Kisah Sunan Gresik Selamatkan Gadis Yatim Piatu dari Ritual Kurban Minta Hujan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pada masa-masa akhir Kerajaan Majapahit menuju keruntuhan, alam menunjukkan tanda-tanda tidak bersahabat. Musim kemarau panjang membuat tanah menjadi kering kerontang, sumber air semakin berkurang di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur. Alam yang tidak bersahabat membuat situasi sosial kala itu sangat rentan. Gejolak sosial, perang saudara, tawuran antar kelompok terjadi di mana-mana.
Di tengah situasi seperti ini, muncul seorang sosok santun, rendah hati dan peduli sesama. Bagai oase di tengah padang, ia hadir menghalau dahaga bagi mereka yang membutuhkan ketenangan, kedamaian dan keharmonisan. Dia adalah Maulana Malik Ibrahim atau lebih dikenal Sunan Gresik.
Dari sumber Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Sunan Gresik yang hidup pada 1419 M/882 H, merupakan seorang Walisongo, yang pertama dari Sembilan Walisongo terkenal karena kepiawaian mereka dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sunan Gresik atau Syeh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Dia adalah putra dari Syeh Maulana Ahmad Jumadil Kubro, atau Syeh Jumadil Qubro
Ia memulai dakwa di daerah Gresik, Jawa Timur dengan mendirikan masjid di Desa Pasucinan, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Di Jawa Timur di wilayah tempat dia berdakwah, kala itu, masih banyak masyarakat yang belum mengenal Islam. Mereka pada umumnya masih teguh dalam menghayati budaya dan tradisi mereka.
Dikisahkan bahwa Syeh Maulana Malik Ibrahim mendekati masyarakat dengan bahasan dan perangai yang santun. Kepercayaan masyarakat setempat tidak langsung ditentangnya. Kisah tentang Syeh yang berkeliling dari kampung ke kampung melakukan dakwah dengan cara yang penuh simpati, banyak diceritakan di berbagai sumber.
Dalam buku Jejak Para wali dan Ziarah Spiritual, misalnya, dikisahkan bagaimana Syeh dengan kelembutan jiwanya dan kekuatan spiritualnya, bisa membuat warga satu kampung masuk Islam.
Kisahnya, suatu waktu, seperti biasa Syeh berkeliling dari kampung ke kampung. Tibalah dia, pada suatu siang yang terik di suatu kampung. Dari jauh dia melihat ada kerumunan banyak warga di satu tempat. Karena ingin tahu, apa yang sedang dilakukan warga pada siang yang panas di musim kemarau itu, Syeh Maulana pun mendekat. Betapa kagetnya, ketika Syeh melihat ada seorang gadis yang sedang diikat, diapit dua lelaki kekar dan berwajah bengis.
Lebih kaget lagi, ketika Syeh mendapat informasi bahwa gadis berbalut kain putih itu adalah anak yatim piatu yang hendak dipersembahkan kepada dewa untuk meminta hujan. Seketika, Syeh merasa iba dan ingin menyelamatkan gadis malang itu.
Mengetahui Syeh hendak menggagalkan ritual minta hujan itu, pemimpin ritual meminta kedua lelaki berwajah serem mengamankan Syeh. Keduanya siap menjalankan perintah. Anehnya, baru hendak melangkah menangkap Syeh, lutut kedua pria kekar itu ngilu, serasa kaku dan tidak bisa melangkah mendekati Syeh.
Pemimpin ritual pun segera bertindak untuk melanjutkan ritual. Ia mencabut belati dan hendak menikam gadis itu. Anehnya, tangan sang pemimpin ritual juga ngilu dan tidak bisa menghujam tubuh kurban persembahan.
Lalu dengan tenang Syeh membuka dialog. Syeh bertanya, "Sudah berapa kali melakukan ritual minta hujan kepada dewa dengan kurban nyawa manusia?" Mereka menjawab, "Sudah tiga kali". "Apakah hujan sudah turun?" "Belum," jawab warga kompak.
Kemudian Syeh melakukan negosiasi dengan menawarkan dirinya saja yang berdoa minta hujan, asalkan gadis yatim piatu itu tidak dibunuh. Permintaan Syeh diterima. Syeh Maulana kemudian memimpin shalat Istisqa' untuk memohon hujan kepada Allah.
Saat Syeh memimpin shalat, langit tampak mendung dan menjadi gelap. Hujan lebat kemudian mengguyur wilayah itu. Warga sangat gembira atas hujan itu karena apa yang merekam rindukan sungguh terpenuhi.
Gadis yatim piatu itu pun diselamatkan. Pada kesempatan itulah Syeh menyampaikan dakwah, menyampaikan ajaran agar anak yatim piatu harus dilindungi, bukan malah dijadikan kurban persembahan bagi dewa.
"Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya, disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan, melainkan harus disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa Hujan,” kata Syeh Maulana.
