Perebutan Tahta saat Portugis Belum Diusir, Kerajaan Demak Runtuh
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pertikaian merebut tahta menjadi salah satu faktor kerjaan- kerajaan Nusantara lemah menghadapi kekuatan asing seperti Portugis. Kelemahan yang sama terjadi pada kerajaan Demak .
Kerajaan yang berdiri pada 1482 dengan ibu kota di Bintoro, Demak, Jawa Tengah itu, sejatinya cukup kuat, kalau saja nafsu saling sikat untuk merebut kekuasaan, dikendalikan. Terbukti pada satu masa, di eraPati Unus, Demak mampu menunjukkan kekuatan angakat perangnya. Disebutkan bahwa Pagi Unus beberapa kali mengirim armada pasukan ke Selat Malaka hinnga menghalau Portugis dari Malaka.
Setelah itu, cerita kegemilangan armada perang Demak seolah sirna. Portugis belum, benar-benar terusir dari Selat Malaka, kerajaan Demak sibuk dengan perang merebut kekuasaan. Kerajaan atau Kasultanan Islam Demak yang berdiri pasca Kerajaan Majapahit itu pun runtuh.
Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah pada 1482. Hanya mampu bertahan tidak lebih dari satu abad. Setelah sempat memindahkan ibu kota Demak ke Pajang oleh Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir dankemudian menjadi Kerajaan Pajang.
Namun Kerajaan Pajang juga tidak bertahan lama, kemudian runtuh setelah pengaruh Kerajaan Mataram pada 1582 semaki kuat. Meski tidak sampai seabad, namun Demak tercacat dalam sejarah sebagai kerajaan yang culup menggangu kenyamanan Portugis di Selat Malaka.
Misalnya, pada 1527, Demak pernah menyerang Sunda Kelapa. Adipati Unus atau Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) yang memimpin Demak setelah Raden Patah wafat pada 1518.
Langkah Pati Unus membawa perubahan besar bagi Demak yaitu kerajaan maritim dengan armada yang disegani. Portugis sempat diusir Pati Unis dengan pasukannya. Sayangnya, kekuasan Pati Unus hanya berlangsung tiga tahun. Kekuasaan Demak kemudian dilanjutkan oleh Sultan Trenggana.
Suksesor Trenggana melanjutkan politik ekspansi pendahulunya. Trenggana mengerahkan ribuan pasukan Demak di bawah komando Fatahillah menyerbu Sunda Kelapa yang saat itu dikuasai Portugis.
Trenggana terbilang sukses merebut Sunda Kelapa dan mengusir penjajah Portugis hingga bangsa asing itu terdesak mundur ke pedalaman. Pelabuhan Sunda Kelapa kemudian berubah sebutan menjadi Jayakarta.
Politik ekspansi terus berlanjut. Trenggana bergerak ke Pulau Sumatera, menguasai wilayah Palembang dan Jambi. Sayangnya, baru saja wilayah itu dikuasai, Sultan Trenggana wafat usai terbunuh dalam perang Panarukan pada 1546.
Pasca wafatnya, tanda-tanda kehancuran sudah di depan mata. Sebab konflik saudara memperebutkan kekuasan Demak bermunculan tak terelakan.Dua sosok kuat muncul saling saling bertikai, yakni anak Trenggono, Sunan Prawoto dan Arya Penangsang anak dari Pangeran Sekar Ing Seda Lepen, adik tiri Sultan Trenggono.
Pangeran Sekar Ing Seda Lepen sebelumnya dibunuh oleh Sunan Prawoto ketika membantu Sultan Trenggana merebut tahta Demak. Dikutip dari buku "Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia" karya Binuko Amarseto, disebutkan dendam kesumat Arya Penangsang mendidih.
Pasalnya, Pangeran Sekar Ing Seda Lepen ayahnya, dibunuh secara tragis oleh Sunan Prawoto. Arya Penangsang yang didukung gurunya, Sunan Kudus untuk merebut takhta Demak kemudian berniat balas dendam.Arya Penangsang lalu bersiasat dengan mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya.
Dalam Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa pada 1549 Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto. Pada malam itu, Sunan Prawoto mengakui kesalahannya telah membunuh Pangeran Seda Lepen.
Dia rela dihukum mati asalkan keluarganya tidak diapa-apakan. Usai mendengar penjelasan tersebut Rangkud lalu menusuk dada Sunan Prawoto yang pasrah tanpa perlawanan sampai tembus ke belakang. Celakanya, ternyata istri Sunan Prawoto sedang berlindung di balik punggung suaminya.
Akibatnya istri Sunan Prawoto pun tewas terkena tusukan dari Rangkud. Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawoto marah dan dengan sisa tenaganya ia membunuh Rangkud.
