Kisah Depati Amir, Bajak Laut Pemersatu Warga Melayu dan Tionghoa Melawan Belanda

Minggu, 17 April 2022 - 05:17 WIB
loading...
Kisah Depati Amir, Bajak Laut Pemersatu Warga Melayu dan Tionghoa Melawan Belanda
Ilustrasi Depati Amir. Foto: Istimewa
A A A
TIDAK banyak dokumen sejarah yang menyebut Depati Amir. Padahal, perannya dalam perjuangan mengusir Belanda di Bangka sangat besar. Hal ini terasa wajar, karena Depati Amir kerap disebut sebagai keluarga bajak laut.

Tetapi benarkah demikian? Cerita Pagi akan mengulasnya untuk anda. Semua berawal dari jejak sang ayah Depati Barin atau Bahrain bin Depati Karim yang dekat dengan Panglima Rahman, pemimpin bajak laut yang sangat tersohor.

Panglima Rahman dikenal karena keberaniannya yang berusaha mengusir angkatan perang Kesultanan Palembang dan Belanda. Keluarga Depati Amir banyak mendapatkan didikan perang dari Panglima Rahman.



Perlawanan Panglima Rahman terjadi saat peralihan kekuasaan dari Kesultanan Palembang ke Inggris (1812-1816) dan dari Inggris ke Belanda. Depati Barin lah yang kemudian meneruskan dan memimpin perlawanan terhadap Belanda.

Depati Barin dikenal sebagai gerilyawan ulung yang membuat serdadu Belanda kocar kacir, dalam upaya menangkapnya di hutan dan lautan. Dia juga tidak segan memenggal kepala residen di Bangka M.A.P. Smissaert.

Tindakannya yang berani dan pantang menyerah membuatnya sangat ditakuti. Di laut, Depati Barin bersama dengan bajak laut melakukan perampokan-perampokan terhadap kapal Belanda bermuatan timah, garam dan rempah.

Ketika Belanda berhasil menjinakkan Depati Barin melalui perdamaian dan pemberian hak istimewa, perlawanan justru dilanjutkan oleh anaknya Depati Amir. Semua jabatan yang diberikan Belanda kepada ayah dan keluarganya dilepas.



Yang membuat Belanda sangat kewalahan menghadapi Depati Amir adalah bentuk perlawanannya yang lebih modern dari sang ayah. Dia tidak hanya mengandalkan senjata dan rampok-rampokan. Lebih dari itu, dia mengorganisir.

Belanda sangat takut dengan pengorganisiran yang dilakukan Depati Amir, karena sifatnya yang secara terbuka anti kolonialisme. Hal ini membuat Belanda meminta bantuan militer dari Palembang dan Batavia, pada 1850.

Gerakan protes dan perjuangan Depati Amir sangat kuat, karena dia berhasil menggabungkan dua kelompok etnik yang berbeda. Dia tidak hanya memobilisasi warga Melayu, tetapi juga golongan Tionghoa yang menjadi kuli parit tambang.

Perlawanan Depati Amir terhadap Belanda berlangsung dalam rentang 1830-1851. Dalam melakukan perlawanan, Depati Amir dibantu adiknya Cing atau Hamzah sebagai panglima perang, serta sejumlah kerabatnya.



Pusat perlawanannya berada di Kampung Tjengal. Upaya pengorganisiran Depati Amir berhasil mendapatkan simpati dari sejumlah demang dan batin. Sehingga, perlawanan berlangsung sengit di sepanjang pantai timur Bangka.

Mulai dari Terentang, Ampang, Toboali, Jebus, dan Sungailiat, semua bangkit berjuang bersama dengan Depati Amir.

Dia juga mendapatkan dukungan dari sejumlah komunitas Tionghoa, mulai dari Kepala Parit, seperti Parit Kampung Air Duren, Parit Serut, Parit Singli Bawah dan seorang Letnan Tionghoa di Merawang, hingga Tionghoa Muslim.

Dengan bantuan pihak Tionghoa ini, Depati Amir mendapatkan pasokan senjata dari Singapura. Tidak hanya itu, bantuan senjata juga datang dari para lanun yang diperolah dari Mindanao, Lingga dan Palembang.



Perlawanan yang dikabarkan Depati Amir menjadi sangat hebat. Maka menjadi wajar jika Belanda kewalahan dan meminta bantuan militer dari Palembang dan Batavia. Perang dengan Belanda pun akhirnya berkecamuk dan meluas.

Pertempuran hebat, terjadi pada Desember 1848, di beberapa tempat seperti Lukok, Cepurak, Mendara, Memadai, Ampang dan Tadjaubelah, di mana Depati Amir memimpin langsung perlawanan.

Dalam bertempur, Depati Amir banyak belajar dari ayahnya. Dia menerapkan taktik perang gerilya yang amat menyulitkan pihak militer Belanda, ditambah lagi pasukan pemerintah Hindia-Belanda mendapat serangan penyakit Demam Bangka.

Hal yang kurang diperhatikan Depati Amir adalah pengkhianatan. Belanda yang tidak punya malu menerapkan taktik kotor ini dengan memberikan uang ganjaran 1.000 dollar Spanyol kepada 7 orang pimpinan dan 36 anggota barisannya.



Di tengah perang gerilya, kondisi fisik Depati Amir mulai menurun. Dia mulai terserang sakit. Di tengah kondisi kurang logistik dan kelelahan fisik itulah, pada 7 Januari 1851, Depati Amir tertangkap di Distrik Sungaiselan.

Depati Amir, beserta keluarga dan pengikutnya lalu diasingkan ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 28 Februari 1851. Dia meninggal pada 28 September 1869, dan dimakamkan di pemakaman muslim Batukadera, Kupang.

Sampai di sini ulasan Cerita Pagi, semoga bermanfaat.

Sumber tulisan:
1. Nurdiansyah Dalidjo, Rumah di Tanah Rempah, Penjelajahan Memaknai Rasa dan Aroma Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Buku Elektronik.
2. Pahlawan Nasional Depati Amir, dikutip dari laman Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia, pada Minggu 17 April 2022.
(san)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4170 seconds (0.1#10.140)