Saung Agung, Kerajaan Terakhir di Tatar Sunda yang Ditaklukkan Cirebon
A
A
A
Wanayasa, sebuah kecamatan yang berada di sebelah timur Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, menyimpan segudang cerita dan peristiwa bersejarah termasuk keberadaan Kerajaan Saung Agung.
Meskipun tidak terlalu banyak data mengenai eksistensinya di masa lalu, Wanayasa yang terletak di lereng Gunung Burangrang menjadi saksi bisu terhadap berbagai momentum penting sejak zaman purba. Hal ini didasarkan kepada sumber-sumber tertulis di luar Wanayasa, yakni dua naskah kuno Carita Parahyangan dan Bujangga Manik. Satu lagi adalah Carita Parahyangan yang bersumber pada Naskah Pangeran Wangsakertadari Cirebon. Secara tersirat didukung pula oleh beberapa buku dan catatan yang menuturkan kisah seputar masa itu.
Salah seorang sejarawan yang juga budayawan Wanayasa Budi Tahayu Tamsah mengatakan, pada masa-masa akhir Kerajaan Sunda abad ke-16, di daerah Wanayasa sekarang diduga terdapat kerajaan bernama Saung Agung, dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati.
Secara etimologis, banaspati mengandung arti pohon atau ratu siluman di hutan. Sedangkan kata hyang mengandung arti sesuatu yang gaib atau dewa.
"Pendapat lain mengatakan Ratu Hyang atau Rahyang adalah tingkatan gelar dalam tatanan konsep kehidupan kepercayaan Sunda lama, yang setingkat lebih tinggi dari Datu Hiang atau Dahyang," ungkap Budi.
Ratu Hyang atau Rahyang setingkat lebih rendah dari Sanghyang. Diduga kuat, Ratu Hyang Banaspati merupakan gelar kehormatan, mungkin karena ketinggian ilmunya, bagi seorang raja dari sebuah kerajaan yang dikelilingi oleh hutan bernama Saung Agung. Yang jelas, hutan tersebut berada di kawasan atau kaki Gunung Burangrang, bukan di tempat lain. Hal ini karena pada bagian lain catatannya Bujangga Manik menyebutkan, Gunung Burangrang sebagai tanggeran (ciri tapal batas) wilayah Saung Agung.
Noorduyns, peneliti naskah kuno dari Belanda, mengidentifikasi Saung Agung berada di daerah Wanayasa sekarang. Carita Parahyangan menyebutkan, bahwa Saung Agung termasuk salah satu kerajaan wilayah yang menentang Prabu Surawisesa, penguasa Kerajaan Sunda saat itu, pengganti Prabu Jayadewata. Beberapa ahli mengidentifikasi Prabu Jayadewata ini sebagai Prabu Siliwangi.
Perlawanan Ratu Hyang Banaspati bersama 15 ratu wilayah Kerajaan Sunda lainnya bermula dari ketidaksetujuannya atas upaya persetujuan yang dilakukan Prabu Jayadewata dengan Portugis. Artinya, Kerajaan Saung Agung sudah ada pada masa Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi. Memang pada akhirnya Ratu Hyang Banaspati bersama dengan ke-15 ratu kerajaan wilayah lainnya dapat ditundukkan oleh Prabu Surawisesa.
"Tapi itu tidak berarti saat itu Kerajaan Saung Agung lenyap sama sekali. Pasalnya, setelah peristiwa tersebut didapat keterangan Kerajaan Saung merupakan kerajaan wilayah Tatar Sunda yang terakhir ditundukkan oleh Kerajaan Cirebon, kemudian namanya diganti menjadi Wanayasa sebagai reduplikasi dari nama daerah yang terdapat di Cirebon," jelasnya.
Penaklukan oleh Cirebon tidak semata-mata untuk menguasai apalagi menghancurleburkan suatu kerajaan atau wilayah. Namun juga sebagai bagian dari upaya untuk menyebarkan agama Islam. Bukan tidak mungkin pada saat itu sebagian penduduk Saung Agung sudah ada yang menganut agama Islam. Sebab, pada saat yang bersamaan di Sagalaherang sudah ada tokoh penyebar agama Islam dari Kerajaan Talaga, yakni Aria Wangsa Goparana. Sedangkan Kerajaan Talaga dapat ditaklukkan Cirebon serta sudah menjadi bagian wilayah Cirebon sekitar tahun 1630-an.
Diduga kuat penduduk Wanayasa yang berasal dari masa Kerajaan Saung Agung ini masih ada. Secara samar-samar jejaknya memang ada. Misalnya saja dengan adanya petilasan Batu Kasur di Cibeber (Kiarapedes), yang menurut keterangan masyarakat setempat dahulu adalah tempat pemujaan. Selain itu, juga ditemukan arca Nandi di sekitar Sungai Cilamaya.
