Lonjakan COVID-19 di Jabar Bakal Terus Terjadi hingga Agustus
loading...
A
A
A
BANDUNG - Pakar epidemiologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Bony Wiem Lestari memprediksi, peningkatan kasus positif COVID-19 di Provinsi Jabar bakal terus terjadi setidaknya hingga satu bulan ke depan.
Menurut Bony, rendahnya kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol pencegahan COVID-19 di tengah penerapan adaptasi kebiasaan baru (AKB) atau new normal saat ini menjadi faktor utama penyebab naiknya peningkatan kasus COVID-19. (BACA JUGA: Rapid Test Peserta-Panitia UTBK SBMPTN di Unpad, 5 Orang Reaktif )
Oleh karenanya, Bony mengimbau masyarakat kembali mendisiplinkan diri menerapkan protokol pencegahan COVID-19. Pasalnya, masyarakat adalah garda terdepan dalam perang melawan COVID-19. "Banyak bukti ilmiah bahwa memakai masker dan jaga jarak dapat mencegah penularan,"kata Bony, Sabtu (11/7/2020). (BACA JUGA: Klaster Secapa AD Ditemukan Berawal dari Perwira Siswa Sakit Bisul )
Staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unpad itu melanjutkan, para pakar di Jabar pun sebelumnya telah memprediksi lonjakan kasus bakal terjadi. (BACA JUGA: Menhan Prabowo Minta Prajurit TNI Tes COVID, KSAD: Bagus Sekali )
"Sekarang kasus positif di Jabar 4.951, bertambah 105 orang. Tidak beda jauh dengan estimasi kami di angka 5.000 kasus positif," ungkapnya.
Bony juga mengatakan, masyarakat seharusnya membaca secara bijak data kasus COVID-19 yang tersaji, agar tidak ada misperspsi dan salah menyikapi. Menurutnya, ada tiga kemungkinan penyebab dari data yang tersaji.
"Pertama, laju infeksi memang sedang terjadi. Prediksi kami menunjukkan satu bulan ke depan masih akan naik," ungkapnya.
Kedua, efek peningkatan tes masif mengingat saat ini Jabar sedang mengejar target tes PCR 1 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 500.000 sesuai standar WHO.
"Sekarang (tes PCR) mungkin di 88.000 (tes). Makin banyak yang dites, makin banyak temuan positif, makin bagus untuk pelacakan," terang Bony.
Ketiga, pelimpahan administrasi. Dia menjelaskan, Jabar berpotensi menerima limpahan kasus dari provinsi lain. Artinya, warga tertular di provinsi lain, namun karena ber-KTP Jabar, maka dihitung sebagai kasus warga Jabar.
"Kita juga menerima limpahan kasus dari provinsi lain," imbuh Bony.
Lebih lanjut Bony mengatakan, para pakar sebetulnya kesulitan menentukan kurva penularan, apakah Indonesia saat ini telah melewati gelombang pertama COVID-19 atau belum.
Dia menerangkan, syarat untuk menentukan kurva adalah kapasitas tes masif yang baik. Di awal wabah terjadi, kata Bony, tes masif belum sebaik seperti saat ini.
"Sebenarnya agak sulit menentukan kurva apakah kita masih first wave (gelombang pertama) atau menyongsong second wave (gelombang kedua)," akunya.
Dalam situasi seperti itu, Bony merekomendasikan beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah daerah (pemda). Pertama, pemda harus memastikan institusi atau organisasi di bawahnya lebih rajin turun ke lapangan mengecek ventilasi udara berfungsi baik serta melakukan disinfeksi alat pendingin udara (AC) baik di kantor, pabrik, bioskop, mal, pesantren, asrama, dan tempat-tempat berisiko tinggi lainnya.
"Ada wabah yang sumbernya dari AC, itu sempat outbreak di Amerika. Jadi, radang pernapasan akut ternyata sumbernya adalah AC. Jadi harus lebih sering bersih-bersih," katanya.
Kedua, pemda harus menyediakan sistem pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia (SDM) yang memadai dal mengantisipasi ledakan pasien.
"Kalau ada peningkatan kasus dan misalnya semua harus dirawat, apakah tempat tidur di rumah sakit dan tenaga medis cukup? Ini harus disiapkan pemerintah," ujarnya.
Pemda juga perlu memperkuat edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menerapkan protokol kesehatan. Menurut Bony, betapa pun pemerintah mewajibkan, tapi kalau masyarakatnya tidak patuh, tetap akan sulit berjalan.
