Kisah Sultan Agung Susah Payah Taklukkan Surabaya dan Hadang Pemberontakan Pati

Jum'at, 21 Oktober 2022 - 09:40 WIB
loading...
Kisah Sultan Agung Susah Payah Taklukkan Surabaya dan Hadang Pemberontakan Pati
Kisah Sultan Agung susah payah menaklukkan Surabaya dan menhadang pemberontakan Pati yang tidak lain dipimpin adik iparnya. Foto: Dok/SINDOnews
A A A
SULTAN Agung memerintah Kerajaan Mataram pada 1613-1645, dia berambisi menyatukan Jawa di bawah Mataram. Namun mendapat perlawanan keras dari Kadipaten Surabaya yang kala itu sangatlah kaya dan didukung kekuatan di timur Jawa.

Kadipaten Surabaya bersekutu dengan Kadipaten Pasuruan. Bahkan, Kadipaten Surabaya juga menguasai wilayah Gresik, Sedayu, Sukadana hingga Banjarmasin, juga terkonsolidasi dengan Tuban, Malang, Kediri, Lasem serta Madura. Konsolidasi kekuatan di timur Jawa ini terjadi sebagai respon kekuatan Mataram yang kian ekspansif.

Dalam bukunya 'Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung', Hj De Graaf mengatakan, dibutuhkan blokade yang lama sekali untuk bisa menguasai negara yang rakyatnya terkenal gigih dalam berjuang itu.

Melihat begitu besarnya potensi kekuatan di timur Jawa yang dikonsolidasi oleh Kadipaten Surabaya, Sultan Agung mulai melancarkan kampanye militer Mataram ke wilayah timur Jawa pada awal abad ke-17, tepatnya pada tahun 1914 dengan menyerang sekutu-sekutu Kadipaten Surabaya.



Tak tinggal diam, Kadipaten Surabaya bersama para sekutunya melakukan serangan balik untuk menghantam kekuatan Mataram. Sayangnya, serangan itu dapat dikandaskan Mataram pada tahun 1616 di dekat Pajang.

Mataram akhirnya melancarkan strategi dengan ekspedisi untuk menaklukkan sekutu-sekutu Kadipaten Surabaya. Upaya ini membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Pada tahun 1620, seluruh sekutu Kadipaten Surabaya berhasil ditaklukkan pasukan Mataram hingga wilayah Kadipaten Surabaya terkepung dari segala penjuru.

Serangan ke timur Jawa, hingga akhirnya berhasil mengepung pusat Kadipaten Surabaya, dimulai pasukan Sultan Agung, dengan menyerang wilayah selatan Kadipaten Surabaya, yakni di wilayah Malang dan Pasuruan. Upaya ini sempat mendapatkan perlawanan dari pasukan Surabaya namun berhasil digagalkan.

Surabaya terletak di sebuah pulau, diantara Kali Mas dan Kali Pegirian, dan sebagian lagi di sebelah baratnya. Keratonnya dilindungi oleh tembok-tembok tinggi, dan wilayah sekitarnya di kelilingi oleh rawa yang tidak sehat.

Penguasaan terhadap Surabaya dimulai dengan melakukan pengepungan besar-besaran terhadap wilayah sekitarnya. Ini biasa dilakukan saat musim panen. Sedang saat musim hujan, pasukan Mataram kembali pulang. Dengan cara ini, wilayah kekuasaan Surabaya semakin lama bertambah kecil, hingga tinggal kotanya saja.

Puncak dari serangan itu adalah menutup saluran air yang menjadi permasalahan Surabaya hingga abad ke-19. Itu merupakan pengepungan kelima yang dilakukan lebih sadis. Pasukan Mataram membendung aliran Sungai Brantas sebagai nadi kehidupan pusat kota Kadipaten Surabaya. Pasokan air yang tersisa masuk ke pusat kota Kadipaten Surabaya diracuni dengan bangkai binatang. Pusat kota Kadipaten Surabaya, mengalami bencana kekurangan makanan yang sangat dahsyat. Seluruh jalur pasokan logistik telah diblokade pasukan Mataram. Bahkan air yang masuk kota juga telah diracun dengan bangkai-bangkai binatang. Kelaparan dan wabah penyakit menjangkiti seluruh warga di pusat kota.



Penderitaan dahsyat yang dirasakan rakyat di pusat Kadipaten Surabaya tersebut memaksa Adipati Surabaya, Jayalengkara menggelar rapat dengan dewan bangsawan kota untuk membahas persoalan tersebut. Dalam pertemuan tersebut Adipati Pajang yang melarikan diri ke Surabaya usai pemberontakannya digagalkan Mataram menolak menyerah dan ingin melanjutkan upaya perlawanan terhadap Mataram.

