Duduki Tanah Keraton, 5 PKL Yogya Digugat Rp1,1 M

Selasa, 08 September 2015 - 04:35 WIB
Duduki Tanah Keraton, 5 PKL Yogya Digugat Rp1,1 M
Duduki Tanah Keraton, 5 PKL Yogya Digugat Rp1,1 M
A A A
YOGYAKARTA - Lima Pedagang Kaki Lima (PKL) yang biasa mengais rupiah di Pertigaan Gondomanan, Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta, digugat hukum perdata oleh Eka Aryawan, pemilik surat kekancing dari Keraton Yogyakarta dengan No 203/HT/KPK/2011.

Tak main-main, dalam gugatannya Eka meminta kelima PKL tersebut hengkang dari tempat usahanya, dan membayar denda sebesar Rp1,1 miliar. Kelima PKL nahas itu adalah Sugiyadi, Sutinah, Suwarni, Agung, dan Budi.

Dalam berjualan, para PKL itu hanya menempati tanah sekira 5x5 meter persegi di tanah pinggir jalan. Jualan itu sudah dilakukan sejak tahun 1960. Mereka mengakui, tanah tersebut bukan milik pribadi, tapi tanah Magersari milik pihak Panitikismo Keraton Yogyakarta.

"Saya enggak akan bayar dan enggak mampu bayar uang segitu banyak. Disuruh pergi juga enggak mau, sudah sejak dulu ditempati kok, disuruh pergi begitu saja," kata Budi, salah seorang PKL, Senin (7/9/2015).

Budi yang dalam kesehariannya bekerja membuat duplikat kunci mengaku kaget saat menerima pangilan sidang di PN Kota Yogyakarta, pada 20 Agustus 2015. Begitu juga PKL yang lain. Mereka akhirnya meminta bantuan hukum ke LBH Yogyakarta.

Divisi Ekonomi, Sosial, dan Budaya LBH Yogyakarta Ikhwan Sapta Nugraha menyayangkan sikap kraton yang secara sepihak mengeluarkan surat kekancing tanpa memperhatikan kondisi riel di lapangan. Pihaknya juga berharap penggugat (Eka Aryawan) mencabut gugatannya.

"Kami minta Eka Aryawan untuk patuh pada kesepakatan yang telah dibuat tanggal 13 Februari 2013 silam, karena dalam kesepakatan itu tanah yang ditempati lima PKL ini tidak masuk dalam surat kekancing," kata Ikhwan.

Tak hanya itu, LBH Yogyakarta juga menyayangkan pihak Keraton Yogyakarta yang membiarkan pemegang kekancing menyelesaikan masalah ke jalur hukum. Gugatan ini, terkesan tidak bermartabat dan tidak menjunjung tinggi kemanusiaan seperti upaya penggusaran paksa.

Berdasarkan informasi terhimpun, kasus ini bermula pada tahun 2012 lalu, saat kelima PKL diminta pergi oleh Eka Aryawan. Mereka sering didatangi orang tak dikenal yang menunjukan fotokopi surat kekancing dari Keraton Yogyakarta.

Namun, kelima PKL ini tidak mau pergi. Alasannya, mereka jauh hari sudah menempati tanah tersebut untuk usaha kecil-kecilan. Selain itu, luas tanah dalam kekancing tidak termasuk tanah yang dipergunakan kelima PKL ini.

"Kami pernah menyurati pihak Panitikismo Keraton, intinya kami berpendapat bagaimanapun tanah memiliki fungsi sosial dan juga harus mempertimbangkan perlindungan bagi ekonomi lemah," sambung Ikhwan.

Pada tahun 2013, kedua belah pihak telah menyepakati untuk mengukur ulang tanah, pada 13 Februari. Akhirnya, diperoleh kesepakatan bahwa PKL harus geser di luar tanah kekancing. Saat itu, kedua belah pihak sepakat saling menjaga satu sama lain.

Hanya saja, dua tahun berjalan pihak Eka justru melayangkan somasi agar kelima PKL pergi. Alasannya, tanah yang ditempati kelima PKL ini masuk dalam surat kekancing yang diperolehnya dari Keraton Yogyakarta.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6251 seconds (0.1#10.140)