"Ini momen kita introspeksi, apakah sudah menerapkan protokol kesehatan dengan baik. Saling mengingatkan satu sama lain karena dengan itu kita bisa kuat," tandas Bony.
Menurut Bony, rendahnya kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol pencegahan COVID-19 di tengah penerapan adaptasi kebiasaan baru (AKB) atau new normal saat ini menjadi faktor utama penyebab naiknya peningkatan kasus COVID-19. (BACA JUGA: Rapid Test Peserta-Panitia UTBK SBMPTN di Unpad, 5 Orang Reaktif )
Oleh karenanya, Bony mengimbau masyarakat kembali mendisiplinkan diri menerapkan protokol pencegahan COVID-19. Pasalnya, masyarakat adalah garda terdepan dalam perang melawan COVID-19. "Banyak bukti ilmiah bahwa memakai masker dan jaga jarak dapat mencegah penularan,"kata Bony, Sabtu (11/7/2020). (BACA JUGA: Klaster Secapa AD Ditemukan Berawal dari Perwira Siswa Sakit Bisul )
Staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unpad itu melanjutkan, para pakar di Jabar pun sebelumnya telah memprediksi lonjakan kasus bakal terjadi. (BACA JUGA: Menhan Prabowo Minta Prajurit TNI Tes COVID, KSAD: Bagus Sekali )
"Sekarang kasus positif di Jabar 4.951, bertambah 105 orang. Tidak beda jauh dengan estimasi kami di angka 5.000 kasus positif," ungkapnya.
Bony juga mengatakan, masyarakat seharusnya membaca secara bijak data kasus COVID-19 yang tersaji, agar tidak ada misperspsi dan salah menyikapi. Menurutnya, ada tiga kemungkinan penyebab dari data yang tersaji.
"Pertama, laju infeksi memang sedang terjadi. Prediksi kami menunjukkan satu bulan ke depan masih akan naik," ungkapnya.
Kedua, efek peningkatan tes masif mengingat saat ini Jabar sedang mengejar target tes PCR 1 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 500.000 sesuai standar WHO.
"Sekarang (tes PCR) mungkin di 88.000 (tes). Makin banyak yang dites, makin banyak temuan positif, makin bagus untuk pelacakan," terang Bony.
Ketiga, pelimpahan administrasi. Dia menjelaskan, Jabar berpotensi menerima limpahan kasus dari provinsi lain. Artinya, warga tertular di provinsi lain, namun karena ber-KTP Jabar, maka dihitung sebagai kasus warga Jabar.
"Kita juga menerima limpahan kasus dari provinsi lain," imbuh Bony.
Lebih lanjut Bony mengatakan, para pakar sebetulnya kesulitan menentukan kurva penularan, apakah Indonesia saat ini telah melewati gelombang pertama COVID-19 atau belum.
Dia menerangkan, syarat untuk menentukan kurva adalah kapasitas tes masif yang baik. Di awal wabah terjadi, kata Bony, tes masif belum sebaik seperti saat ini.
"Sebenarnya agak sulit menentukan kurva apakah kita masih first wave (gelombang pertama) atau menyongsong second wave (gelombang kedua)," akunya.
Dalam situasi seperti itu, Bony merekomendasikan beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah daerah (pemda). Pertama, pemda harus memastikan institusi atau organisasi di bawahnya lebih rajin turun ke lapangan mengecek ventilasi udara berfungsi baik serta melakukan disinfeksi alat pendingin udara (AC) baik di kantor, pabrik, bioskop, mal, pesantren, asrama, dan tempat-tempat berisiko tinggi lainnya.
"Ada wabah yang sumbernya dari AC, itu sempat outbreak di Amerika. Jadi, radang pernapasan akut ternyata sumbernya adalah AC. Jadi harus lebih sering bersih-bersih," katanya.
Kedua, pemda harus menyediakan sistem pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia (SDM) yang memadai dal mengantisipasi ledakan pasien.
"Kalau ada peningkatan kasus dan misalnya semua harus dirawat, apakah tempat tidur di rumah sakit dan tenaga medis cukup? Ini harus disiapkan pemerintah," ujarnya.
Pemda juga perlu memperkuat edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menerapkan protokol kesehatan. Menurut Bony, betapa pun pemerintah mewajibkan, tapi kalau masyarakatnya tidak patuh, tetap akan sulit berjalan.
"Ini momen kita introspeksi, apakah sudah menerapkan protokol kesehatan dengan baik. Saling mengingatkan satu sama lain karena dengan itu kita bisa kuat," tandas Bony.
(awd)