Misteri Mahapatih Gajah Mada Meditasi di Pertapaan Madakaripura hingga Moksa
loading...
A
A
A
Misteri menyelimuti akhir hidup Mahapatih Gajah Mada yang dikisahkan melakukan meditasi terakhir dan moksa (menghilang dari muka bumi) di kawasan Madakaripura, Probolinggo, Jawa Timur. Mahapatih Kerajaan Majapahit yang berhasil menyatukan Nusantara dengan Sumpah Palapa ini menyucikan diri dengan bertapa demi mencapai moksa.
Air terjun di kawasan Madakaripura di Probolinggo, Jawa Timur diduga merupakan tempat Mahapatih Gajah Mada melakukan meditasi terakhir hingga akhirnya moksa. Foto/Ist
Kawasan Madakaripura disebutkan dalam kitab Negarakertagama merupakan hadiah Raja Majapahit, Hayam Wuruk yang diberikan untuk Mahapatih Gajah Mada. Patung Mahapatih Gajah Mada pun dibangun di dekat lokasi air terjun.
Air terjun di kawasan Madakaripura dipercaya oleh sejumlah masyarakat di sekitar lokasi sebagai tempat untuk meditasi terakhir hingga akhirnya mencapai moksa. Sehingga tak mengherankan jika banyak orang yang datang untuk bermeditasi, khususnya pada hari-hari yang dikeramatkan.
Aliran air di terjun Madakaripura konon tak pernah berhenti mengalir. Oleh karenanya, lokasi Mahapatih Gajah Mada bersemedi ini disebut juga sebagai air terjun abadi. Air terjun Madakaripura berada di dalam kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru.
Maha Patih Gajah Mada dikisahkan melakukan meditasi terakhir dan moksa di kawasan Madakaripura, Probolinggo. Foto/Wikipedia
Jika benar apa yang disampaikan Empu Prapanca dalam kitab Negarakertagama itu, maka sesungguhnya tidak ada keraguan soal di mana Gajah Mada menghabiskan sisa hidupnya setelah tidak menjadi Mahapatih. Juga akhir hidupnya di pertapaan Madakaripura setidaknya sedikit menjawab pertanyaan terkait asal usul Gajah Mada.
Dalam lontar Badad Gajah Maddha diceritakan bahwa orangtua Gajah Mada adalah pendeta hindu di Wilatikta (Majapahit). Ayahnya bernama Mpu Curadharmayogi dan ibunya bernama Patni Nuriratih, keduanya diangkat menjadi pendeta oleh Mpu Ragarunting.
Dalam aturan yang berlaku untuk pendeta, kedua pasangan ini dilarang bersetubuh meski sudah berstatus nikah. Selanjutnya Curadharmayogi memilih berdomisili di luar Wilatikta, di asrama Gili Madri, sedangkan Patni Nariratih berdomisili di Wilatikta.
Meski terpisah, namun keduanya intens bertemu. Patni setiap hari mengunjungi sang suami untuk mengantarkan sarapan dan kebutuhan harian lainnya. Hingga pada suatu hari kejadian tidak biasa terjadi di antara keduanya.
Saat hendak menyantap masakan sang istri, tanpa sengaja gelas tersenggol dan air pun tumpah. Melihat hal itu, Curadharmayogi pun pergi mencari air minum. Sedangkan sang istri ditinggal sendirian.
Proses kehamilan Patni diawali dengan perbuatan Hyang Brahma (Dewa Api) yang tergoda untuk bersetubuh dengan Patni. Maka berubahlah wujud sang Dewa ini menyerupai Curadharmayogi dan mendatangi Patni, di saat suaminya yang asli sedang pergi mencari air minum.
Kehamilan Patni seolah tamparan bagi keduanya. Bagaimana tidak, keduanya sudah berjanji untuk meninggalkan kenikmatan dunia demi agama. Karena didorong rasa malu itulah keduanya memutuskan kabur ke hutan.
Pelarian mereka berakhir di dekat Gunung Semeru. Dari sana keduanya menuju ke arah Barat Daya, lalu sampai di Desa Maddha. Si jabang bayi akhirnya melahirkan di sebuah balai agung yang terletak di desa tersebut pada 1299.
Usai melahirkan, Patni bersama suaminya meninggalkan buah hati mereka seorang diri. Keduanya melanjutkan pelarian menuju gunung. Beruntung, tersebut dipungut oleh pemuka desa setempat. Kabar penemuan bayi itu sampai juga ke telinga salah satu patih tersohor dari Wilatikta. Sang patih lantas merawat dan membawa bayi yang kemudian diberi nama Maddha ini ke Majapahit.
Kisah ini terdapat dalam lontar Badad Gajah Maddha. Kopian cerita yang ditulis di atas lontar ini terdapat di perpustakaan lontar Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Penulisan di lontar menggunakan bahasa Bali-Tengahan. Hingga kini memang belum diketahui lontar asli yang menceritakan sang patih ini.
