Masjid Agung Karawang, Saksi Penyebaran Islam di Kota Lumbung Padi
A
A
A
KARAWANG - Masjid Agung Karawang yang terletak di Alun-alun kota Karawang sekarang berdiri megah dan merupakan bangunan bersejarah yang dimiliki kabupaten berjuluk Kota Lumbung Padi ini.
Bangunan masjid ini berbentuk joglo dengan bertiang utama (saka guru) empat. Sedangkan atapnya berbentuk limas bersusun tiga undak, mirip dengan Masjid Agung Cirebon atau Masjid Agung Demak.
Masjid yang didirkan tahun 1418 Masehi ini merupakan masjid paling tua di Pulau Jawa. Masjid Agung Karawang didirikan oleh Syekh Hasanudin bin Yusuf Sidik atau lebih dikenal sebagai Syeh Quro. Masjid ini menjadi pusat penyebaran Islam di Kabupaten Karawang dan sekitarnya.
Menurut keterangan Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Agung Karawang Acep Jamhuri, awalnya bangunan masjid yang didirikan oleh Syekh Quro ini luasnya hanya 9 x 9 meter. Namun, dalam perkembangannya bangunan ini mengalami beberapa kali perombakan hingga terakhir luas bangunan ini mencapai luas 2.230 meter.
Syekh Quro, kata Acep, tiba bersama rombongan sahabatnya, di antaranya adalah Syekh Abdurahman dan Syekh Maulana Darugem atau Syekh Gentong. Para ulama tersebut datang menggunakan perahu dagang melalui Sungai Citarum dan berhenti di pertemuan Sungai Cibeet dan Citarum, yang merupakan Pelabuhan Sundapura atau saat ini dikenal dengan Tanjungpura.
"Sungai Citarum dahulunya bisa dilewati kapal-kapal besar. Penjelajah Portugis menyebut Karawang ini sebagai Karavan karena antrean kapal-kapal besar. Syekh Quro berhenti di sana dan kemudian tidak jauh dari pelabuhan mendirikan Masjid Agung dan pesantren," katanya.
Saat dibangun, masjid ini berukuran 9x9 meter. Hingga saat ini sudah mengalami beberapa kali perombakan. Bentuk awalnya, menurut Acep, memiliki kesamaan dengan Masjid Agung Cirebon dan Demak yakni pada bangunan joglo bertiang utama (saka guru) empat dan bentuk atap limas bersusun tiga undak.
Dia menjelaskan, masjid ini pernah mengalami perombakan sebanyak tiga kali, di antaranya adalah pada zaman Bupati Adipati Singaperbangsa, Raden Mangku Tohir Mangkudijoyo, kemudian dibenahi kembali pada zaman Bupati Sumarno Suradi atas persetujuan para ulama dengan luas 2.230 meter.
"Insya Allah pada pemerintahan Bupati Cellica akan dibenahi ke depan, termasuk kompleks pemakamannya. Sehingga, nanti orang yang berdoa yang berziarah juga lebih representatif," sebutnya.
Acep mengatakan, di belakang Masjid Agung Karawang terdapat makam Syekh Quro dan makam Syekh Abdurahman yang sering diziarahi oleh masyarakat Karawang dan luar Karawang. Namun, hingga kini belum diketahui kebenarannya secara persis di mana Syekh Quro dimakamkan. Sebab, terdapat pula Makam Syekh Quro di Kampung Pulobata, Desa Pulokelapa, Kecamatan Lemahabang, Karawang.
"Memang belum jelas sebenarnya dimakamkannya di mana karena ada dua tempat makam Syekh Quro," katanya.
Bangunan masjid ini berbentuk joglo dengan bertiang utama (saka guru) empat. Sedangkan atapnya berbentuk limas bersusun tiga undak, mirip dengan Masjid Agung Cirebon atau Masjid Agung Demak.
Masjid yang didirkan tahun 1418 Masehi ini merupakan masjid paling tua di Pulau Jawa. Masjid Agung Karawang didirikan oleh Syekh Hasanudin bin Yusuf Sidik atau lebih dikenal sebagai Syeh Quro. Masjid ini menjadi pusat penyebaran Islam di Kabupaten Karawang dan sekitarnya.
Menurut keterangan Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Agung Karawang Acep Jamhuri, awalnya bangunan masjid yang didirikan oleh Syekh Quro ini luasnya hanya 9 x 9 meter. Namun, dalam perkembangannya bangunan ini mengalami beberapa kali perombakan hingga terakhir luas bangunan ini mencapai luas 2.230 meter.
Syekh Quro, kata Acep, tiba bersama rombongan sahabatnya, di antaranya adalah Syekh Abdurahman dan Syekh Maulana Darugem atau Syekh Gentong. Para ulama tersebut datang menggunakan perahu dagang melalui Sungai Citarum dan berhenti di pertemuan Sungai Cibeet dan Citarum, yang merupakan Pelabuhan Sundapura atau saat ini dikenal dengan Tanjungpura.
"Sungai Citarum dahulunya bisa dilewati kapal-kapal besar. Penjelajah Portugis menyebut Karawang ini sebagai Karavan karena antrean kapal-kapal besar. Syekh Quro berhenti di sana dan kemudian tidak jauh dari pelabuhan mendirikan Masjid Agung dan pesantren," katanya.
Saat dibangun, masjid ini berukuran 9x9 meter. Hingga saat ini sudah mengalami beberapa kali perombakan. Bentuk awalnya, menurut Acep, memiliki kesamaan dengan Masjid Agung Cirebon dan Demak yakni pada bangunan joglo bertiang utama (saka guru) empat dan bentuk atap limas bersusun tiga undak.
Dia menjelaskan, masjid ini pernah mengalami perombakan sebanyak tiga kali, di antaranya adalah pada zaman Bupati Adipati Singaperbangsa, Raden Mangku Tohir Mangkudijoyo, kemudian dibenahi kembali pada zaman Bupati Sumarno Suradi atas persetujuan para ulama dengan luas 2.230 meter.
"Insya Allah pada pemerintahan Bupati Cellica akan dibenahi ke depan, termasuk kompleks pemakamannya. Sehingga, nanti orang yang berdoa yang berziarah juga lebih representatif," sebutnya.
Acep mengatakan, di belakang Masjid Agung Karawang terdapat makam Syekh Quro dan makam Syekh Abdurahman yang sering diziarahi oleh masyarakat Karawang dan luar Karawang. Namun, hingga kini belum diketahui kebenarannya secara persis di mana Syekh Quro dimakamkan. Sebab, terdapat pula Makam Syekh Quro di Kampung Pulobata, Desa Pulokelapa, Kecamatan Lemahabang, Karawang.
"Memang belum jelas sebenarnya dimakamkannya di mana karena ada dua tempat makam Syekh Quro," katanya.
(zik)