Harga Sawit, Jagung, dan Daging Ayam Anjlok, Kesejahteraan Petani di Sumut Menurun
loading...
A
A
A
MEDAN - Tingkat kesejahteraan petani di Sumatera Utara (Sumut) mengalami penurunan pada Juli 2022 lalu. Itu tergambar dari Nilai Tukar Petani (NTP) di Sumatera Utara turun sebesar 7,21 persen menjadi 108,85.
Komoditas penyumbang penurunan NTP petani di Sumut adalah kelapa sawit , jagung dan ayam ras. "Memang di bulan Juli kemarin, harga kelapa sawit di tingkat petani di Sumut itu berkisar Rp700 hingga Rp1.100 per kilogram, meskipun ada yang menjual di kisaran Rp1.300 hingga Rp1.500-an per kilogram," kata Pengamat Ekonomi, Gunawan Benjamin, Senin (1/8/2022).
Gunawan menyebut harga tandan buah segar (TBS) saat ini jauh dari harga tertinggi yang sempat di atas Rp3.000 per kilogram. Harga TBS saat ini juga masih dibawah harga keekonomian kelapa sawit yang saat ini berada di kisaran harga Rp2.300 hingga Rp2.600 per kilogramnya. "Mengacu kepada harga CPO yang bertengger dikisaran Rp3.900-an ringgit per ton sejauh ini," tukasnya.
Selain TBS, harga jagung juga memang mengalami penurunan. Di bulan Mei atau Juni lalu harganya sempat menyentuh Rp5.700 per kilogram (di tingkat pabrik pakan). Namun saat ini harganya di tingkat pembeli akhir (pabrik pakan ternak) dikisaran Rp4.700 hingga Rp4.800 per kilogram.
"Penurunan harga jagung ini juga mendorong penurunan harga daging ayam, yang sebelumnya di bulan Mei sempat menyentuh Rp40 ribu per kilogram, saat ini dikisaran Rp28 ribu per kilogram di Kota Medan. Dengan penurunan harga komoditas tersebut menekan daya beli petani kita," jelasnya.
Di sisi lain, sejauh ini petani hortikultura NTP-nya sudah di atas 100, tepatnya di level 101,22. Sementara tanaman pangan ini NTP-nya masih dii kisaran 93.44 (turun dibandingkan bulan juni kemarin).
"Untuk tanaman hortikultura ini dipicu oleh kenaikan harga komoditas cabai. Sementara untuk tanaman pangan, saya menilai beban pengeluaran yang besar belum diimbangi dengan peningkatan harga jual (gabah) yang ideal," terangnya.
Ke depan, kata Gunawan, NTP petani dari tanaman hortikultura indeksnya berpotensi untuk kembali turun di bulan Agustus. Seiring dengan penurunan harga cabai.
Sementara itu, NTP tanaman pangan berpeluang stagnan jika pemerintah tidak merubah (intervensi) kebijakan pembelian gabah di tingkat petani.
"Seiring dengan kenaikan harga pupuk dan tingginya inflasi, petani kita terbebani dengan banyak pengeluaran, namun harga jual produk pertaniannya tertahan. Sehingga membuat harga beras saat ini dibawah harga keekonomiannya," pungkasnya.
Untuk petani sawit, lanjut dia, pihaknya yakin perlahan NTP-nya akan kembali mengalami pemulihan. Karena normalisasi kebijakan ekspor CPO dan produk turunan kelapa sawit sudah dilakukan. Ke depan, sebut Gunawan, pemerintah harus fokus memperbaiki daya beli petani untuk jenis tanaman hortikultura dan tanaman pangan.
Karena pupuk sudah sangat mahal, dan pengeluaran petani kian banyak. Sosialisasi penggunaan pupuk kompos yang memiliki efektifitas yang bersaing dengan pupuk kimia juga perlu digalakkan.
"Petani kita saat ini terbebani dengan tingginya biaya input produksi dan kenaikan biaya hidup. Sementara harga jual produk tanamannya justru diserahkan ke mekanisme pasar. Jadi mereka tidak punya banyak pilihan untuk memperbaiki daya belinya. Dan khusus untuk petani sawit, jelas mereka mengalami tekanan pada saat ini, akan tetapi saya melihat potensi pemulihan NTP-nya sangat terbuka," tandasnya.