Bayi yang dibuang itu kemudian dikenal Gajah Mada yang menjadi tokoh sentral di Kerajaan Majapahit. Masa kejayaan Majapahit tidak lepas dari figur Gajah Mada. Karir militernya di Majapahit mulai menanjak setelah dia berhasil menyelamatkan Jayanegara, raja kedua Majapahit dalam peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada 1319.
Dalam kitab Pararaton diceritakan, pemberontakan di zaman Jayanegara dilakukan oleh para Dharmaputra yang tak lain loyalis Raden Wijaya. Pemberontakan ini terjadi karena raja kedua Majapahit ini berdarah campuran Jawa dan etnis Melayu, bukan asli keturunan Kertanagara. Seperti diketahui, bahwa Jayanegara merupakan anak hasil perkawinan antara Raden Wijaya dengan Dara Petak.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Ra Kuti, seorang perwira Majapahit dari daerah Pajarakan (sekarang Probolinggo, Jawa Timur). Dalam pemberontakan Ra Kuti, Majapahit berhasil direbut dari tangan Jayanegara.
Karena jasa besarnya tersebut, Gajah Mada diangkat sebagai patih Majapahit. Dari sini, karir militer Gajah Mada semakin moncer. Di hari-hari berikutnya, dipercaya untuk menumpas para pembelot kerajaan. Tercatat karena jasanya itu, dia pernah diangkat sebagai Patih Doha (Kediri) dan Patih Kahuripan (sekarang Sidoarjo).
Di masa pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi, posisi Gajah Mada diangkat lebih tinggi menjadi mahapatih setelah berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng dan Keta (masuk Kabupaten Situbondo).
Pada periode inilah Gajah Mada melakukan ekspansi besar-besaran kerajaan Majapahit ke segala penjuru. Banyak kerajaan penting berhasil direbut Majapahit, seperti Kerajaan Pejeng (Bali), sisa-sisa kerajaan Sriwijaya dan Malayu.
Puncaknya, Gajah Mada diangkat sebagai Patih Amangkubumi dan kembali menjadi tokoh sentral kemajuan Majapahit di zaman Hayam Wuruk, termasuk salah satu peristiwa penting dan kontroversi hingga kini masih simpang siur yaitu Sumpah Palapa.
Dalam Kakawin Nagarakertagama karya Empu Prapanca, kekuasaan Majapahit yang didapat dari peperangan maupun monopoli dagang terbentang dari Papua, Sumatera, Tumasik (sekarang disebut Singapura), hingga sebagian pulau di Filipina. Semua terbingkai dalam peta Nusantara.
Atas jasanya itu, menurut kitab Negarakertagama, Gajah Madah dihadiahi wilaya Madakaripura. Dikatakan bahwa ditempat ini Gajah Madah melakukan meditasi.
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Lihat Juga: 3 Potret Karya Ivan Gunawan di New York Fashion Week 2023, Terinspirasi Kerajaan Majapahit
Air terjun di kawasan Madakaripura di Probolinggo, Jawa Timur diduga merupakan tempat Mahapatih Gajah Mada melakukan meditasi terakhir hingga akhirnya moksa. Foto/Ist
Kawasan Madakaripura disebutkan dalam kitab Negarakertagama merupakan hadiah Raja Majapahit, Hayam Wuruk yang diberikan untuk Mahapatih Gajah Mada. Patung Mahapatih Gajah Mada pun dibangun di dekat lokasi air terjun.
Air terjun di kawasan Madakaripura dipercaya oleh sejumlah masyarakat di sekitar lokasi sebagai tempat untuk meditasi terakhir hingga akhirnya mencapai moksa. Sehingga tak mengherankan jika banyak orang yang datang untuk bermeditasi, khususnya pada hari-hari yang dikeramatkan.
Aliran air di terjun Madakaripura konon tak pernah berhenti mengalir. Oleh karenanya, lokasi Mahapatih Gajah Mada bersemedi ini disebut juga sebagai air terjun abadi. Air terjun Madakaripura berada di dalam kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru.
Maha Patih Gajah Mada dikisahkan melakukan meditasi terakhir dan moksa di kawasan Madakaripura, Probolinggo. Foto/Wikipedia
Jika benar apa yang disampaikan Empu Prapanca dalam kitab Negarakertagama itu, maka sesungguhnya tidak ada keraguan soal di mana Gajah Mada menghabiskan sisa hidupnya setelah tidak menjadi Mahapatih. Juga akhir hidupnya di pertapaan Madakaripura setidaknya sedikit menjawab pertanyaan terkait asal usul Gajah Mada.
Dalam lontar Badad Gajah Maddha diceritakan bahwa orangtua Gajah Mada adalah pendeta hindu di Wilatikta (Majapahit). Ayahnya bernama Mpu Curadharmayogi dan ibunya bernama Patni Nuriratih, keduanya diangkat menjadi pendeta oleh Mpu Ragarunting.
Dalam aturan yang berlaku untuk pendeta, kedua pasangan ini dilarang bersetubuh meski sudah berstatus nikah. Selanjutnya Curadharmayogi memilih berdomisili di luar Wilatikta, di asrama Gili Madri, sedangkan Patni Nariratih berdomisili di Wilatikta.
