Kisah Proklamasi, Bung Karno Jengkel Diculik Pemuda saat Makan Sahur
loading...
A
A
A
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 didahului dengan aksi para pemuda yang nekat menculik Soekarno-Hatta. Bung Karno pun mengaku jengkel dengan penculikan itu.
Pada 16 Agutus 1945, sejumlah pemuda yang ingin Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan lebih awal, membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Jakarta.
Saat menjemput Bung Karno dan Bung Hatta, para penculik hanya beralasan Jakarta sedang tidak aman, sehingga harus ditinggalkan. Proses penculikan berlangsung cepat.
Bung Karno dan Fatmawati sedang makan sahur (puasa Ramadan) saat sebuah mobil sedan Ford, tiba-tiba berhenti di depan rumah Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Turun dari kendaraan, pengemudi mobil langsung meminta Bung Karno untuk ikut segera. Jika tetap berada di Jakarta, keselamatan Bung Karno akan terancam.
“Hari itu akan pecah pemberontakan bersenjata militer Peta dan Heiho,” demikian disampaikan si pengendara, seperti dikutip Lambert Giebels dalam buku Soekarno Biografi 1901-1950.
Fatmawati belum lama melahirkan Guntur Soekarnoputra. Bung Karno tidak ingin meninggalkan istri dan anak pertamanya yang masih bayi. Keduanya dibawa serta masuk ke dalam mobil.
Di saat yang sama, sebuah mobil Ford lain juga mendatangi rumah Bung Hatta. Saat dijemput dan kemudian dibawa pergi, Bung Hatta juga sedang makan sahur.
Kedua mobil Ford melaju di atas jalan Jatinegara meninggalkan Kota Jakarta. Perjalanan sempat tersendat saat hendak melalui pos penjagaan militer Jepang di dekat penjara Cipinang.
Agar tentara Jepang tidak curiga, para pemuda mengganti kendaraan dengan mobil panser terbuka. “Soekarno dan Hatta, juga untuk menghindari rasa curiga, memakai seragam Peta”.
Setelah itu semua berjalan sesuai rencana. Dua jam kemudian rombongan sampai di Rengasdengklok. Pemuda Soetjipto langsung mengembalikan mobil panser terbuka ke Jakarta sembari memberitahu jaringan Jakarta, bahwa rombongan sudah tiba di Rengasdengklok dengan selamat.
Sementara, oleh para pemuda Bung Karno dan Bung Hatta ditempatkan di ruang tunggu. Di ruang tunggu itu, pemuda Singgih bertanya kepada Bung Karno, apakah bersedia mengumumkan kemerdekaan tanpa melibatkan Jepang?
Saat bertanya, Singgih sengaja membarengi dengan meletakkan senapannya di atas meja. Singgih merupakan putra Panji Singgih, teman Soekarno dalam pergerakan nasional. Sementara Sukarni berasal dari Blitar di mana orang tuanya dimungkinkan kenalan orang tua Soekarno.
Karenanya, saat rapat di kafe Hawaii, Cikini, pada 15 Agustus 1945, sekelompok pemuda radikal pimpinan Chaerul Saleh, yakni Sukarni, Wikana, Adam Malik, Joesoef Kunto, Singgih dan dr Moewardi, pemimpin Barisan Pelopor, menugaskan Sukarni sebagai pemimpin penculikan.
Bung Karno sebenarnya jengkel dengan sikap para pemuda, namun tidak diungkapkannya. Di kemudian hari, kepada Ktut Tantri, Bung Karno menceritakan kejengkelannya tersebut: Pemuda itu bisa saya tampar, kalau saya mau. Mereka itu anak-anak teman saya, dan saya sudah kenal mereka sejak kecil.
Saat Singgih dan Bung Karno sedang berunding, Guntur Soekarnoputra tiba-tiba menangis. Fatmawati ingin menyusui bayinya, namun botol susu tertinggal di mobil sedan saat pindah ke panser.
Fatmawati meminta beberapa prajurit Peta untuk mencarikan botol susu. Hatta yang tidak tahan mendengar tangisan bayi, lantas menggendong Guntur keluar dan memangkunya.
Saat itu Guntur mengompoli Bung Hatta. Bung Karno, Bung Hatta, Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra kemudian ditempatkan di sebuah rumah milik orang Tionghoa. Oleh para pemuda, rumah tersebut telah dikosongkan.
Bung Karno sempat terbujuk rencana para pemuda, bahwa prajurit Peta dan Heiho akan melakukan pemberontakan di Jakarta. Namun kemudian Bung Karno kembali berubah pikiran.
“Soekarno dan Hatta menyatakan kepada Sukarni bahwa mereka tetap berpegang pada rencana mereka sendiri, yaitu suatu proklamasi kemerdekaan melalui komisi persiapan kemerdekaan”.