Komoditas penyumbang penurunan NTP petani di Sumut adalah kelapa sawit , jagung dan ayam ras. "Memang di bulan Juli kemarin, harga kelapa sawit di tingkat petani di Sumut itu berkisar Rp700 hingga Rp1.100 per kilogram, meskipun ada yang menjual di kisaran Rp1.300 hingga Rp1.500-an per kilogram," kata Pengamat Ekonomi, Gunawan Benjamin, Senin (1/8/2022).
Gunawan menyebut harga tandan buah segar (TBS) saat ini jauh dari harga tertinggi yang sempat di atas Rp3.000 per kilogram. Harga TBS saat ini juga masih dibawah harga keekonomian kelapa sawit yang saat ini berada di kisaran harga Rp2.300 hingga Rp2.600 per kilogramnya. "Mengacu kepada harga CPO yang bertengger dikisaran Rp3.900-an ringgit per ton sejauh ini," tukasnya.
Selain TBS, harga jagung juga memang mengalami penurunan. Di bulan Mei atau Juni lalu harganya sempat menyentuh Rp5.700 per kilogram (di tingkat pabrik pakan). Namun saat ini harganya di tingkat pembeli akhir (pabrik pakan ternak) dikisaran Rp4.700 hingga Rp4.800 per kilogram.
"Penurunan harga jagung ini juga mendorong penurunan harga daging ayam, yang sebelumnya di bulan Mei sempat menyentuh Rp40 ribu per kilogram, saat ini dikisaran Rp28 ribu per kilogram di Kota Medan. Dengan penurunan harga komoditas tersebut menekan daya beli petani kita," jelasnya.
Di sisi lain, sejauh ini petani hortikultura NTP-nya sudah di atas 100, tepatnya di level 101,22. Sementara tanaman pangan ini NTP-nya masih dii kisaran 93.44 (turun dibandingkan bulan juni kemarin).
"Untuk tanaman hortikultura ini dipicu oleh kenaikan harga komoditas cabai. Sementara untuk tanaman pangan, saya menilai beban pengeluaran yang besar belum diimbangi dengan peningkatan harga jual (gabah) yang ideal," terangnya.
Ke depan, kata Gunawan, NTP petani dari tanaman hortikultura indeksnya berpotensi untuk kembali turun di bulan Agustus. Seiring dengan penurunan harga cabai.
Sementara itu, NTP tanaman pangan berpeluang stagnan jika pemerintah tidak merubah (intervensi) kebijakan pembelian gabah di tingkat petani.
"Seiring dengan kenaikan harga pupuk dan tingginya inflasi, petani kita terbebani dengan banyak pengeluaran, namun harga jual produk pertaniannya tertahan. Sehingga membuat harga beras saat ini dibawah harga keekonomiannya," pungkasnya.
Untuk petani sawit, lanjut dia, pihaknya yakin perlahan NTP-nya akan kembali mengalami pemulihan. Karena normalisasi kebijakan ekspor CPO dan produk turunan kelapa sawit sudah dilakukan. Ke depan, sebut Gunawan, pemerintah harus fokus memperbaiki daya beli petani untuk jenis tanaman hortikultura dan tanaman pangan.
Karena pupuk sudah sangat mahal, dan pengeluaran petani kian banyak. Sosialisasi penggunaan pupuk kompos yang memiliki efektifitas yang bersaing dengan pupuk kimia juga perlu digalakkan.
"Petani kita saat ini terbebani dengan tingginya biaya input produksi dan kenaikan biaya hidup. Sementara harga jual produk tanamannya justru diserahkan ke mekanisme pasar. Jadi mereka tidak punya banyak pilihan untuk memperbaiki daya belinya. Dan khusus untuk petani sawit, jelas mereka mengalami tekanan pada saat ini, akan tetapi saya melihat potensi pemulihan NTP-nya sangat terbuka," tandasnya.
(don)