Meski terpisah, namun keduanya intens bertemu. Patni setiap hari mengunjungi sang suami untuk mengantarkan sarapan dan kebutuhan harian lainnya. Hingga pada suatu hari kejadian tidak biasa terjadi di antara keduanya.
Saat hendak menyantap masakan sang istri, tanpa sengaja gelas tersenggol dan air pun tumpah. Melihat hal itu, Curadharmayogi pun pergi mencari air minum. Sedangkan sang istri ditinggal sendirian.
Proses kehamilan Patni diawali dengan perbuatan Hyang Brahma (Dewa Api) yang tergoda untuk bersetubuh dengan Patni. Maka berubahlah wujud sang Dewa ini menyerupai Curadharmayogi dan mendatangi Patni, di saat suaminya yang asli sedang pergi mencari air minum.
Kehamilan Patni seolah tamparan bagi keduanya. Bagaimana tidak, keduanya sudah berjanji untuk meninggalkan kenikmatan dunia demi agama. Karena didorong rasa malu itulah keduanya memutuskan kabur ke hutan.
Pelarian mereka berakhir di dekat Gunung Semeru. Dari sana keduanya menuju ke arah Barat Daya, lalu sampai di Desa Maddha. Si jabang bayi akhirnya melahirkan di sebuah balai agung yang terletak di desa tersebut pada 1299.
Usai melahirkan, Patni bersama suaminya meninggalkan buah hati mereka seorang diri. Keduanya melanjutkan pelarian menuju gunung. Beruntung, tersebut dipungut oleh pemuka desa setempat. Kabar penemuan bayi itu sampai juga ke telinga salah satu patih tersohor dari Wilatikta. Sang patih lantas merawat dan membawa bayi yang kemudian diberi nama Maddha ini ke Majapahit.
Kisah ini terdapat dalam lontar Badad Gajah Maddha. Kopian cerita yang ditulis di atas lontar ini terdapat di perpustakaan lontar Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Penulisan di lontar menggunakan bahasa Bali-Tengahan. Hingga kini memang belum diketahui lontar asli yang menceritakan sang patih ini.
Bayi yang dibuang itu kemudian dikenal Gajah Mada yang menjadi tokoh sentral di Kerajaan Majapahit. Masa kejayaan Majapahit tidak lepas dari figur Gajah Mada. Karir militernya di Majapahit mulai menanjak setelah dia berhasil menyelamatkan Jayanegara, raja kedua Majapahit dalam peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada 1319.
Dalam kitab Pararaton diceritakan, pemberontakan di zaman Jayanegara dilakukan oleh para Dharmaputra yang tak lain loyalis Raden Wijaya. Pemberontakan ini terjadi karena raja kedua Majapahit ini berdarah campuran Jawa dan etnis Melayu, bukan asli keturunan Kertanagara. Seperti diketahui, bahwa Jayanegara merupakan anak hasil perkawinan antara Raden Wijaya dengan Dara Petak.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Ra Kuti, seorang perwira Majapahit dari daerah Pajarakan (sekarang Probolinggo, Jawa Timur). Dalam pemberontakan Ra Kuti, Majapahit berhasil direbut dari tangan Jayanegara.
Karena jasa besarnya tersebut, Gajah Mada diangkat sebagai patih Majapahit. Dari sini, karir militer Gajah Mada semakin moncer. Di hari-hari berikutnya, dipercaya untuk menumpas para pembelot kerajaan. Tercatat karena jasanya itu, dia pernah diangkat sebagai Patih Doha (Kediri) dan Patih Kahuripan (sekarang Sidoarjo).
Di masa pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi, posisi Gajah Mada diangkat lebih tinggi menjadi mahapatih setelah berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng dan Keta (masuk Kabupaten Situbondo).
Pada periode inilah Gajah Mada melakukan ekspansi besar-besaran kerajaan Majapahit ke segala penjuru. Banyak kerajaan penting berhasil direbut Majapahit, seperti Kerajaan Pejeng (Bali), sisa-sisa kerajaan Sriwijaya dan Malayu.
Puncaknya, Gajah Mada diangkat sebagai Patih Amangkubumi dan kembali menjadi tokoh sentral kemajuan Majapahit di zaman Hayam Wuruk, termasuk salah satu peristiwa penting dan kontroversi hingga kini masih simpang siur yaitu Sumpah Palapa.
Dalam Kakawin Nagarakertagama karya Empu Prapanca, kekuasaan Majapahit yang didapat dari peperangan maupun monopoli dagang terbentang dari Papua, Sumatera, Tumasik (sekarang disebut Singapura), hingga sebagian pulau di Filipina. Semua terbingkai dalam peta Nusantara.
Atas jasanya itu, menurut kitab Negarakertagama, Gajah Madah dihadiahi wilaya Madakaripura. Dikatakan bahwa ditempat ini Gajah Madah melakukan meditasi.
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Lihat Juga: 3 Potret Karya Ivan Gunawan di New York Fashion Week 2023, Terinspirasi Kerajaan Majapahit
(shf)