Sosok Ini yang Membujuk Pangeran Diponegoro Mau Bertemu Belanda
loading...
A
A
A
PANGERAN Diponegoro menjadi buronan Belanda setelah di akhir 1829. Ia terpaksa memasuki hutan belantara bersama dua punakawan atau pengiring Bantengwerang dan Roto.
Foto/Ist
Pahlawan Nasional ini lahir di Jogjakarta pada 11 November 1785 silam, atau 264 tahun yang lalu. Dia wafat pada 8 Januari 1855 setelah sebelumnya memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa pada 1825-1830 melawan penjajah Belanda.
Dalam perang terbesar saat penjajahan Belanda ini, sekitar 8.000 serdadu Belanda tewas, 7.000 pribumi tewas, dan 200.000 warga. Sedangkan kerugian mencapai 25 juta Gulden.
Pada akhir 1829, Pangeran Diponegoro didampingi dua punakawannya, Bantengwerang dan Roto memasuki hutan belantara di sebelah barat Bagelen.
Hujan panas, rasa sakit akibat serangan malaria dan luka di kakinya tak dia hiraukan. Tekadnya untuk terus melarikan diri dan tak menyerah kendati telah di ambang kekalahan jadi modalnya. Tetapi seorang jenderal Belanda Cleerens mencoba membujuknya untuk berdiskusi membuka pembicaraan dengan Belanda.
Tetapi berulang kali Cleerens mengirimkan surat ke Pangeran Diponegoro, dikutip dari buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855" tulisan Peter Carey, berulang kali pula sang pangeran menolak membaca surat dari Cleerens.
Pertahanan diri Pangeran Diponegoro akhirnya pupus setelah seorang kawan lamanya, yang juga penghulu pangeran, Kiai Pekih Ibrahim membujuknya.
Sang tokoh agama ini diutus untuk bertemu Cleerens dan mengundang Pangeran Diponegoro di Remokamal, hulu Kali Cingcingguling pada Selasa 16 Februari 1830.
Belanda telah menyiapkan penyambutan sang pangeran dengan meminta kain hitam yang cukup bagi sekitar 400 prajurit, uang tunai 200 gulden, satu payung emas kebesaran untuk menandai kepulangan status Pangeran Diponegoro sebagai Sultan.
Dua pasang gunting cukur untuk keperluan dirinya dan para prajurit pangeran juga telah disiapkan.
Pertemuan antara Pangeran Diponegoro dengan sang Cleerens pada 16 Februari 1830 di Remokamal terlaksana. Pertemuan keduanya berlangsung cukup lancar dan akrab, namun dalam negosiasi ini tidak ada satu pasal persyaratan pun yang disepakati kedua belah pihak.
Sang pangeran datang dengan sejumlah pengawal dan panglima tentaranya, Kiai Ageng Bondoyudo, dan berada di depan untuk menolak bala.
Cleerens datang terlambat tetapi memberlakukan Pangeran Diponegoro dengan penuh hormat. Ia turun dari kuda di tempat yang agak jauh dari pesanggrahan dan berjalan kaki sambil melepaskan topi kavalerinya, meski di tengah terik matahari.
Pertemuan keduanya dalam suasana akrab, keduanya bertukar lelucon, sang pangeran bahkan mengatakan ia tidak minta disambut dengan tembakan kehormatan salvo dari Belanda, karena selama perang Belanda telah melepaskan lebih dari 100.000 kali tembakan untuk menghormatinya.
Sang pangeran dibujuk oleh Cleerens agar ikut bersamanya meneruskan perjalanan dan menunggu di Menoreh, daerah kekuasan Belanda yang kuat di pegunungan perbatasan antara Bagelen dan Kedu.
Kedatangan Pangeran Diponegoro disambut di mana-mana oleh penduduk yang menyambutnya, rombongan Pangeran Diponegoro bahkan menjadi dua kali lipat, hingga 700 orang pada saat tiba di Menoreh.
Pangeran juga mendapat perawatan dari seorang dokter militer Belanda karena demam malaria yang dideritanya saat ia bersiap-siap memasuki bulan puasa. Sang pangeran menginap 15 hari di garnisun kota sebelum berangkat ke Magelang pada 8 Maret.
Di Menoreh muncul isu yang kemudian berdampak panjang baik bagi Pangeran Diponegoro maupun tuan rumah.
Hal ini berkenaan dengan anggapan Diponegoro tentang janji Cleerens kepadanya perihal perundingan yang bakal digelar dengan De Kock nantinya.
Janji itu yakni jika mereka tidak sampai pada titik temu kesepakatan, maka pangeran diizinkan untuk pulang dengan tenang ke Bagelen.
Tetapi yang terjadi tak demikian, sang pangeran ditangkap. Setelah ditangkap di Magelang, sang pangeran mendiskusikan isu ini panjang lebar dengan opsir Belanda yang mengawalnya, Kapten Roeps.
Kepada sang opsir, ia mendapat kesan jika kesepakatan tidak dapat dicapai dengan De Kock, orang-orang itu seharusnya membiarkan dia pergi tanpa hambatan ke pegunungan.
Di sisi lain Cleerens menegaskan tak ada satu pun dari surat-suratnya yang memberi janji-janji tertulis kepada Pangeran Diponegoro. Meski tentu ia berusaha keras untuk meyakinkan pangeran, bahwa ia sendiri pribadi bertanggung jawab atas keselamatan Pangeran Diponegoro.
