Cerita Mbah Moedjair, Penemu Ikan Mujair asal Blitar

Minggu, 28 Juni 2020 - 05:00 WIB
loading...
Cerita Mbah Moedjair,...
Foto Mbah Moedjair, penemu ikan mujaie asal Blitar, Jawa Timur.Foto/Repro/SINDONews/Solichan Arif
A A A
BLITAR - Wibowo (58), cicit Mbah Moedjair, penemu ikan Mujair asal Kabupaten Blitar, sulit menjelaskan, kenapa piagam penghargaan yang dikeluarkan Pemerintah Soekarno untuk eyang buyutnya, tertulis "Nelayan Pelopor ".

Wibowo tahu, ikan yang berhasil dibiakkan buyutnya memang berasal dari pesisir pantai selatan Kabupaten Blitar. Pantai Serang tepatnya. Namun ia juga tahu, di Desa Papungan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, kakek buyutnya bukan nelayan.

"Apa mungkin karena kategorinya yang ada saat itu hanya nelayan pelopor ya?, "kata Wibowo yang justru balik bertanya saat ditemui Sindonews.com di rumahnya Desa Papungan.

(Baca juga: Lagu Yaa Lal Wathan Tandai Pelepasan Lulusan SMP Khadijah Surabaya )

Piagam berbingkai kayu dengan lapisan kaca sebagai pelindung itu terpajang di ruang tamu. Wibowo menunjukkannya lebih dekat. Terlihat warna kertas yang menguning karena digerogoti umur. Namun secara umum tampak terawat.

"Memang rutin dibersihkan," kata Wibowo menjelaskan upaya menjaga peninggalan buyutnya. Pada kertas piagam tertulis 6 April 1965 atau lima bulan sebelum peristiwa Gestok meletus. Ejaan Suwandi pada piagam menyebut : untuk jasa dan darma bakti kepada Revolusi, Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Tercantum nama Moedjair selaku penerima penghargaan. Jogoboyo (sekarang kaur keamanan) Desa Papungan tersebut dihargai sebagai penemu sekaligus pelopor pembudidaya ikan yang kemudian diberi nama sesuai namanya (Mujair).

Tertera nama Menteri Kelautan Laksamana Muda Laut Hamzah Atmohandojo selaku penandatangan. Dalam kabinet Dwikora, menteri perikanan dan kelautan berada dibawah koordinasi Menko Maritim yang saat itu dijabat Mayor Jendral KKO (Marinir) Ali Sadikin, yang kelak menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Selain penghargaan yang diberikan pada tahun 1965, sebelumnya, yakni 30 Juni 1954, Mbah Moedjair pernah menerima penghargaan dari Indo Pasipik Fisheries di Bogor, Jawa Barat. Kemudian juga penghargaan dari Kementrian Pertanian pada 17 Agustus 1951.

Bukan hanya soal temuan varian baru ikan yang dalam perjalanannya tersebar kemana mana, bahkan sampai ke Pulau Papua. Ikan mujair ikut menyokong program perbaikan gizi rakyat yang berjalan di era pemerintahan Bung Karno.

"Sayangnya dua penghargaan lain itu lupa dimana menyimpannya," kata Wibowo yang merupakan alumni kampus ITN Malang.

Disebelah piagam terpajang lukisan hitam putih bergambar lelaki sepuh berpeci hitam, dengan urat garis wajah keras. Itulah paras Mbah Moedjair dalam bingkai lukisan separuh badan.

"Kalau lukisan ini repro. Pelukisnya mas Sonny Yuliono, perupa Blitar yang banyak melukis wajah Bung Karno," tutur Wibowo menjelaskan.

Cerita Mbah Moedjair, Penemu Ikan Mujair asal Blitar


11 Kali Percobaan
Mbah Moedjair lahir tahun 1890 di Desa Kuningan Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Dari sembilan anak pasangan suami istri Bayan Isman dan Rubiyah, Moedjair urutan keempat.