Tempat penemuan arca Nandi secara administratif sekarang masuk ke wilayah Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang. Namun, jika melihat letak geografisnya, diduga daerah tersebut dahulu merupakan bagian, paling tidak bersinggungan dengan Kerajaan Saung Agung.
Meskipun tidak terlalu banyak data mengenai eksistensinya di masa lalu, Wanayasa yang terletak di lereng Gunung Burangrang menjadi saksi bisu terhadap berbagai momentum penting sejak zaman purba. Hal ini didasarkan kepada sumber-sumber tertulis di luar Wanayasa, yakni dua naskah kuno Carita Parahyangan dan Bujangga Manik. Satu lagi adalah Carita Parahyangan yang bersumber pada Naskah Pangeran Wangsakertadari Cirebon. Secara tersirat didukung pula oleh beberapa buku dan catatan yang menuturkan kisah seputar masa itu.
Salah seorang sejarawan yang juga budayawan Wanayasa Budi Tahayu Tamsah mengatakan, pada masa-masa akhir Kerajaan Sunda abad ke-16, di daerah Wanayasa sekarang diduga terdapat kerajaan bernama Saung Agung, dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati.
Secara etimologis, banaspati mengandung arti pohon atau ratu siluman di hutan. Sedangkan kata hyang mengandung arti sesuatu yang gaib atau dewa.
"Pendapat lain mengatakan Ratu Hyang atau Rahyang adalah tingkatan gelar dalam tatanan konsep kehidupan kepercayaan Sunda lama, yang setingkat lebih tinggi dari Datu Hiang atau Dahyang," ungkap Budi.
Ratu Hyang atau Rahyang setingkat lebih rendah dari Sanghyang. Diduga kuat, Ratu Hyang Banaspati merupakan gelar kehormatan, mungkin karena ketinggian ilmunya, bagi seorang raja dari sebuah kerajaan yang dikelilingi oleh hutan bernama Saung Agung. Yang jelas, hutan tersebut berada di kawasan atau kaki Gunung Burangrang, bukan di tempat lain. Hal ini karena pada bagian lain catatannya Bujangga Manik menyebutkan, Gunung Burangrang sebagai tanggeran (ciri tapal batas) wilayah Saung Agung.
Noorduyns, peneliti naskah kuno dari Belanda, mengidentifikasi Saung Agung berada di daerah Wanayasa sekarang. Carita Parahyangan menyebutkan, bahwa Saung Agung termasuk salah satu kerajaan wilayah yang menentang Prabu Surawisesa, penguasa Kerajaan Sunda saat itu, pengganti Prabu Jayadewata. Beberapa ahli mengidentifikasi Prabu Jayadewata ini sebagai Prabu Siliwangi.
Perlawanan Ratu Hyang Banaspati bersama 15 ratu wilayah Kerajaan Sunda lainnya bermula dari ketidaksetujuannya atas upaya persetujuan yang dilakukan Prabu Jayadewata dengan Portugis. Artinya, Kerajaan Saung Agung sudah ada pada masa Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi. Memang pada akhirnya Ratu Hyang Banaspati bersama dengan ke-15 ratu kerajaan wilayah lainnya dapat ditundukkan oleh Prabu Surawisesa.
"Tapi itu tidak berarti saat itu Kerajaan Saung Agung lenyap sama sekali. Pasalnya, setelah peristiwa tersebut didapat keterangan Kerajaan Saung merupakan kerajaan wilayah Tatar Sunda yang terakhir ditundukkan oleh Kerajaan Cirebon, kemudian namanya diganti menjadi Wanayasa sebagai reduplikasi dari nama daerah yang terdapat di Cirebon," jelasnya.
Penaklukan oleh Cirebon tidak semata-mata untuk menguasai apalagi menghancurleburkan suatu kerajaan atau wilayah. Namun juga sebagai bagian dari upaya untuk menyebarkan agama Islam. Bukan tidak mungkin pada saat itu sebagian penduduk Saung Agung sudah ada yang menganut agama Islam. Sebab, pada saat yang bersamaan di Sagalaherang sudah ada tokoh penyebar agama Islam dari Kerajaan Talaga, yakni Aria Wangsa Goparana. Sedangkan Kerajaan Talaga dapat ditaklukkan Cirebon serta sudah menjadi bagian wilayah Cirebon sekitar tahun 1630-an.
Diduga kuat penduduk Wanayasa yang berasal dari masa Kerajaan Saung Agung ini masih ada. Secara samar-samar jejaknya memang ada. Misalnya saja dengan adanya petilasan Batu Kasur di Cibeber (Kiarapedes), yang menurut keterangan masyarakat setempat dahulu adalah tempat pemujaan. Selain itu, juga ditemukan arca Nandi di sekitar Sungai Cilamaya.
Tempat penemuan arca Nandi secara administratif sekarang masuk ke wilayah Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang. Namun, jika melihat letak geografisnya, diduga daerah tersebut dahulu merupakan bagian, paling tidak bersinggungan dengan Kerajaan Saung Agung.
(zik)