Masyarakat Adat Lancang Dukung Ekowisata BPOLBF di Bowosie Labuan Bajo
loading...
![Masyarakat Adat Lancang...](https://pict.sindonews.net/webp/732/pena/news/2022/05/19/174/773325/masyarakat-adat-lancang-dukung-ekowisata-bpolbf-di-bowosie-labuan-bajo-zlb.webp)
Pengembangan ekowisata di kawasan Bowosie Labuan Bajo oleh BPOLBF mendapat dukungan masyarakat adat Kampung Lancang, Wae Kelambu, Komodo, Manggarai Barat, NTT. Foto/Ist
A
A
A
LABUAN BAJO - Masyarakat adat Kampung Lancang, Wae Kelambu,Komodo,Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) mendukung rencana pemerintah pusat mengembangkan ekowisata di kawasan hutan Bowosie.
![Masyarakat Adat Lancang Dukung Ekowisata BPOLBF di Bowosie Labuan Bajo]()
Pengembangan ini dilakukan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) sebagai satuan kerja di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Hal itu diungkapkan oleh Tua Golo (Ketua Adat) Lancang,Theodorus Urus. "Jika tanah ini dibangun untuk pariwisata maka justru kami dukung, karena itu milik pemerintah. Yang nantinya berimbas bagi kami warga Lancang dan Manggarai Barat umumnya. Sehingga anak-anak kami bisa kerja disana nantinya," kata Theo Urus dikutipKamis (19/5/2022).
Tua Golo Lancang menjelaskan, dirinya dan masyarakat Lancang mendukung penuh rencana pemerintah untuk mengelola lokasi Bowosie. Namun disisi lain, Ia sesalkan pemerintah yang malah membiarkan adanya kelompok tertentu melakukan perambahan.
"Kita kesal karena lahan hutan dirusak oleh kelompok masyarakat yang bukan warga wilayah Nggorang ataupun golo Lancang. Dan pada tahun 2018, kami ketemu pak Gusti Dula (mantan bupati Manggarai Barat), kita bicara dengan beliau disertai dengan pernyataan sikap terkait lahan hutan yang dirambah orang-orang, " jelasnya.
Namun hingga saat ini pemerintah seakan kalah dengan para perambah. Dia tak keberatan bila pemerintah melalui BPOLBF yang menata Bowosie, asal baginya bersosialisasi dahulu dengan masyarakat agar dapat menjelaskan terkait dampak baik dan dampak buruk akibat pembangunan di lahan hutan tersebut.
"Bukan berarti kita tidak mendukung soal pembangunan akan tetapi harus membawa dampak baik bagi masyarakat," katanya.
Sementara Bupati Manggarai Barat,Edistasius Endi pun mengharapkan agar masyarakat mendukung program pemerintah.
"Saya harap masyarakat mendukung program dan rencana pemerintah dalam penataan kawasan Bowosie. Dan sebagai kota pariwista, kita harus ciptakan situasi yang kondusif," ujarnya.
Terkait polemik status lahan Bowosie saat ini, Bupati Edistasius menyampaikan di dokumen yang pemerintah miliki bahwa program IP4T itu sudah dilakukan inventarisasi.
Pengusul sebanyak 250 orang, namun setelah diverifikasi oleh tim yang komponennya ada Pemda, BPN dan KPH, tertinggal 200 orang dengan total luas lahan itu kurang lebih 13,8 ha.
Berdasar sejarah, secara ulayat kawasan Bowosie merupakan milik Ulayat Nggorang. Pada tahun 1960, fungsionaris adat ulayat Nggorang menyerahkan kawasan Bowosie kepada tetua adat Lancang.
Namun pada tahun 1961, Raja Ngambut meminta kepada ulayat Nggorang untuk menyerahkan sebagian tanah tersebut kepada pemerintah. Sementara disisi lain, tanah yang dimintai Raja Ngambut telah diserahkan dan dikuasai oleh Kampung Lancang.
Walau begitu hasil rembuk kampung Lancang dan Ulayat Nggorang, diputuskan bahwa sebagian tanah itu diserahkan kepada pemerintah.
Diketahui, BPOLBF tengah bersiap mengembangkan empat zona pengembangan ekowisata di lahan seluas 400 ha Hutan Bowosie, pengembangan area itu untuk menghadirkan kawasan pariwisata berkelanjutan, berkualitas dan terintegrasi di Labuan Bajo.
Pengembangan tersebut berdasar amanah Presiden Joko Widodo melalui Perpres Nomor 32 Tahun 2018 dengan penetapan pengelolaan dilakukan oleh Badan Pelaksana yang dibentuk pada tahun 2019.
Di dalamnya mengatur tentang perubahan status dan pemanfaatan 400 ha hutan Bowosie di Kabupaten Manggarai Barat, di mana paling sedikit 136 hektare akan diberikan Hak Pengelolaan kepada Badan Otorita.