Belum puas. Usai berhasil membunuh Sunan Prawoto, Arya Penangsang juga membunuh Adipati Jepara, Sultan Hadlirin yang sangat besar pengaruhnya di Kerajaan Demak.
Pangeran Hadiri dibunuh karena diduga sebagai penghalang Arya Penangsang untuk menjadi Sultan Demak. Setelah berhasil membunuh Sultan Prawoto dan pengikutnya, naiklah Arya Penangsang ke tahta kerajaan Demak.
Pembunuhan itu menimbulkan babak baru dendam kesumat. Istri Sultan Hadlirin yaitu Ratu Kalinyamat membuat sayembara. Insinya, “Siapa saja yang bisa membunuh Arya Penangsang, akan menjadi suamiku dan mendapatkan harta bendaku”.
Sayembara itu didengar oleh Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya yang saat itu berkuasa di Pajang. Jaka Tingkir yang pernah menjadi prajurit Demak menyanggupi untuk membunuh Arya Penangsang.
Jaka Tingkir sendiri merupakan adik ipar dari Sunan Prawoto dan Ratu Kalinyamat yang dibunuh oleh kaki tangan Arya Penangsang. Jaka Tingkir bersama Ki Ageng Penjawi dan Ki Ageng Pemanahan akhirnya berhasil membunuh Arya Penangsang dan merebut kekuasan Kerajaan Demak.
Karena membantu dalam pertempuran melawan Arya Penangsang, Jaka Tingkir memberi hadiah Ki Ageng Penjawi berupa tanah di wilayah Pati. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan mendapat hadiah tanah wilayah Mataram.
Sementara Bupati Surabaya yang banyak menundukkan daerah-daerah wilayah Jawa Timur diangkat menjadi wakil raja dengan daerah kekuasaan Sedayu, Gresik, Surabaya dan Panarukan.
Jaka Tingkir lalu memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang. Tak hanya itu, putra Ki Ageng Pemanahan bernama Sutawijaya yang berhasil mengalahkan Arya Penangsang kemudian diangkat sebagai anak angkat Sultan Hadiwijaya dan menjadi saudara Pangeran Benawa yang merupakan putera mahkota Kesultanan Pajang.
Ki Ageng Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang bersaing dengan Pajang.
Setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal pada tahun 1575 kekuasaan atas Mentaok atau Mataram digantikan putranya, Sutawijaya yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar.Suatu hari, Raden Pabelan yang menjadi keponakan Sutawijaya akan dihukum mati karena kedapatan menyelinap ke Keputren.
Hal itu ia lakukan untuk bertemu dengan Ratu Sekar Kedaton atau putri bungsu Sultan Hadiwijaya. Sultan Hadiwijaya pun merasa disepelekan hingga akhirnya Raden Pabelan ditangkap dan dihukum mati.
Kondisi makin memanas setelah Sutawijaya yang menguasai Mataram sudah lama tidak sowan kepada ayah angkatnya Sultan Hadiwijaya.
Kasultanan Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya bersiap menyerang Mataram dengan ibu kota di Kotagege (kawasan Jogjakarta) karena dianggap makar. Perang antara Kasultanan Pajang dan Mataram tidak bisa dihindarkan. Sultan Hadiwijaya naik gajah memimpin pasukannya menyerbu Mataram.
Saat perang terjadi, tiba-tiba Gunung Merapi yang letaknya tidak jauh dari posisi mereka, meletus. Laharnya turun menerjang melewati Sungai Opak dan menghantam tenda-tenda milik prajurit Kerajaan Pajang.
Banyak prajurit Sultan Hadiwijaya yang menjadi korban letusan Gunung Merapi. Melihat hal itu, Sultah Hadiwijaya atau Jaka Tingkir menarik mundur para pasukannya.
Dalam perjalanan pulang ke Pajang, Sultan Hadiwijaya mampir ke makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat, Klaten. Anehnya, gerbang makam tersebut tidak bisa dibuka. Karena kejadian itu, Sultan Hadiwijaya merasa ajalnya sebentar lagi.
Ternyata hal itu terbukti saat Sultan Hadiwijaya terjatuh dari gajah yang ditumpanginya. Setelah kejadian itu kesehatan Sultan Hadiwijaya menurun. Sultan Hadiwijaya memanggil anak-anaknya, termasuk Pangeran Benowo.
Sultan Hadiwijaya berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak menaruh dendam kepada Sutawijaya atau Panembahan Senapati. Sebab Sutawijaya merupakan anak angkat dari Sultan Hadiwijaya. Tak lama kemudian, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir wafat dan dimakamkan di Desa Butuh, Sragen, Jawa Tengah. Kekuasaan Demak dan Pajang pun tamat, digantikan Kerajaan Mataram.
