi satu-satunya fasilitas pinjaman.

Saat itu CU belum memberlakukan agunan atau jaminan untuk petani yang meminjam. "Awal-awal seperti arisan. Setiap orang memberikan uang Rp50 ribu untuk angggota," kenang Farhan. Berbagai upaya pendekatan kepada petani terus dilakukan.

Setiap pekan sekali pengurus mendatangi keluarga petani, mengenalkan apa itu CU Pawartaku. Mereka diyakinkan bahwa hanya CU yang bisa menolong petani disaat mereka butuh uang untuk memenuhi kebutuhan produksi dan konsumsi. Bukan bank atau lembaga keuangan lain yang terbukti hanya mencari keuntungan.

Dalam waktu tiga tahun, yakni tahun 2016 anggota CU Pawartaku melonjak menjadi 300 orang. Secara organisasi OTL Pawartaku juga terdaftar sebagai anggota luar biasa CU Pawartaku.

Dengan pinjaman progressif, yakni bertambahnya anggota, kemudian pinjaman umum dan musiman, aset yang dimiliki CU juga naik Rp600 juta. Di tahun yang sama itu biaya pendaftaran anggota yang semula Rp50 ribu meningkat menjadi Rp1,6 juta.

Menurut Farhan karena masih banyak petani anggota CU yang meminjam uang di bank, pihaknya mulai memberlakukan aturan jaminan pinjaman. Semangatnya tetap untuk melindungi tanah petani.

Dalam klausul kerjasama memang terdapat sanksi penyitaan aset jaminan. Namun dalam praktiknya pendekatan kemanusiaan selalu diutamakan. Petani selalu mendapat toleransi waktu termasuk mendapat kesempatan meminjam organisasi (OTL) untuk menutup pinjaman di CU.

"Ada reschedulling pinjaman. Dan kalaupun terjadi sita dan lelang aset, akan jatuh ke organisasi (OTL). Namun sejauh ini tidak terjadi," paparnya. Seperti halnya lembaga keuangan lain. Kredit macet masih menjadi persoalan. Farhan mengakui itu.

Kredit macet yang berasal dari pinjaman umum dan pinjaman musiman mencapai 24 persen, melebihi ambang batas toleransi 5-10 persen. Sebagian besar kemacetan bersumber dari penyesuaian kenaikan keanggotaan dari Rp50 ribu menjadi Rp1,6 juta.

Namun hal itu bagi Farhan tidak menjadi masalah. Kemacetan kredit itu menurun dengan jumlah anggota CU yang terus bertambah. Pada tahun 2019 anggota CU meningkat menjadi 786 orang dengan penambahan aset mencapai Rp3,8 miliar dengan simpanan terbesar dari OTL sebesar Rp300 juta.

"Dari aset Rp3,8 miliar, Rp2,4 miliar beredar sebagai pinjaman," kata Farhan. Seiring peningkatan aset dan jumlah anggota CU Pawartaku terus berkembang. Yang terbaru CU memiliki program solidaritas anggota yang meliputi Kesehatan, Duka, Tudung, dan Lalau.

Setiap anggota yang berduka karena peristiwa kematian mendapat santunan Rp1-2 juta. Kemudian untuk anggota yang sakit CU memberi santunan sebesar Rp200 ribu-700 ribu, anggota yang meninggal dunia tabungannya dikembalikan dua kali lipat.

Begitu juga untuk anggota yang memiliki pinjaman kemudian meninggal dunia, ahli warisnya tidak terkena penagihan. Pinjaman akan dianggap hilang. Menurut Farhan, dengan adanya CU Pawartaku, petani di Blitar, memiliki alternatif pilihan.

Untuk pemenuhan kebutuhan produksi dan konsumsi, petani yang juga didorong untuk beternak, tidak lagi bergantung pada bank. Mereka telah memiliki lembaga keuangan yang lebih aman bagi hajat hidupnya.

Dengan jasa tabungan yang diperoleh dari CU Pawartaku OTL yang menjadi anggota luar biasa ikut berperan aktik dalam sumbangan sosial di desa. Termasuk di antaranya dalam waktu dekat menyiapkan mobil ambulance untuk warga Kulonbambang.

"Program kita ke depan adalah terus menambah keanggotaan. Kemudian juga meluaskan CU Pawartaku ke petani lainnya di Kabupaten Blitar. Karena model keuangan ini memang layak dicontoh para petani," pungkas Farhan.

Kabid Kelembagaan dan Pengawasan Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Pemkab Blitar, Didik Wahyudi mengatakan, jumlah koperasi di Kabupaten Blitar, sebanyak 974 unit. Bentuknya mulai KSP, produsen, konsumen, pemasaran dan jasa.

Dari jumlah tersebut hanya 432 koperasi yang dianggap aktif. Sedangkan 542 koperasi lainnya hanya papan nama atau tidak aktif. Tahun 2019 ini, kata Didik Pemkab Blitar, telah membubarkan 197 koperasi yang saat ini dalam pengurusan di kementrian.

"Rencanannya tahun depan kami juga akan membubarkan lagi 100 unit koperasi karena juga sudah tidak aktif," ujarnya. Menurut Didik koperasi masih memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat, terutama sektor riil menengah ke bawah.

Karenanya keberadaan koperasi sangat diperlukan, termasuk dengan CU Pawartaku yang beranggotakan petani. Secara kelembagaan Didik menggolongkan CU Pawartaku ke dalam koperasi.

Secara aturan CU juga harus melakukan rapat tahunan (RAT) serta memilih pengurus sesuai dengan AD/ART yang berlaku. "Secara manajemen usaha boleh menggunakan manajemen sendiri sepanjang itu tidak bertentangan dengan aturan koperasi," paparnya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.7419 seconds (0.1#10.140)