Kisah Kapten Lukas Kustaryo Pentolan Siliwangi yang Diburu Tentara Belanda

Minggu, 24 April 2022 - 05:51 WIB
loading...
A A A
Dia berembuk dengan para laskar hingga siang untuk merencanakan penyerangan ke wilayah Cililitan, Jakarta.Sekitar pukul 15.00, Kapten Lukas beserta pasukannya sudah keluar dari Rawagede dan berangkat dengan berjalan kaki.

Sekitar pukul 16.00, turun perintah pimpinan pasukan Belanda bahwa Rawagede harus dibumihanguskan. Kira-kira tengah malam, tentara Belanda sudah tiba di Stasiun Pataruman, Desa Kalangsari, yang bersebelahan dengan Kampung Rawagede.

Selang sekitar setengah jam, sebanyak 300 tentara Belanda yang dipimpin Mayor Alphons Wijnen mulai memasuki Kampung Rawagede.

"Mereka datang ke sini untuk mencari Kapten Lukas Kustaryo. Meskipun tahu Kapten Lukas sudah meninggalkan Rawagede sejak sore, warga tetap memilih bungkam. Inilah yang menjadi salah satu penyebab pembantaian," tutur Sukarman.

Tanpa ampun, tentara Belanda menembaki para penduduk itu. Sebanyak 431 pria Kampung Rawagede tewas di ujung peluru. Penembakan oleh tentara Belanda berlangsung sejak pukul 04.00 hingga pukul 16.00.

Salah seorang saksi mata pembantaian Rawagede 1947 silam, Cawi kepada Sindonews.com juga menceritakan detik-detik peristiwa mengerikan. "Saya masih ingat. Setiap orang yang ada di sana pasti masih ingat. Tapi, saya tidak dendam. Saat ini, tidak ada rasa benci di hati saya kepada Belanda," ungkapnya di acara Peringatan pembantaian Rawagede, Jumat 9 Desember 2011 silam.

Malam sebelum kejadian, 8 Desember 1947, Cawi bersama suaminya, Bitol tidak ada firasat apa-apa. Sekitar pukul 4 pagi, seperti biasa, Bitol menjalankan aktifitas seperti biasa sebagai petani. “Sebelum keluar rumah, suami saya cuma bilang, jangan keluar rumah kalau ada apa-apa,” kata Cawi menirukan ucapan suaminya.

Pagi itu, awalnya Cawi hanya mendengar letusan senapan Belanda dari kejauhan. Namun, lama kelamaan suara senapan itu terdengar dekat. Dirinya yakin Belanda sudah menduduki desanya pada pukul 4 pagi.

Baca Juga: Saya tak dendam kepada Belanda

Suara senapan menurut Cawi tidak pernah berhenti sepanjang hari. Sesekali, dirinya pun mendengar suara mortir dan meriam Belanda. Tiba-tiba suara senapan berhenti. Itu sekitar pukul 4 sore. “Waktu itu saya nggak tahu maksud Belanda datang ke Rawagede. Suara tembakan Belanda baru berhenti jam 4 sore. Suami saya pun belum terdengar batang hidungnya,” katanya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2714 seconds (0.1#10.140)