Tetapi faksi-faksi bangsawan lain yang duduk di dewan bangsawan kota menyarankan Jayalengkara untuk menyerah kepada kekuatan Mataram. Akhirnya, Jayalengkara memilih untuk menyerah kepada Sultan Agung. Karena usianya yang sudah senja Jayalengkara akhirnya meninggal dunia tak lama usai Kadipaten Surabaya ditaklukkan Mataram.

Surabaya akhirnya takluk dengan segala penderitaannya. Wabah penyakit dan kelaparan yang mematikan menjadi hantu menakutkan bagi warga kadipaten yang pernah besar dan menguasai timur Jawa.

Pati Bergejolak

Di tengah ekspansi Surabaya, Pati bergejolak dan melakukan pemberontakan maka meletuslah perang pati, itu merupakan akhir dari hubungan Mataram-Pati.

Sultan Agung dan Adipati Pragola II penguasa Pati, merupakan kakak dan adik ipar, Adipati beristrikan Raden Ajeng Tulak atau Ratu Mas Sekar yang merupakan Adik Sultan Agung.

Namun pada masa kepemimpinanya, sang adipati meneruskan kebijakan ayahnya, yang menyatakan bahwa Pati dan Mataram sederajat. Ia tidak mau mengikuti Pisowanan Agung yang diwajibkan bagi bawahan Mataram.

Daerah Pati, termasuk wilayah basis kekuatan bagi Mataram, dan Kadipaten yang paling kuat, karena satu-satunya wilayah yang belum terkalahkan.

Namun akibat hasutan Patih Endranata maka pecahlah perang pati. Pati dilaporkan akan memberontak dari Mataram. Akibatnya, Sultan Agung memutuskan untuk menyerbu Pati dari tiga penjuru, yaitu Timur, Selatan dan Barat.

Ratusan ribu prajurit Mataram dikerahkan untuk menghancurkan Pati. Sebagai Senapati, Mataram menunjuk Tumenggung Alap-Alap. Pasukan dari arah Timur, yang dipimpin Adipati Martoloyo membawai pasukan Mancanegara, dan bermukim di Pekuwon Juwana bagian timur. Pasukan Mataram dari arah selatan dipimpin Pangeran Madura. Pangeran Madura memegang prajurit di wilayah Kedu, Begalan dan Pamijen. Pasukan ini mendirikan tenda-tenda perkemahan di kaki Gunung Kendeng sekitar daerah Cengkalsewu sebelah selatan Pati.



Sedang pasukan dari arah barat dipimpin oleh Bupati Sumedang yang membawahi pasukan khusus berkuda, pasukan ini mendirikan barak di sekitar wilayah Matraman Margorejo sebelah barat Pati. Terakhir, keluarga raja yang memimpin pasukan-pasukan Pamejagan Mataram. Pengawal pribadi terdiri dari 2.000 prajurit.

Dalam pertempuran ini, Adipati Pragola II dibantu oleh enam tumenggung. Keenam tumenggung tersebut yaitu, Tumenggung Mangunjaya, Adipati Kenduruan, Tumenggung Ramananggala, Tumenggung Tohpati, Adipati Sawunggaling, Tumenggung Sindurejo, serta seluruh rakyat Pati.

Pada hari Jumat wage, tanggal 4 Oktober 1627 M, Adipati Pragola II tewas tertusuk tombak Kyai Baru milik Sultan Agung yang diserahkan pada Lurah Kapedak, Naya Derma. Sang adipati meninggal dan dikebumikan di Sendang Sani.

Setelah wafatnya Adipati Pragola II, Sultan Agung menemui adiknya, Ratu Mas Sekar, istri dari adipati. Sultan Agung menanyakan alasan pemberontakan Pati terhadap Mataram. Ratu Mas Sekar pun menjawab apa adanya.

Dia mengatakan, bahwa semua berita yang didengar oleh sang Sultan adalah berita yang dipalsukan oleh Patih Mataram Endranata. Kaget dengan berita itu, akhirnya Patih Endranata ditangkap dan dieksekusi mati.

Perlawanan Adipati Pragola II yang gagah berani dalam melawan Mataram, untuk menjaga kehormatan Kadipaten Pati terus hidup dalam ingatan masyarakat Pati. Peristiwa penyerangan Mataram ini pun tetap berbekas dan berimbas hingga saat ini, terdapat pantangan bagi masyarakat Pati yang menyebutkan, orang Pati jangan sampai menikah dengan orang Mataram.

Sumber: sindonews,okezone, inews
(nic)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2513 seconds (0.1#10.140)