Ujaran Kebencian di Medsos Makin Memprihatinkan, Guru Besar Unpad Usulkan Kamus Hate Speech

Rabu, 28 Desember 2022 - 14:45 WIB
loading...
Ujaran Kebencian di...
Guru Besar Fikom Unpad Atwar Bajari
A A A
BANDUNG - Guru besar Universitas Padjadjaran (Unpad) mengusulkan adanya kamus hate speech untuk membatasi ikatan kebencian di media sosial. Kamus tersebut diharapkan bisa membantu penegak hukum untuk meminimalisir perseteruan antar kelompok atau individu di media sosial.

Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad Atwar Bajari mengatakan, usai pilpres 2019 fenomena ujaran kebencian yang dikaitkan dengan bergesernya karakter kebangsaan Indonesia terus terjadi. Pihaknya kemudian melakukan riset dan berhasil mengkategorikan jenis, cluster, dan tipologi ujaran kebencian di Indonesia.

Menurutnya, ujaran kebencian bisa menimbulkan perubahan sikap, salah satunya karakter kebangsaan yang semakin menurun. Padahal, kebebasan berekspresi di ruang virtual bukan berarti bisa menghakimi, menilai, bahkan menghina seseorang dengan seenaknya.

“Saya mempresentasikan soal ujaran kebencian, cluster ujaran kebencian, tipologi sampai pada jenisnya. Kalau ujaran kan frasa (sebagai) kata kuncinya, frasa kunci yang banyak dipakai,” ujar Atwar pada Podcast Hardtalk, Hasil Riset & Inovasi Unpad dalam siaran persnya, Rabu (28/12/2022).

Baca juga: 5 Hari Nataru, 66.224 Penumpang Berangkat dari Stasiun Kereta di Bandung

Kadangkala, lanjutnya, ujaran kebencian itu tidak semata-mata akibat perilaku publik yang tidak santun. Kita sebagai citizen, lanjutnya, sering dipancing oleh elit politik yang kemudian menimbulkan reaksi publik secara emosional.

“Kan banyak elit politik yang menggunakan agama, selalu menebar frasa sebagai penanda ujaran kebencian untuk memancing respon di sosial media. Apakah salah publik jika mereka merespons balik dengan cara yang lebih vulgar, untuk melampiaskan emosinya?,” tanyanya.

Lebih jauh, dia menjelaskan hasil penelitiannya menunjukkan pernyataan santun para elit pun berpotensi memicu munculnya ujaran kebencian. “Jangankan statement yang kasar dari para tokoh/elit, statement yang santun pun seringkali memicu terjadinya ujaran kebencian. Statement ini netral dalam kategori riset saya, tapi kenapa bisa ada 17% atau bahkan sampai 20% konten-konten di dalamnya yang mengandung frasa ujaran kebencian?”

Dalam penelitiannya, Atwar memberi beberapa indikator terkait perbedaan ketidaksopanan dengan ujaran kebencian. Hal ini terkait laporan Digital Civility Index (DCI) pada 2020, yang menunjukkan Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara paling tidak sopan di ruang sosial media se-Asia Tenggara.

Hasil penelitian menunjukkan tidak selamanya perilaku tidak sopan di sosial media ditunjukkan oleh adanya ujaran kebencian. Terdapat perbedaan definisi ujaran kebencian dengan ketidaksopanan.

“Ketidaksopanan itu ada beberapa indikator, ada sekitar enam atau tujuh indikator. Misalkan kita menyebut gender laki-laki atau perempuan dengan sebutan tertentu, apakah berorientasi seksual atau non seksual, itu sudah tidak sopan kalau menggunakan DCI (Digital Civility Index). Tetapi, kalau di ujaran kebencian harus ada lanjutannya sejauh dia memperlakukan dan menghina. Unsur menghina berbau seks/kekerasan secara verbal dan menyinggung komunitas perempuan barulah masuk kepada ranah ujaran kebencian,” jelasnya.

Berdasarkan riset ini, menurut Atwar, sejatinya kita bisa mengambil pelajaran bahwa penanganan ujaran kebencian bukan semata-mata penegakan hukum. Tapi, lanjutnya, berkaitan dengan cara kita menata komunikasi dengan baik, berkomunikasi dengan memelihara etika dan estetika. “Sebaiknya kita sebagai insan komunikasi harus berpikir bahwa menjalankan komunikasi yang baik itu adalah kewajiban semua pihak.”

Atwar berharap riset yang telah dilakukan ini dapat dikembangkan menjadi sebuah aplikasi kamus hate speech. Dia mengaku telah merancang sejumlah langkah untuk menyusun aplikasi kamus hate speech. Langkah yang dimaksud antara lain mengumpulkan dan mengklasifikasikan ujaran-ujaran kebencian, serta mengumpulkan kata kerja paling dominan.

“Kamus ini tidak berupa buku seperti kamus konvensional. Kamus ini menjadi merupakan pedoman ketika meng-entry ke dalam system, memerintahkan teknologi untuk mengidentifikasi frasa tertentu tergolong pada ujaran kebencian. Jadi harus menginventarisasi kata-kata yang menunjukan ujaran kebencian atau tidak, itulah yang saya sebut kamus,” tuturnya.

Dia mengaku saat ini membutuhkan beberapa keahlian terkait diantaranya keahlian linguistik dan IT. “Saya membutuhkan satu keahlian, hubungan antara orang linguistik dengan orang IT supaya bisa menyusun kamus ujaran kebencian berbasis kultur di Indonesia. Karena produk membaca IT itu kan hanya perangkat teknologi, dia gak sensitif langsung membaca ini hate speech, ini bukan. Kita entry (secara) manual untuk menghindari kesalahan logic,” tutur Atwar.

Menurutnya aplikasi sejenis ini sudah ada di beberapa negara, namun kualitasnya masih terbatas. “Memang sudah ada tapi populasinya terbatas. Misalnya hanya bisa membaca 500-1000 percakapan. Kalau saya ingin jutaan percakapan seperti orang menggunakan Social Network Analysis (SNA),” ujarnya.

Atwar optimis aplikasi kamus hate speech berpeluang membantu kinerja para penegak hukum. Menurutnya, penegakan aturan harus terus dikawal, apalagi melihat publik yang semakin terbiasa dalam menggunakan dan merespons ujaran kebencian
(msd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1837 seconds (0.1#10.140)