Sambil mengulangi janji De Kock, tentang jaminan keamanan bahwa pangeran tidak akan diapa-apakan, ia memperlakukan pangeran dengan segala hormat, menyapanya sebagai sultan dan berbicara langsung dengan bahasa Melayu tidak lewat penerjemah.
Foto/Ist
Pahlawan Nasional ini lahir di Jogjakarta pada 11 November 1785 silam, atau 264 tahun yang lalu. Dia wafat pada 8 Januari 1855 setelah sebelumnya memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa pada 1825-1830 melawan penjajah Belanda.
Dalam perang terbesar saat penjajahan Belanda ini, sekitar 8.000 serdadu Belanda tewas, 7.000 pribumi tewas, dan 200.000 warga. Sedangkan kerugian mencapai 25 juta Gulden.
Pada akhir 1829, Pangeran Diponegoro didampingi dua punakawannya, Bantengwerang dan Roto memasuki hutan belantara di sebelah barat Bagelen.
Hujan panas, rasa sakit akibat serangan malaria dan luka di kakinya tak dia hiraukan. Tekadnya untuk terus melarikan diri dan tak menyerah kendati telah di ambang kekalahan jadi modalnya. Tetapi seorang jenderal Belanda Cleerens mencoba membujuknya untuk berdiskusi membuka pembicaraan dengan Belanda.
Tetapi berulang kali Cleerens mengirimkan surat ke Pangeran Diponegoro, dikutip dari buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855" tulisan Peter Carey, berulang kali pula sang pangeran menolak membaca surat dari Cleerens.
Baca Juga
Pertahanan diri Pangeran Diponegoro akhirnya pupus setelah seorang kawan lamanya, yang juga penghulu pangeran, Kiai Pekih Ibrahim membujuknya.
Sang tokoh agama ini diutus untuk bertemu Cleerens dan mengundang Pangeran Diponegoro di Remokamal, hulu Kali Cingcingguling pada Selasa 16 Februari 1830.
Belanda telah menyiapkan penyambutan sang pangeran dengan meminta kain hitam yang cukup bagi sekitar 400 prajurit, uang tunai 200 gulden, satu payung emas kebesaran untuk menandai kepulangan status Pangeran Diponegoro sebagai Sultan.
Dua pasang gunting cukur untuk keperluan dirinya dan para prajurit pangeran juga telah disiapkan.
Pertemuan antara Pangeran Diponegoro dengan sang Cleerens pada 16 Februari 1830 di Remokamal terlaksana. Pertemuan keduanya berlangsung cukup lancar dan akrab, namun dalam negosiasi ini tidak ada satu pasal persyaratan pun yang disepakati kedua belah pihak.
Sang pangeran datang dengan sejumlah pengawal dan panglima tentaranya, Kiai Ageng Bondoyudo, dan berada di depan untuk menolak bala.
Cleerens datang terlambat tetapi memberlakukan Pangeran Diponegoro dengan penuh hormat. Ia turun dari kuda di tempat yang agak jauh dari pesanggrahan dan berjalan kaki sambil melepaskan topi kavalerinya, meski di tengah terik matahari.
Pertemuan keduanya dalam suasana akrab, keduanya bertukar lelucon, sang pangeran bahkan mengatakan ia tidak minta disambut dengan tembakan kehormatan salvo dari Belanda, karena selama perang Belanda telah melepaskan lebih dari 100.000 kali tembakan untuk menghormatinya.
Sang pangeran dibujuk oleh Cleerens agar ikut bersamanya meneruskan perjalanan dan menunggu di Menoreh, daerah kekuasan Belanda yang kuat di pegunungan perbatasan antara Bagelen dan Kedu.
Kedatangan Pangeran Diponegoro disambut di mana-mana oleh penduduk yang menyambutnya, rombongan Pangeran Diponegoro bahkan menjadi dua kali lipat, hingga 700 orang pada saat tiba di Menoreh.
Pangeran juga mendapat perawatan dari seorang dokter militer Belanda karena demam malaria yang dideritanya saat ia bersiap-siap memasuki bulan puasa. Sang pangeran menginap 15 hari di garnisun kota sebelum berangkat ke Magelang pada 8 Maret.
Di Menoreh muncul isu yang kemudian berdampak panjang baik bagi Pangeran Diponegoro maupun tuan rumah.
Hal ini berkenaan dengan anggapan Diponegoro tentang janji Cleerens kepadanya perihal perundingan yang bakal digelar dengan De Kock nantinya.
Janji itu yakni jika mereka tidak sampai pada titik temu kesepakatan, maka pangeran diizinkan untuk pulang dengan tenang ke Bagelen.
Tetapi yang terjadi tak demikian, sang pangeran ditangkap. Setelah ditangkap di Magelang, sang pangeran mendiskusikan isu ini panjang lebar dengan opsir Belanda yang mengawalnya, Kapten Roeps.
Kepada sang opsir, ia mendapat kesan jika kesepakatan tidak dapat dicapai dengan De Kock, orang-orang itu seharusnya membiarkan dia pergi tanpa hambatan ke pegunungan.
Di sisi lain Cleerens menegaskan tak ada satu pun dari surat-suratnya yang memberi janji-janji tertulis kepada Pangeran Diponegoro. Meski tentu ia berusaha keras untuk meyakinkan pangeran, bahwa ia sendiri pribadi bertanggung jawab atas keselamatan Pangeran Diponegoro.
Sambil mengulangi janji De Kock, tentang jaminan keamanan bahwa pangeran tidak akan diapa-apakan, ia memperlakukan pangeran dengan segala hormat, menyapanya sebagai sultan dan berbicara langsung dengan bahasa Melayu tidak lewat penerjemah.
(shf)