Pemecatan Suharso dari Ketum PPP, Praktisi Hukum: Tidak Sah kalau Tak Sesuai AD/ART

Kamis, 08 September 2022 - 17:52 WIB
loading...
Pemecatan Suharso dari...
Suharso Monoarfa dipecat dari posisi sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP yang digelar di Serang, Banten, Minggu (4/9/2022). Foto dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Suharso Monoarfa dipecat dari posisi sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP yang digelar di Serang, Banten, Minggu (4/9/2022). Namun menurut praktisi hukum Pitra Romadoni Nasution, pemecatan itu tidak sah jika tidak sesuai dengan AD/ART partai.



"Kalau dari pandangan hukum, mengenai organisasi politik harus sesuai AD ART-nya. Kalau bertentangan dengan AD/ART, nggak sah hasil keputusannya," ujar Pitra Romadoni Nasution, Rabu (7/9/2022).

Mukernas, lanjut dia, bisa dikatakan tidak sah apabila tidak dihadiri ketua, sekretaris dan bendahara sebagaimana layaknya organisasi. Semua persoalan yang terjadi di organisasi harus mengacu pada AD ART.

Menurutnya, jika ada yang bertentangan dengan AD/ART maka hasil keputusannya ilegal alias tidak sah secara hukum. "Begitupun yang terjadi di internal PPP yang menggusur Suharso Monoarfa sebagai ketua umum," ibuhnya.

Oleh karena itu, kata Pitra, dalang dari Mukernas PPP di Serang, Banten, harus diusut. "Aktor intelektualnya harus diusut. Apabila bukan pemegang mandat PPP sesuai AD ART, itu merupakan pembegalan terhadap ketua yang sah" ujar PresidenKongres Pemuda Indonesia ini.

Pergantian Ketua Umum PPP, tambahnya, harus jelas, apa salahnha. Jika tidak ada salahnya maka hal tersebut adalah masalah hukum yang mereka lakukan. "Karena legalitas pengurusan partai politik harus melalui keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham)," pungkasnya.

Lanjut Pitra, perintah dari Pasal 23 UU Parpol yang menyatakan, susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan parpol tingkat pusat didaftarkan ke Menkumham paling lama 30 hari terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru.

"Jika ditinjau dari perspektif legal-formal, kekhawatiran tersebut di atas agak berlebihan karena kewenangan atributif Menkumham untuk mengesahkan perubahan kepengurusan parpol hanya dapat dilakukan dalam keadaan normal atau tidak terdapat konflik," jelasnya.

Sementara itu, Suharso mengatakan, berdasarkan laporan yang diterimanya Mukernas itu tidak mendapatkan STTB dari Polri. Karena Mukernas tingkatannya nasional maka harusnya yang mengeluarkan STTB adalah Mabes Polri. "Kami juga laporkan ke Kapolri, kami sedang tidak melakukan Mukernas," tukasnya.
(don)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2367 seconds (0.1#10.140)