Kisah Keruntuhan Kerajaan Demak, Dipicu Dendam Perebutan Kekuasaan dan Saling Bunuh

Minggu, 30 Oktober 2022 - 08:30 WIB
loading...
Kisah Keruntuhan Kerajaan...
Kerajaan Demak yang berdiri pasca Kerajaan Majapahit runtuh ini dalam perjalanannya diwarnai konflik keluarga, dendam perebutan kekuasaan dan saling bunuh. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
KERAJAAN Demak berdiri pada 1482 dengan ibu kota di Bintoro, Demak, Jawa Tengah. Kerajaan atau Kasultanan Islam Demak yang berdiri pasca Kerajaan Majapahit runtuh dalam perjalanannya diwarnai konflik keluarga, balas dendam perebutan kekuasaan dan saling bunuh.

Dalam perjalanannya, Kerajaan Demak yang didirikan oleh Raden Patah ini hanya mampu bertahan selama sekitar satu abad. Keruntuhannya ditandai dengan dipindahkannya ibu kota Demak ke Pajang oleh Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Selanjutnya Demak menjadi Kerajaan Pajang.


Namun Kerajaan Pajang juga tidak bertahan lama dan runtuh setelah munculnya Kerajaan Mataram pada 1582.

Meski kekuasaan tak berlangsung lama, namun Kerajaan Demak menorehkan sejumlah keberhasilan. Di antaranya saat menyerang Sunda Kelapa pada 1527.

Adipati Unus atau Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) yang memimpin Demak setelah Raden Patah wafat pada 1518. Pati Unus kemudian membawa perubahan besar. Demak menjadi kerajaan maritim dengan armada yang disegani.

Dengan kekuatan besar, Pati Unus tercatat beberapa kali mengirim armada pasukan kerajaan Demak dengan kapal ke Selat Malaka untuk mengusir Portugis yang menjajah kawasan itu.



Kekuasan Pati Unus hanya berlangsung singkat yakni sekitar tiga tahun. Kekuasaan Demak kemudian dilanjutkan oleh Sultan Trenggana. Meneruskan ekspansi sebelumnya, maka Sultan Trenggana mengerahkan ribuan pasukan Demak yang dipimpin Fatahillah untuk dikirim ke Sunda Kelapa yang saat itu dikuasai Portugis.

Hebatnya, pasukan Demak berhasil merebut Sunda Kelapa dan mengusir penjajah Portugis. Dalam pertempuran, pasukan Demak mengalahkan Portugis yang akhirnya harus mundur ke pedalaman.

Fatahillah kemudian mengganti nama Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Tak hanya itu, Demak melebarkan kekuasaan hingga ke Pulau Sumatera yakni wilayah Palembang dan Jambi.

Setelah berhasil menguasai sejumlah wilayah, Sultan Trenggana wafat usai terbunuh dalam perang Panarukan pada 1546.

Setelah Sultan Trenggana wafat, riak-riak konflik saudara memperebutkan kekuasan Demak bermunculan.

Dua kandidat saling bersaing dan bertikai, yakni anak Trenggono, Sunan Prawoto dan Arya Penangsang anak dari Pangeran Sekar Ing Seda Lepen, adik tiri Sultan Trenggono.

Pangeran Sekar Ing Seda Lepen sebelumnya dibunuh oleh Sunan Prawoto ketika membantu Sultan Trenggana merebut tahta Demak. Hal itu disebut dalam buku "Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia" dari Binuko Amarseto.

Dendam kesumat Arya Penangsang lantaran ayahnya, Pangeran Sekar Ing Seda Lepen dibunuh oleh Sunan Prawoto berakhir dengan peristiwa tragis.

Arya Penangsang yang didukung gurunya, Sunan Kudus untuk merebut takhta Demak kemudian berniat balas dendam. Arya Penangsang bersiasat dengan mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya.

Menurut Babad Tanah Jawi, pada 1549 Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto. Pada malam itu, Sunan Prawoto mengakui kesalahannya telah membunuh Pangeran Seda Lepen.

Dia rela dihukum mati asalkan keluarganya diampuni. Usai mendengar penjelasan tersebut Rangkud lalu menikam dada Sunan Prawoto yang pasrah tanpa perlawanan sampai tembus ke belakang.

Tanpa disadari Rangkud, ternyata istri Sunan Prawoto sedang berlindung di balik punggungnya. Akibatnya istri Sunan Prawoto pun tewas terkena tusukan dari Rangkud.

Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawoto marah dan dengan sisa tenaganya ia membunuh Rangkud.

Geger Kerajaan Demak berlanjut. Usai berhasil membunuh Sunan Prawoto, Arya Penangsang juga membunuh Adipati Jepara, Sultan Hadlirin yang sangat besar pengaruhnya di Kerajaan Demak.

