Situs Kumitir, Saksi Bisu Bersatunya Cucu Ken Arok-Tunggul Ametung

Jum'at, 01 November 2019 - 13:19 WIB
Situs Kumitir, Saksi Bisu Bersatunya Cucu Ken Arok-Tunggul Ametung
Antefik yang identik dengan bagian sudut atap candi Situs Kumitir. Foto/SINDONews/Tritus Julan.
A A A
MOJOKERTO - Kumitir, merupakan salah satu daerah yang dianggap suci sejak Kerajaan Singasari.

Jauh sebelum Kerajaan Majapahit yang berdiri pada 1215 tahun saka, atau tahun 1293 masehi.

Konon, Kumitir atau yang disebut Kumeper dalam serat Pararaton, menjadi tempat pendharmaan bagi dua leluhur Kerajaan Singasari serta Majapahit. Dalam serat Pararaton yang ditulis ratusan tahun pasca kejayaan Majapahit, pada 1193 tahun saka, Kumeper menjadi tempat pendharmaan Mahisa Campaka atau yang disebut Narasinghamurti pada pupuh Negarakretagama.

"Kalau di Negarakretagama disebutkan (Pendharmaan) Mahisa Campaka, karena yang keturunan langsung dari Ken Arok itu kan Mahisa Campaka. Tapi disebutkan juga Mahisa Campaka didharmakan di Kumitir mendampingi Wisnuwardana pada abad ke-13. Lokasinya disebutkan Kumitir, tapi kalau Pararaton disebutkan Kumeper. Sama-sama menyebutkan sisi timur dari Kota Majapahit," kata arkeolog BPCB Jawa Timur, Wicaksono Dwi Nugroho, Jumat (1/11/2019).

Situs Kumitir, Saksi Bisu Bersatunya Cucu Ken Arok-Tunggul Ametung


Berdasarkan Serat Pararaton, Mahisa Campaka dan Wisnuwardana yang memiliki nama asli Ranggawuni merupakan Raja Tumapel, atau yang lebih dikenal sebagai Singasari. Dalam kitab naskah sastra jawa pertengahan yang digubah dalam bahasa jawa kawi itu disebutkan, keduanya menjadi raja usai mengalahkan Panji Tohjaya, Raja Tumapel yang kala itu berkuasa. Peperangan itu terjadi pada tahun 1172 tahun saka.

Kala itu, Panji Tohjaya yang merupakan anak Ken Arok dari selir Ken Umang naik tahta usai menghabisi Anusapati, putra Tunggul Ametung dengan Ken Dedes. Selain itu Anusapati juga merupakan ayah dari Ranggawuni. Sementara Mahisa Campaka merupakan anak dari Mahisa Wong Teleng, putra Ken Arok dengan Ken Dedes. Panji Tohjaya berupaya membunuh keduanya lantaran termakan hasutan pembisik kerajaan bernama Pranaraja.

Seorang punggawa kerajaan yang juga seorang kesaria bernama Lembu Ampal ditugaskan untuk mengabisi Ranggawuni dan Mahaisa Campaka. Namun, kesatria itu justru berkhianat. Lembu Ampal memilih membela Ranggawuni dan Mahisa Campaka yang kala itu bersembunyi di rumah pendeta. Bahkan, Lembu Ampal pula yang menggalang kekuatan pasukan Tumapel. Hingga akhirnya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berbalik menyerang Panji Tohjaya.

Serangan mendadak itu membuat Panji Tohjaya dan pasukannya kewalahan. Meski berhasil melarikan diri, Panji Tohjaya mengalami luka cukup parah akibat tertusuk tombak. Luka itu membuat Panji Tohjaya meregang nyawa. Ia tewas di desa Katang Lumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan). Peristiwa penyerangan itu terjadi pada 1172 tahun saka atau 1250 masehi. Pasca insiden itu, Ranggawuni dan Mahisa Campaka dinobatkan menjadi raja.

"Jika merujuk dari kedua sumber itu, di lokasi menjadi salah satu saksi perdamaian keturunan Tunggul Ametung dan Ken Arok. Padahal sebelumnya mereka (Ken Arok dan Tunggul Ametung) saling membunuh. Nah pada saat Wisnuwardhana dan Mahisa Campaka ini, keduanya bersatu memerintah Kerajaan Singasari setelah meninggal, abu sisa pembakaran didharmakan di sini," jelas Wicak.

Situs Kumitir, Saksi Bisu Bersatunya Cucu Ken Arok-Tunggul Ametung


Kendati demikian, Wicak menyebut jika cerita dalam Pararaton dan Negarakretagama yang ditulis pada saat Hayam Wuruk duduk di Singgasana Raja Majapahit itu belum bisa diketahui kebenarannya. Meski ia mengakui, dua kitab itu yang selama ini menjadi rujukan dalam mengungkap sejarah Kerajaan Majapahit. Sementara, dari ekskavasi yang dilakukan di Situs Kumitir, masih belum menyentuh ke titik yang diduga menjadi tempat pendharmaan itu.

"Ini mengacu pada Negarakretagama dan Pararaton, bahwa di sini tempat pendharmaan Mahisa Campaka dan Wisnuwardhana, tapi kita belum menemukan yang memperkuat itu. Kemungkinan (candi) memang menjadi lokasi pendharmaan. Letaknya kemungkinan di makam itu. Karena kita menemukan adanya batu antefik yang identik dengan bangunan sudut atap candi. Tapi kita belum ekskavasi yang itu," kata dia.

Menurut Wicak, ekskavasi selama 10 hari yang dilakukan BPCP Jatim dengan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCPM) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini hanya sebatas awal. Ekskavasi ini masih sebatas mengupas lapisan tanah bekas bajir lahar dingin yang menutupi struktur bata kuno atau talud yang dibangun pada masa Majapahit. Belum menjurus ke lapisan budaya yang terkandung di Situs Kumitir ini.

"Kami baru menarik talud, sehingga kami menemukan batasan dari situs kumitir ini sendiri. Luasannya kami belum tahu, tapi nanti sederhananya nanti kami tarik 300 x 300 meter persegi. Sebab untuk sudut di Barat Daya belum ditemukan. Kemudian kami akan merekontruksi seberapa bentangan cagar budayanya. Setelah itu akan kami laporkan ke Kemendikbud untuk bisa dilanjutkan ekskavasi tahun depan," pungkas Wicak.
(nth)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.4581 seconds (0.1#10.140)