Rumah Ambruk, Sukemi Tinggal di Bawah Pohon Pisang

Kamis, 11 September 2014 - 17:09 WIB
Rumah Ambruk, Sukemi Tinggal di Bawah Pohon Pisang
Rumah Ambruk, Sukemi Tinggal di Bawah Pohon Pisang
A A A
YOGYAKARTA - Malang dialami Sukemi, nenek kelahiran tahun 1957. Sudah dua minggu ini dia terpaksa tinggal di bawah pohon pisang, di Dusun Gunungbutak, RT06, Caturharjo, Pandak. Lantaran rumah bambu miliknya ambruk, pada Rabu 27 Agustus 2014.

Untuk menahan dingin, dia terpaksa mendirikan gedek (dinding dari bambu). Sedangkan untuk menahan panas dia memasang atap dari bekas karung pupuk urea yang dijahit jadi satu. Sebagai tiang, dia memakai bilah-bilah bambu yang masih tersisa.

Di tempat ini pula, segala aktivitasnya dilakukan. Mulai dari tidur, memasak, dan juga makan sehari-hari. Sampai kini, belum ada bantuan sama sekali baik dari masyarakat sekitar ataupun pemerintah setempat, untuk meringankan bebannya.

Padahal, dua adiknya tinggal di rumah yang berada di depannya. Dia mengaku, tidak enak jika harus mengganggu kehidupan rumah tangga dua adiknya, meski salah satu adiknya Sumarji, masih ikut makan masakannya.

"Saya itu enggak enak sama adik bungsu saya," ujarnya, kepada wartawan, Kamis (11/9/2014).

Dua adik lainnya, sebenarnya juga sudah menawarinya untuk tinggal di tempat mereka. Namun dia tetap tidak bersedia tinggal, karena tak ingin mengganggu kehidupan adik-adiknya yang juga tinggal bersama keluarga masing-masing.

Sukemi mengaku, sudah lama tinggal di rumah bambu. Bahkan sebelum gempa, rumah itu sudah berdiri. Karena dimakan usia, tiang-tiang kayu penyangganya dimakan rayap. Keadaan semakin parah, karena tiang rumahnya ditanam di dalam tanah.

Tiang penyangga rumah Sukemi makin habis dimakan rayap. Begitupun dengan dinding-dinding rumahnya, juga sudah banyak yang jebol kiri kanan. Dua minggu lalu, rumahnya ambruk sekitar pukul 09.00 WIB.

Beruntung, saat itu dia sedang berada di luar rumah, sedang mencari rumput untuk kambing milik adiknya. Saat itu, dia mendengar ada bunyi krengket-krengket, seolah bangunan mau roboh. "Saya berlari dan lihat rumah saya rata dengan tanah," ceritanya.

Sekarang, meski malam hari terasa dingin menusuk tulang dan siang hari panasnya sangat menyengat, sebagai imbas dari puncak musim kemarau, Sukemi tetap tinggal di bawah pohon. Sebab tidak memiliki biaya membangun rumah baru.

Untuk meminta anaknya, dia tak tega, karena ekonominya juga sangat sulit. Anak semata wayangnya ikut suami di Muntilan, dan bekerja sebagai buruh mencari pasir di sungai.

"Saya sudah merasa bahagia, anak saya sudah membelikan beberapa asbes yang nanti bisa digunakan untuk atap untuk membangun rumah. Tetapi saya ndak tahu, kapan bisa membangunnya," terangnya.

Sementara itu, Slamet, tetangga rumah Sukemi mengungkapkan, sudah bertahun-tahun Sukemi tinggal sendirian di gubuk tersebut. Untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari, dia menjadi buruh batik tulis disalah seorang pengusaha.

"Dia mendapat upah Rp17.000 untuk satu kain. Padahal, satu kain harus diselesaikan dalam waktu empat hari. Sebenarnya kasihan juga, tetapi kami juga orang tidak mampu," paparnya.

Ketua RT06 Dwijo mengaku, dirinya pernah berkunjung sekali ke rumah yang ambruk tersebut. Namun untuk memberikan bantuan, dirinya terbentur posisi Sukemi yang serba sulit.

Dalam kartu keluarga, Sukemi masih menjadi satu dengan adiknya Suwarji. Padahal, Suwarji sudah mendapatkan bantuan bedah rumah dari Kementrian Perumahan Rakyat. "Mbah Kemi statusnya itu janda dan jadi satu dengan adiknya. Jadi serba sulit," pungkasnya.

Meski demikian, dia belum melaporkan kejadian tersebut ke pemerintah desa setempat. Dia mengaku, akan melakukan koordinasi dengan warga setempat akhir pekan ini.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6899 seconds (0.1#10.140)