Kerajaan yang berdiri pada 1482 dengan ibu kota di Bintoro, Demak, Jawa Tengah itu, sejatinya cukup kuat, kalau saja nafsu saling sikat untuk merebut kekuasaan, dikendalikan. Terbukti pada satu masa, di eraPati Unus, Demak mampu menunjukkan kekuatan angakat perangnya. Disebutkan bahwa Pagi Unus beberapa kali mengirim armada pasukan ke Selat Malaka hinnga menghalau Portugis dari Malaka.
Setelah itu, cerita kegemilangan armada perang Demak seolah sirna. Portugis belum, benar-benar terusir dari Selat Malaka, kerajaan Demak sibuk dengan perang merebut kekuasaan. Kerajaan atau Kasultanan Islam Demak yang berdiri pasca Kerajaan Majapahit itu pun runtuh.
Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah pada 1482. Hanya mampu bertahan tidak lebih dari satu abad. Setelah sempat memindahkan ibu kota Demak ke Pajang oleh Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir dankemudian menjadi Kerajaan Pajang.
Namun Kerajaan Pajang juga tidak bertahan lama, kemudian runtuh setelah pengaruh Kerajaan Mataram pada 1582 semaki kuat. Meski tidak sampai seabad, namun Demak tercacat dalam sejarah sebagai kerajaan yang culup menggangu kenyamanan Portugis di Selat Malaka.
Misalnya, pada 1527, Demak pernah menyerang Sunda Kelapa. Adipati Unus atau Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) yang memimpin Demak setelah Raden Patah wafat pada 1518.
Langkah Pati Unus membawa perubahan besar bagi Demak yaitu kerajaan maritim dengan armada yang disegani. Portugis sempat diusir Pati Unis dengan pasukannya. Sayangnya, kekuasan Pati Unus hanya berlangsung tiga tahun. Kekuasaan Demak kemudian dilanjutkan oleh Sultan Trenggana.
Suksesor Trenggana melanjutkan politik ekspansi pendahulunya. Trenggana mengerahkan ribuan pasukan Demak di bawah komando Fatahillah menyerbu Sunda Kelapa yang saat itu dikuasai Portugis.
Baca Juga
Trenggana terbilang sukses merebut Sunda Kelapa dan mengusir penjajah Portugis hingga bangsa asing itu terdesak mundur ke pedalaman. Pelabuhan Sunda Kelapa kemudian berubah sebutan menjadi Jayakarta.
Politik ekspansi terus berlanjut. Trenggana bergerak ke Pulau Sumatera, menguasai wilayah Palembang dan Jambi. Sayangnya, baru saja wilayah itu dikuasai, Sultan Trenggana wafat usai terbunuh dalam perang Panarukan pada 1546.
Pasca wafatnya, tanda-tanda kehancuran sudah di depan mata. Sebab konflik saudara memperebutkan kekuasan Demak bermunculan tak terelakan.Dua sosok kuat muncul saling saling bertikai, yakni anak Trenggono, Sunan Prawoto dan Arya Penangsang anak dari Pangeran Sekar Ing Seda Lepen, adik tiri Sultan Trenggono.
Pangeran Sekar Ing Seda Lepen sebelumnya dibunuh oleh Sunan Prawoto ketika membantu Sultan Trenggana merebut tahta Demak. Dikutip dari buku "Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia" karya Binuko Amarseto, disebutkan dendam kesumat Arya Penangsang mendidih.
Pasalnya, Pangeran Sekar Ing Seda Lepen ayahnya, dibunuh secara tragis oleh Sunan Prawoto. Arya Penangsang yang didukung gurunya, Sunan Kudus untuk merebut takhta Demak kemudian berniat balas dendam.Arya Penangsang lalu bersiasat dengan mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya.
Dalam Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa pada 1549 Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto. Pada malam itu, Sunan Prawoto mengakui kesalahannya telah membunuh Pangeran Seda Lepen.
Dia rela dihukum mati asalkan keluarganya tidak diapa-apakan. Usai mendengar penjelasan tersebut Rangkud lalu menusuk dada Sunan Prawoto yang pasrah tanpa perlawanan sampai tembus ke belakang. Celakanya, ternyata istri Sunan Prawoto sedang berlindung di balik punggung suaminya.
Akibatnya istri Sunan Prawoto pun tewas terkena tusukan dari Rangkud. Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawoto marah dan dengan sisa tenaganya ia membunuh Rangkud.