Soekarno juga mengatakan kepada Sukarni, tanggal 16 bukan waktu yang cocok untuk mengumumkan proklamasi. Sebaiknya kemerdekaan diumumkan pada hari Jumat, tanggal 17 yang kebetulan dalam penanggalan Jawa, Jumat Legi.
Sementara itu, di Jakarta, hilangnya Bung Karno dan Bung Hatta telah diketahui Ahmad Soebardjo dan langsung mengabarkan kepada Laksamana Maeda.
Maeda khawatir Soekarno-Hatta ditangkap Kempeitai. Setelah dilacak ke sana-sini, termasuk menghubungi pemuda Wikana, termasuk mengatakan dirinya bersimpati dengan nasionalis Indonesia serta mendukung proklamasi kemerdekaan, para pemuda akhirnya mengaku jika Bung Karno dan Bung Hatta telah dibawa ke Rengasdengklok.
Soebardjo kemudian diminta Maeda untuk menjemput Bung Karno dan Bung Hatta. Para pemuda menunjuk Joesoef Kunto untuk mendampingi Soebardjo.
Sekitar pukul enam sore, dua mobil dari Jakarta tiba di Rengasdengklok. Setelah melalui negosiasi yang cukup alot, Sukarni akhirnya bersedia kembali ke Jakarta bersama orang-orang yang diculiknya.
Di tengah perjalanan mendekati Jakarta, mereka melihat kepulan asap membumbung tinggi. Sukarni bersorak. Dengan seruan kemenangan ia berteriak,”Lihat, lihat, Revolusi sudah mulai, revolusi sudah mulai, persis seperti kami janjikan. Jakarta sudah terbakar!"
Rombongan pun mendekati sumber asap yang membumbung tinggi itu. Begitu dekat, mereka melihat seorang petani sedang membakar sampahnya. Asap yang bergelung-gelung itu bukan berasal dari api revolusi terbakarnya Jakarta, melainkan dari sampah yang terbakar.
Dalam buku Soekarno Biografi 1901-1950, disebukan Soekarno menertawakan Sukarni yang ternyata kecele.
“Dan bagaimana kira-kira nasib kita di Jakarta sekarang?,” tanya Bung Karno dengan nada mengejek.
Sekitar tengah malam rombongan tiba di Jakarta. Fatmawati dan Guntur diantar pulang ke rumah dan yang lain langsung menuju rumah Laksamana Maeda. Besoknya pada 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan RI, di Jalan Pegangsaan Timur, 56, Jakarta.
Pada 16 Agutus 1945, sejumlah pemuda yang ingin Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan lebih awal, membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Jakarta.
Saat menjemput Bung Karno dan Bung Hatta, para penculik hanya beralasan Jakarta sedang tidak aman, sehingga harus ditinggalkan. Proses penculikan berlangsung cepat.
Bung Karno dan Fatmawati sedang makan sahur (puasa Ramadan) saat sebuah mobil sedan Ford, tiba-tiba berhenti di depan rumah Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Turun dari kendaraan, pengemudi mobil langsung meminta Bung Karno untuk ikut segera. Jika tetap berada di Jakarta, keselamatan Bung Karno akan terancam.
“Hari itu akan pecah pemberontakan bersenjata militer Peta dan Heiho,” demikian disampaikan si pengendara, seperti dikutip Lambert Giebels dalam buku Soekarno Biografi 1901-1950.
Fatmawati belum lama melahirkan Guntur Soekarnoputra. Bung Karno tidak ingin meninggalkan istri dan anak pertamanya yang masih bayi. Keduanya dibawa serta masuk ke dalam mobil.
Di saat yang sama, sebuah mobil Ford lain juga mendatangi rumah Bung Hatta. Saat dijemput dan kemudian dibawa pergi, Bung Hatta juga sedang makan sahur.
Kedua mobil Ford melaju di atas jalan Jatinegara meninggalkan Kota Jakarta. Perjalanan sempat tersendat saat hendak melalui pos penjagaan militer Jepang di dekat penjara Cipinang.
Agar tentara Jepang tidak curiga, para pemuda mengganti kendaraan dengan mobil panser terbuka. “Soekarno dan Hatta, juga untuk menghindari rasa curiga, memakai seragam Peta”.
Setelah itu semua berjalan sesuai rencana. Dua jam kemudian rombongan sampai di Rengasdengklok. Pemuda Soetjipto langsung mengembalikan mobil panser terbuka ke Jakarta sembari memberitahu jaringan Jakarta, bahwa rombongan sudah tiba di Rengasdengklok dengan selamat.
Sementara, oleh para pemuda Bung Karno dan Bung Hatta ditempatkan di ruang tunggu. Di ruang tunggu itu, pemuda Singgih bertanya kepada Bung Karno, apakah bersedia mengumumkan kemerdekaan tanpa melibatkan Jepang?
