Sipon Dimakamkan di Solo, Keluarga: 25 Tahun Perjuangkan Keadilan untuk Wiji Thukul
loading...
A
A
A
SOLO - Istri penyair dan aktivis HAM Wiji Thukul, Dyah Sujirah atau Sipon (55) telah dimakamkan di Astana Purwoloyo, Pucang Sawit, Solo, Jumat (6/1/2022). Para pelayat yang hadir turut mengantar Sipon ke peristirahatan terakhirnya.
Sebelum dimakamkan, jenazah Sipon disalatkan terlebih dahulu di Masjid Al Anshor, Kampung Kalangan, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Jebres.
Adik Wiji Thukul, Wahyu Susilo saat ditemui di rumah duka menilai Sipon adalah seorang perempuan teguh. Sipon selama 25 tahun terus memperjuangkan keadilan bagi suaminya, Wiji Thukul.
"Saya kira dia sampai akhir hayatnya ngga menyerah. Dia bukan istri aktivis tapi dia aktivis itu sendiri. Kalau di puisi Thukul ada judulnya ketika jenderal marah marah. Thukul mengakui bahwa analisisnya mba Pon mengenai situasi terkini. Sehingga Thukul harus melarikan diri, memperlihatkan bahwa mba Pon itu bukan istri aktivis tapi dia aktivis itu sendiri," ujarnya.
Wahyu Susilo pun berharap agar semangat untuk mencari keadilan tetap dilanjutkan.
"Mba Pon sudah tidak ada, tapi semangat untuk mencari keadilan kepastian Wiji Thukul dan korban-korban orang hilang itu akan tetap kami lanjutkan," katanya.
Wahyu menerangkan, jika perjuangan mendapatkan keadilan itu dapat dilakukan dengan banyak jalan. Semisal melalui tim yudisial pemerintah yang tugasnya untuk menyelesaikan persoalan HAM.
"Saya kira ini menjadi pelajaran juga bagi mereka. Bahwa mengedepankan kebutuhan korban itu urgent. Karena banyak korban- korban menanti keadilan. Sampai tidak bisa menikmati apa yang harusnya dia dapatkan. Ya dari proses penegakan HAM ini sendiri," bebernya.
Wahyu juga berharap anak-anak Sipon mulai dari Wani dan Fajar dapat melanjutkan apa yang selama ini disuarakan.
"Mba Pon itu menjadi inisiatif dari keluarga korban untuk mencari kepastian orang hilang. Dia aktif di IKOHI, ikatan orang hilang Indonesia. Dialah yang juga mendorong Komnas HAM. Kemudian menerbitkan sertifikat korban pelanggaran HAM. Terutama untuk orang-orang yang hilang, karena banyak orang hilang," ujarnya.
Fajar dan Wani yang dulu kesulitan mengurus dokumen-dokumen. Karena ketidakadilan kejelasan nasib orang tuanya, juga dapat diperjuangkan oleh Sipon.
"Mba Pon memperjuangkan adanya sertifikat atau surat keterangan korban pelanggaran ham yang kemudian itu dikeluarkan oleh Komnas HAM. Itu kemudian menjadi preseden untuk korban-korban yang lain. Inilah yang membuktikan bahwa mba Pon sendiri adalah seorang pejuang HAM," pungkasnya.
Sebelum dimakamkan, jenazah Sipon disalatkan terlebih dahulu di Masjid Al Anshor, Kampung Kalangan, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Jebres.
Adik Wiji Thukul, Wahyu Susilo saat ditemui di rumah duka menilai Sipon adalah seorang perempuan teguh. Sipon selama 25 tahun terus memperjuangkan keadilan bagi suaminya, Wiji Thukul.
"Saya kira dia sampai akhir hayatnya ngga menyerah. Dia bukan istri aktivis tapi dia aktivis itu sendiri. Kalau di puisi Thukul ada judulnya ketika jenderal marah marah. Thukul mengakui bahwa analisisnya mba Pon mengenai situasi terkini. Sehingga Thukul harus melarikan diri, memperlihatkan bahwa mba Pon itu bukan istri aktivis tapi dia aktivis itu sendiri," ujarnya.
Wahyu Susilo pun berharap agar semangat untuk mencari keadilan tetap dilanjutkan.
"Mba Pon sudah tidak ada, tapi semangat untuk mencari keadilan kepastian Wiji Thukul dan korban-korban orang hilang itu akan tetap kami lanjutkan," katanya.
Baca Juga
Wahyu menerangkan, jika perjuangan mendapatkan keadilan itu dapat dilakukan dengan banyak jalan. Semisal melalui tim yudisial pemerintah yang tugasnya untuk menyelesaikan persoalan HAM.
"Saya kira ini menjadi pelajaran juga bagi mereka. Bahwa mengedepankan kebutuhan korban itu urgent. Karena banyak korban- korban menanti keadilan. Sampai tidak bisa menikmati apa yang harusnya dia dapatkan. Ya dari proses penegakan HAM ini sendiri," bebernya.
Wahyu juga berharap anak-anak Sipon mulai dari Wani dan Fajar dapat melanjutkan apa yang selama ini disuarakan.
"Mba Pon itu menjadi inisiatif dari keluarga korban untuk mencari kepastian orang hilang. Dia aktif di IKOHI, ikatan orang hilang Indonesia. Dialah yang juga mendorong Komnas HAM. Kemudian menerbitkan sertifikat korban pelanggaran HAM. Terutama untuk orang-orang yang hilang, karena banyak orang hilang," ujarnya.
Fajar dan Wani yang dulu kesulitan mengurus dokumen-dokumen. Karena ketidakadilan kejelasan nasib orang tuanya, juga dapat diperjuangkan oleh Sipon.
"Mba Pon memperjuangkan adanya sertifikat atau surat keterangan korban pelanggaran ham yang kemudian itu dikeluarkan oleh Komnas HAM. Itu kemudian menjadi preseden untuk korban-korban yang lain. Inilah yang membuktikan bahwa mba Pon sendiri adalah seorang pejuang HAM," pungkasnya.
(shf)