Sisanya dikelola menggunakan skema izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Pemanfaatan Jasa Lingkungan (PBPH-JL) sebagai wisata alam.
Pengembangan kawasan pariwisata ini bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, diperkirakan akan menyerap 10.000 tenaga kerja dan menyerap produk ekonomi kreatif, hasil pertanian dan peternakan masyarakat sekitar.
![Masyarakat Adat Lancang Dukung Ekowisata BPOLBF di Bowosie Labuan Bajo](https://aws-images-prod.sindonews.net/dyn/600/pena/sindo-article/original/2022/05/19/Ekowisata%20BPOLBF%20di%20Hutan%20Bowosie%20Labuan%20Bajo%202.jpg)
Pengembangan ini dilakukan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) sebagai satuan kerja di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Hal itu diungkapkan oleh Tua Golo (Ketua Adat) Lancang,Theodorus Urus. "Jika tanah ini dibangun untuk pariwisata maka justru kami dukung, karena itu milik pemerintah. Yang nantinya berimbas bagi kami warga Lancang dan Manggarai Barat umumnya. Sehingga anak-anak kami bisa kerja disana nantinya," kata Theo Urus dikutipKamis (19/5/2022).
Tua Golo Lancang menjelaskan, dirinya dan masyarakat Lancang mendukung penuh rencana pemerintah untuk mengelola lokasi Bowosie. Namun disisi lain, Ia sesalkan pemerintah yang malah membiarkan adanya kelompok tertentu melakukan perambahan.
"Kita kesal karena lahan hutan dirusak oleh kelompok masyarakat yang bukan warga wilayah Nggorang ataupun golo Lancang. Dan pada tahun 2018, kami ketemu pak Gusti Dula (mantan bupati Manggarai Barat), kita bicara dengan beliau disertai dengan pernyataan sikap terkait lahan hutan yang dirambah orang-orang, " jelasnya.
Namun hingga saat ini pemerintah seakan kalah dengan para perambah. Dia tak keberatan bila pemerintah melalui BPOLBF yang menata Bowosie, asal baginya bersosialisasi dahulu dengan masyarakat agar dapat menjelaskan terkait dampak baik dan dampak buruk akibat pembangunan di lahan hutan tersebut.
"Bukan berarti kita tidak mendukung soal pembangunan akan tetapi harus membawa dampak baik bagi masyarakat," katanya.
Sementara Bupati Manggarai Barat,Edistasius Endi pun mengharapkan agar masyarakat mendukung program pemerintah.
"Saya harap masyarakat mendukung program dan rencana pemerintah dalam penataan kawasan Bowosie. Dan sebagai kota pariwista, kita harus ciptakan situasi yang kondusif," ujarnya.
Terkait polemik status lahan Bowosie saat ini, Bupati Edistasius menyampaikan di dokumen yang pemerintah miliki bahwa program IP4T itu sudah dilakukan inventarisasi.
Pengusul sebanyak 250 orang, namun setelah diverifikasi oleh tim yang komponennya ada Pemda, BPN dan KPH, tertinggal 200 orang dengan total luas lahan itu kurang lebih 13,8 ha.
Berdasar sejarah, secara ulayat kawasan Bowosie merupakan milik Ulayat Nggorang. Pada tahun 1960, fungsionaris adat ulayat Nggorang menyerahkan kawasan Bowosie kepada tetua adat Lancang.
Namun pada tahun 1961, Raja Ngambut meminta kepada ulayat Nggorang untuk menyerahkan sebagian tanah tersebut kepada pemerintah. Sementara disisi lain, tanah yang dimintai Raja Ngambut telah diserahkan dan dikuasai oleh Kampung Lancang.
Walau begitu hasil rembuk kampung Lancang dan Ulayat Nggorang, diputuskan bahwa sebagian tanah itu diserahkan kepada pemerintah.
Diketahui, BPOLBF tengah bersiap mengembangkan empat zona pengembangan ekowisata di lahan seluas 400 ha Hutan Bowosie, pengembangan area itu untuk menghadirkan kawasan pariwisata berkelanjutan, berkualitas dan terintegrasi di Labuan Bajo.
Pengembangan tersebut berdasar amanah Presiden Joko Widodo melalui Perpres Nomor 32 Tahun 2018 dengan penetapan pengelolaan dilakukan oleh Badan Pelaksana yang dibentuk pada tahun 2019.
Di dalamnya mengatur tentang perubahan status dan pemanfaatan 400 ha hutan Bowosie di Kabupaten Manggarai Barat, di mana paling sedikit 136 hektare akan diberikan Hak Pengelolaan kepada Badan Otorita.
Sisanya dikelola menggunakan skema izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Pemanfaatan Jasa Lingkungan (PBPH-JL) sebagai wisata alam.
Pengembangan kawasan pariwisata ini bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, diperkirakan akan menyerap 10.000 tenaga kerja dan menyerap produk ekonomi kreatif, hasil pertanian dan peternakan masyarakat sekitar.
(shf)