Pangeran Hadiri dibunuh karena diduga sebagai penghalang Arya Penangsang untuk menjadi Sultan Demak. Setelah berhasil membunuh Sultan Prawoto dan pengikutnya, naiklah Arya Penangsang ke tahta kerajaan Demak.

Pembunuhan itu menimbulkan kesedihan mendalam bagi istri Sultan Hadlirin yaitu Ratu Kalinyamat. Selanjutnya Ratu Kalinyamat membuat sayembara “Siapa saja yang bisa membunuh Arya Penangsang, akan menjadi suamiku dan mendapatkan harta bendaku”.

Sayembara itu didengar oleh Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya yang saat itu berkuasa di Pajang. Jaka Tingkir yang pernah menjadi prajurit Demak menyanggupi untuk membunuh Arya Penangsang.

Apalagi Jaka Tingkir merupakan adik ipar dari Sunan Prawoto dan Ratu Kalinyamat yang dibunuh oleh kaki tangan Arya Penangsang.

Jaka Tingkir bersama Ki Ageng Penjawi dan Ki Ageng Pemanahan akhirnya berhasil membunuh Arya Penangsang dan merebut kekuasan Kerajaan Demak.

Karena membantu dalam pertempuran melawan Arya Penangsang, Jaka Tingkir memberi hadiah Ki Ageng Penjawi berupa tanah di wilayah Pati. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan mendapat hadiah tanah wilayah Mataram.

Sementara Bupati Surabaya yang banyak menundukkan daerah-daerah wilayah Jawa Timur diangkat menjadi wakil raja dengan daerah kekuasaan Sedayu, Gresik, Surabaya dan Panarukan. Jaka Tingkir lalu memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang.

Tak hanya itu, putra Ki Ageng Pemanahan bernama Sutawijaya yang berhasil mengalahkan Arya Penangsang kemudian diangkat sebagai anak angkat Sultan Hadiwijaya dan menjadi saudara Pangeran Benawa yang merupakan putera mahkota Kesultanan Pajang.

Ki Ageng Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang bersaing dengan Pajang.



Setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal pada tahun 1575 kekuasaan atas Mentaok atau Mataram digantikan putranya, Sutawijaya yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar.

Suatu hari, Raden Pabelan yang menjadi keponakan Sutawijaya akan dihukum mati karena kedapatan menyelinap ke Keputren. Hal itu ia lakukan untuk bertemu dengan Ratu Sekar Kedaton atau putri bungsu Sultan Hadiwijaya. Sultan Hadiwijaya pun merasa disepelekan hingga akhirnya Raden Pabelan ditangkap dan dihukum mati.

Kondisi makin memanas setelah Sutawijaya yang menguasai Mataram sudah lama tidak sowan kepada ayah angkatnya Sultan Hadiwijaya. Kasultanan Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya bersiap menyerang Mataram dengan ibu kota di Kotagege (kawasan Jogjakarta) karena dianggap makar.

Perang antara Kasultanan Pajang dan Mataram tidak bisa dihindarkan. Sultan Hadiwijaya naik gajah memimpin pasukannya menyerbu Mataram. Saat perang terjadi, tiba-tiba Gunung Merapi yang letaknya tidak jauh dari posisi mereka, tiba-tiba meletus.

Laharnya turun menerjang melewati Sungai Opak dan menghantam tenda-tenda milik prajurit Kerajaan Pajang. Banyak prajurit Sultan Hadiwijaya yang menjadi korban letusan Gunung Merapi.

Melihat hal itu, Sultah Hadiwijaya atau Jaka Tingkir menarik mundur para pasukannya. Dalam perjalanan pulang ke Pajang, Sultan Hadiwijaya mampir ke makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat, Klaten.

Anehnya, gerbang makam tersebut tidak bisa dibuka. Karena kejadian itu, Sultan Hadiwijaya merasa ajalnya sebentar lagi.

Ternyata hal itu terbukti saat Sultan Hadiwijaya terjatuh dari gajah yang ditumpanginya. Setelah kejadian itu kesehatan Sultan Hadiwijaya menurun. Sultan Hadiwijaya memanggil anak-anaknya, termasuk Pangeran Benowo.

Sultan Hadiwijaya berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak menaruh dendam kepada Sutawijaya atau Panembahan Senapati. Sebab Sutawijaya merupakan anak angkat dari Sultan Hadiwijaya. Tak lama kemudian, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir wafat dan dimakamkan di Desa Butuh, Sragen, Jawa Tengah.

Kekuasaan Demak dan Pajang pun berakhir, dan digantikan Kerajaan Mataram.
(shf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2107 seconds (0.1#10.140)