(Baca juga: Mengungkap Masa Kecil Gajahmada Melalui Situs Sitinggil Lamongan )

Moedjair muda menikahi Partimah, putri seorang modin (perangkat desa) Kuningan, yang lalu memutuskan bertempat tinggal di Desa Papungan. Dari pernikahannya, Moedjair dikaruniai tujuh orang anak.

Sebagai salah satu cicit, Wibowo belum pernah menatap langsung wajah buyutnya. Jauh sebelum ia lahir, Mbah Moedjair sudah tutup usia. Bahkan penghargaan dari pemerintah Soekarno tahun 1965 diberikan saat Mbah Moedjair sudah meninggal dunia.

"Saya tahu wajahnya hanya dari foto lama yang kemudian direpro ke lukisan," kata Wibowo yang sehari hari beternak ayam Bangkok.

Sebagai cicit, Wibowo cukup banyak mendengar cerita buyutnya. Mulai soal perawakan tubuh Mbah Moedjair yang tinggi kurus, berpembawaan pendiam serta gemar menyendiri, sampai berwatak keras dimana jika sudah berkeinginan akan mati matian memperjuangkan.

"Kekerasan hati itu salah satunya soal mengembang biakkan ikan mujair," tambah Wibowo.

Pertama kali melihat gerombolan ikan di muara Pantai Serang, Mbah Moedjair langsung terpikat. Di matanya, ikan bersisik kehijauan yang gesit dan liar itu punya banyak kelebihan. Ia pernah mencicipi dagingnya. Selain cukup tebal, juga lebih kesat dan gurih.

Ia juga melihat ikan ikan itu cepat berkembang biak. Memiliki daya tahan hidup lebih tinggi, sekaligus tidak berwatak kanibal, terutama kepada anak anaknya. "Mujair sangat melindungi anak anaknya. Bahkan demi keamanan, induk mujair menyembunyikan anak anaknya di dalam mulut," terang Wibowo.

Mbah Moedjair tidak punya latar belakang pendidikan perikanan. Satu satunya pendidikan formal yang pernah dienyam hanya sekolah rakyat (SR). Pernah berdagang sate di Blitar, dan sempat sukses, namun bangkrut karena kebiasaan berjudi.

Konon, pergi Pantai Serang juga dalam rangka mencari jalan bangkit dari keterpurukan ekonomi. Mbah Moedjair berfikir, jika ikan di Pantai Serang bisa dibiakkan di kolam air tawar, tentu akan lebih bermanfaat buat masyarakat.

"Disitulah Mbah Moedjair mulai melakukan eksperimennya," terang Wibowo.

Cerita Mbah Moedjair, Penemu Ikan Mujair asal Blitar


Beberapa ekor ikan dimasukkan ke dalam tempayan tanah liat yang berisi air laut. Dengan berjalan kaki ia panggul tempayan dari pantai Serang menuju Desa Papungan yang berjarak tempuh sekitar 35 kilometer.

Saat itu sepanjang jalan menuju Pantai Selatan masih berbatu batu. Melintasi sejumlah tebing, menerobos semak belukar serta hutan rimba. Seolah tak sabar lagi. Sesampai di Papungan, percobaan mengurangi kadar garam dengan menambahkan sedikit demi sedikit air tawar ke dalam tempayan, langsung ia kerjakan.

"Semuanya dilakukan sendirian. Dan percobaan pertama gagal. Ikan mati semua," kata Wibowo. Tidak patah arang. Mbah Moedjair bergegas kembali ke Pantai Serang. Upaya mengubah habitat hidup ikan air asin ke air tawar kembali dilakukan. Dan lagi lagi gagal.

Dari cerita yang diwariskan keluarga, kata Wibowo pada percobaan yang ke-11, jerih payah tersebut menemukan hasilnya. Empat ekor ikan dalam tempayan berisi air asin yang sudah berubah tawar, bertahan hidup.