Belum puas. Usai berhasil membunuh Sunan Prawoto, Arya Penangsang juga membunuh Adipati Jepara, Sultan Hadlirin yang sangat besar pengaruhnya di Kerajaan Demak.
Pangeran Hadiri dibunuh karena diduga sebagai penghalang Arya Penangsang untuk menjadi Sultan Demak. Setelah berhasil membunuh Sultan Prawoto dan pengikutnya, naiklah Arya Penangsang ke tahta kerajaan Demak.
Pembunuhan itu menimbulkan babak baru dendam kesumat. Istri Sultan Hadlirin yaitu Ratu Kalinyamat membuat sayembara. Insinya, “Siapa saja yang bisa membunuh Arya Penangsang, akan menjadi suamiku dan mendapatkan harta bendaku”.
Sayembara itu didengar oleh Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya yang saat itu berkuasa di Pajang. Jaka Tingkir yang pernah menjadi prajurit Demak menyanggupi untuk membunuh Arya Penangsang.
Jaka Tingkir sendiri merupakan adik ipar dari Sunan Prawoto dan Ratu Kalinyamat yang dibunuh oleh kaki tangan Arya Penangsang. Jaka Tingkir bersama Ki Ageng Penjawi dan Ki Ageng Pemanahan akhirnya berhasil membunuh Arya Penangsang dan merebut kekuasan Kerajaan Demak.
Karena membantu dalam pertempuran melawan Arya Penangsang, Jaka Tingkir memberi hadiah Ki Ageng Penjawi berupa tanah di wilayah Pati. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan mendapat hadiah tanah wilayah Mataram.
Sementara Bupati Surabaya yang banyak menundukkan daerah-daerah wilayah Jawa Timur diangkat menjadi wakil raja dengan daerah kekuasaan Sedayu, Gresik, Surabaya dan Panarukan.
Jaka Tingkir lalu memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang. Tak hanya itu, putra Ki Ageng Pemanahan bernama Sutawijaya yang berhasil mengalahkan Arya Penangsang kemudian diangkat sebagai anak angkat Sultan Hadiwijaya dan menjadi saudara Pangeran Benawa yang merupakan putera mahkota Kesultanan Pajang.
Ki Ageng Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang bersaing dengan Pajang.
Setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal pada tahun 1575 kekuasaan atas Mentaok atau Mataram digantikan putranya, Sutawijaya yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar.Suatu hari, Raden Pabelan yang menjadi keponakan Sutawijaya akan dihukum mati karena kedapatan menyelinap ke Keputren.
Hal itu ia lakukan untuk bertemu dengan Ratu Sekar Kedaton atau putri bungsu Sultan Hadiwijaya. Sultan Hadiwijaya pun merasa disepelekan hingga akhirnya Raden Pabelan ditangkap dan dihukum mati.
Kondisi makin memanas setelah Sutawijaya yang menguasai Mataram sudah lama tidak sowan kepada ayah angkatnya Sultan Hadiwijaya.
Kasultanan Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya bersiap menyerang Mataram dengan ibu kota di Kotagege (kawasan Jogjakarta) karena dianggap makar. Perang antara Kasultanan Pajang dan Mataram tidak bisa dihindarkan. Sultan Hadiwijaya naik gajah memimpin pasukannya menyerbu Mataram.
Saat perang terjadi, tiba-tiba Gunung Merapi yang letaknya tidak jauh dari posisi mereka, meletus. Laharnya turun menerjang melewati Sungai Opak dan menghantam tenda-tenda milik prajurit Kerajaan Pajang.
Banyak prajurit Sultan Hadiwijaya yang menjadi korban letusan Gunung Merapi. Melihat hal itu, Sultah Hadiwijaya atau Jaka Tingkir menarik mundur para pasukannya.
Dalam perjalanan pulang ke Pajang, Sultan Hadiwijaya mampir ke makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat, Klaten. Anehnya, gerbang makam tersebut tidak bisa dibuka. Karena kejadian itu, Sultan Hadiwijaya merasa ajalnya sebentar lagi.
Ternyata hal itu terbukti saat Sultan Hadiwijaya terjatuh dari gajah yang ditumpanginya. Setelah kejadian itu kesehatan Sultan Hadiwijaya menurun. Sultan Hadiwijaya memanggil anak-anaknya, termasuk Pangeran Benowo.
Sultan Hadiwijaya berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak menaruh dendam kepada Sutawijaya atau Panembahan Senapati. Sebab Sutawijaya merupakan anak angkat dari Sultan Hadiwijaya. Tak lama kemudian, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir wafat dan dimakamkan di Desa Butuh, Sragen, Jawa Tengah. Kekuasaan Demak dan Pajang pun tamat, digantikan Kerajaan Mataram.
(don)