Saat bertanya, Singgih sengaja membarengi dengan meletakkan senapannya di atas meja. Singgih merupakan putra Panji Singgih, teman Soekarno dalam pergerakan nasional. Sementara Sukarni berasal dari Blitar di mana orang tuanya dimungkinkan kenalan orang tua Soekarno.
Karenanya, saat rapat di kafe Hawaii, Cikini, pada 15 Agustus 1945, sekelompok pemuda radikal pimpinan Chaerul Saleh, yakni Sukarni, Wikana, Adam Malik, Joesoef Kunto, Singgih dan dr Moewardi, pemimpin Barisan Pelopor, menugaskan Sukarni sebagai pemimpin penculikan.
Bung Karno sebenarnya jengkel dengan sikap para pemuda, namun tidak diungkapkannya. Di kemudian hari, kepada Ktut Tantri, Bung Karno menceritakan kejengkelannya tersebut: Pemuda itu bisa saya tampar, kalau saya mau. Mereka itu anak-anak teman saya, dan saya sudah kenal mereka sejak kecil.
Saat Singgih dan Bung Karno sedang berunding, Guntur Soekarnoputra tiba-tiba menangis. Fatmawati ingin menyusui bayinya, namun botol susu tertinggal di mobil sedan saat pindah ke panser.
Fatmawati meminta beberapa prajurit Peta untuk mencarikan botol susu. Hatta yang tidak tahan mendengar tangisan bayi, lantas menggendong Guntur keluar dan memangkunya.
Saat itu Guntur mengompoli Bung Hatta. Bung Karno, Bung Hatta, Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra kemudian ditempatkan di sebuah rumah milik orang Tionghoa. Oleh para pemuda, rumah tersebut telah dikosongkan.
Bung Karno sempat terbujuk rencana para pemuda, bahwa prajurit Peta dan Heiho akan melakukan pemberontakan di Jakarta. Namun kemudian Bung Karno kembali berubah pikiran.
“Soekarno dan Hatta menyatakan kepada Sukarni bahwa mereka tetap berpegang pada rencana mereka sendiri, yaitu suatu proklamasi kemerdekaan melalui komisi persiapan kemerdekaan”.
Soekarno juga mengatakan kepada Sukarni, tanggal 16 bukan waktu yang cocok untuk mengumumkan proklamasi. Sebaiknya kemerdekaan diumumkan pada hari Jumat, tanggal 17 yang kebetulan dalam penanggalan Jawa, Jumat Legi.
Sementara itu, di Jakarta, hilangnya Bung Karno dan Bung Hatta telah diketahui Ahmad Soebardjo dan langsung mengabarkan kepada Laksamana Maeda.
Maeda khawatir Soekarno-Hatta ditangkap Kempeitai. Setelah dilacak ke sana-sini, termasuk menghubungi pemuda Wikana, termasuk mengatakan dirinya bersimpati dengan nasionalis Indonesia serta mendukung proklamasi kemerdekaan, para pemuda akhirnya mengaku jika Bung Karno dan Bung Hatta telah dibawa ke Rengasdengklok.
Soebardjo kemudian diminta Maeda untuk menjemput Bung Karno dan Bung Hatta. Para pemuda menunjuk Joesoef Kunto untuk mendampingi Soebardjo.
Sekitar pukul enam sore, dua mobil dari Jakarta tiba di Rengasdengklok. Setelah melalui negosiasi yang cukup alot, Sukarni akhirnya bersedia kembali ke Jakarta bersama orang-orang yang diculiknya.
Di tengah perjalanan mendekati Jakarta, mereka melihat kepulan asap membumbung tinggi. Sukarni bersorak. Dengan seruan kemenangan ia berteriak,”Lihat, lihat, Revolusi sudah mulai, revolusi sudah mulai, persis seperti kami janjikan. Jakarta sudah terbakar!"
Rombongan pun mendekati sumber asap yang membumbung tinggi itu. Begitu dekat, mereka melihat seorang petani sedang membakar sampahnya. Asap yang bergelung-gelung itu bukan berasal dari api revolusi terbakarnya Jakarta, melainkan dari sampah yang terbakar.
Dalam buku Soekarno Biografi 1901-1950, disebukan Soekarno menertawakan Sukarni yang ternyata kecele.
“Dan bagaimana kira-kira nasib kita di Jakarta sekarang?,” tanya Bung Karno dengan nada mengejek.
Sekitar tengah malam rombongan tiba di Jakarta. Fatmawati dan Guntur diantar pulang ke rumah dan yang lain langsung menuju rumah Laksamana Maeda. Besoknya pada 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan RI, di Jalan Pegangsaan Timur, 56, Jakarta.
(san)