Dua pasang ikan itu kemudian ia pindah ke dalam kolam dan secara cepat berkembang biak. "Keberhasilan mengubah habitat air asin ke air tawar dicatat itu tanggal 25 Maret 1936," papar Wibowo.

Dari semula satu kolam, yakni di sumber Tenggong, Papungan, ikan varian baru tersebut meluas ke tiga kolam. Bahkan untuk memantau "temuannya", Mbah Moedjair sampai membangun tempat tinggal baru di dekat kolam.

"Saat itu belum ada orang beternak ikan. Semuanya bertani. Mbah Moedjair dapat dikatakan yang pertama melakukan budidaya ikan," jelas Wibowo. Keberhasilan Mbah Moedjair membiakkan ikan jenis baru di kolam langsung didengar warga sekitar.

Apalagi kepada tetangga dan orang orang yang ia kenal, Mbah Moedjair membagikannya cuma cuma. Setiap memberikan benih ikan, ia selalu mengatakan, ini jenis ikan yang mudah berkembang biak dan enak buat lauk pauk.

Ikan jenis baru itu semakin kemana mana. Kabar tentang adanya ikan baru yang dikembangbiakkan di kolam air tawar itu sampai ke telinga Asisten Residen Kediri yang kebetulan berlatar belakang ilmuwan.

Mbah Moedjair didatangi. Mendengar penuturan bagaimana jerih payah mengubah habitat ikan, sang Asisten Residen takjub. Ia kagum dengan kegigihan serta keuletan Mbah Moedjair. Sebagai penghargaan, ikan varian baru itu ia iberi nama mujair.

"Sebenarnya yang pertama memberi penghargaan dengan memberi nama ikan mujair itu asisten karsidenan Kediri," ungkap Wibowo.

Mbah Moedjair juga diangkat sebagai pegawai yang khusus mengurusi masalah perikanan. Sejak itu ikan mujair menjadi ikan favorit rakyat. Dikenal sejak jaman kolonial Belanda, Jepang dan mencapai keemasan di masa pemerintahan Bung Karno.

Tidak hanya di kolam kolam penangkaran. Di sungai, bendungan, bahkan parit parit di sawah, semuanya menjadi habitat mujair. Selain bergizi dan mudah diternakkan, ikan mujair juga memiliki harga ekonomis.

Namun sejak adanya program penggalakan ikan lele dumbo, gurami di masa rezim orde baru, keberadaan ikan mujair mulai tergeser. Sebagai ikan konsumsi, posisi mujair digantikan lele dan gurami serta nila. Situasi itu diperparah dengan munculnya propaganda mujair sebagai ikan hama.

Propaganda itu mengacu pada prilaku ikan mujair yang cepat berbiak sekaligus mengalahkan ikan lain dalam urusan makan. Bahkan mulai tahun 90 an dan puncaknya tahun 2000 an hingga sekarang, ikan mujair terancam punah.

Bahkan saat ini Wibowo hanya memiliki seekor mujair betina, dan sudah bertahun tahun mencari ikan mujair lain kesana kemari, namun tidak kunjung menemukan.

Menurut Wibowo, karena penyakit asma yang diderita, pada 7 September 1957, Mbah Moedjair tutup usia. Mbah Moedjair dikebumikan di pemakaman umum Desa Papungan, Kecamatan Kanigoro.

Pada tahun 1960, Departemen Perikanan Indonesia memugar makam Mbah Moedjair, sekaligus mendirikan semacam monumen bergambar ikan pada batu nisan disertai tulisan : Moedjair Penemu Ikan Moedjair.

"Harapan keluarga dan masyarakat Blitar, khususnya warga Desa Papungan, bagaimana mengembalikan ikan mujair sebagai ikan rakyat. Bahkan bisa menjadi ikon perikanan Kabupaten Blitar, "kata Wibowo yang menambahkan beberapa keturunan Mbah Moedjair menjadi pegawai perikanan pemerintah.
(msd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1437 seconds (0.1#10.140)