Warga yang menyaksikan peristiwa itu tertegun dan meminta kepada Syeh Maulana untuk diajarkan doa meminta hujan tanpa mengorbankan jiwa.
"Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti tadi, maka kalian harus mengenal dan mempelajari dulu agama Islam. Maukah kalian?" Mereka kemudian masuk Islam.
Syeh Maulana wafat pada 12 Rabi’ul Awwal tahun 822 H atau bertepatan dengan 7 April 1419. Syeh dimakamkan di Desa Gapurosukolilo, Gresik.
Diolah dari berbagai sumber
Di tengah situasi seperti ini, muncul seorang sosok santun, rendah hati dan peduli sesama. Bagai oase di tengah padang, ia hadir menghalau dahaga bagi mereka yang membutuhkan ketenangan, kedamaian dan keharmonisan. Dia adalah Maulana Malik Ibrahim atau lebih dikenal Sunan Gresik.
Baca Juga
Dari sumber Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Sunan Gresik yang hidup pada 1419 M/882 H, merupakan seorang Walisongo, yang pertama dari Sembilan Walisongo terkenal karena kepiawaian mereka dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sunan Gresik atau Syeh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Dia adalah putra dari Syeh Maulana Ahmad Jumadil Kubro, atau Syeh Jumadil Qubro
Ia memulai dakwa di daerah Gresik, Jawa Timur dengan mendirikan masjid di Desa Pasucinan, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Di Jawa Timur di wilayah tempat dia berdakwah, kala itu, masih banyak masyarakat yang belum mengenal Islam. Mereka pada umumnya masih teguh dalam menghayati budaya dan tradisi mereka.
Dikisahkan bahwa Syeh Maulana Malik Ibrahim mendekati masyarakat dengan bahasan dan perangai yang santun. Kepercayaan masyarakat setempat tidak langsung ditentangnya. Kisah tentang Syeh yang berkeliling dari kampung ke kampung melakukan dakwah dengan cara yang penuh simpati, banyak diceritakan di berbagai sumber.
Dalam buku Jejak Para wali dan Ziarah Spiritual, misalnya, dikisahkan bagaimana Syeh dengan kelembutan jiwanya dan kekuatan spiritualnya, bisa membuat warga satu kampung masuk Islam.
Baca Juga
Kisahnya, suatu waktu, seperti biasa Syeh berkeliling dari kampung ke kampung. Tibalah dia, pada suatu siang yang terik di suatu kampung. Dari jauh dia melihat ada kerumunan banyak warga di satu tempat. Karena ingin tahu, apa yang sedang dilakukan warga pada siang yang panas di musim kemarau itu, Syeh Maulana pun mendekat. Betapa kagetnya, ketika Syeh melihat ada seorang gadis yang sedang diikat, diapit dua lelaki kekar dan berwajah bengis.
Lebih kaget lagi, ketika Syeh mendapat informasi bahwa gadis berbalut kain putih itu adalah anak yatim piatu yang hendak dipersembahkan kepada dewa untuk meminta hujan. Seketika, Syeh merasa iba dan ingin menyelamatkan gadis malang itu.
Baca Juga
Mengetahui Syeh hendak menggagalkan ritual minta hujan itu, pemimpin ritual meminta kedua lelaki berwajah serem mengamankan Syeh. Keduanya siap menjalankan perintah. Anehnya, baru hendak melangkah menangkap Syeh, lutut kedua pria kekar itu ngilu, serasa kaku dan tidak bisa melangkah mendekati Syeh.
Pemimpin ritual pun segera bertindak untuk melanjutkan ritual. Ia mencabut belati dan hendak menikam gadis itu. Anehnya, tangan sang pemimpin ritual juga ngilu dan tidak bisa menghujam tubuh kurban persembahan.
Lalu dengan tenang Syeh membuka dialog. Syeh bertanya, "Sudah berapa kali melakukan ritual minta hujan kepada dewa dengan kurban nyawa manusia?" Mereka menjawab, "Sudah tiga kali". "Apakah hujan sudah turun?" "Belum," jawab warga kompak.
Kemudian Syeh melakukan negosiasi dengan menawarkan dirinya saja yang berdoa minta hujan, asalkan gadis yatim piatu itu tidak dibunuh. Permintaan Syeh diterima. Syeh Maulana kemudian memimpin shalat Istisqa' untuk memohon hujan kepada Allah.
Saat Syeh memimpin shalat, langit tampak mendung dan menjadi gelap. Hujan lebat kemudian mengguyur wilayah itu. Warga sangat gembira atas hujan itu karena apa yang merekam rindukan sungguh terpenuhi.
Gadis yatim piatu itu pun diselamatkan. Pada kesempatan itulah Syeh menyampaikan dakwah, menyampaikan ajaran agar anak yatim piatu harus dilindungi, bukan malah dijadikan kurban persembahan bagi dewa.
"Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya, disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan, melainkan harus disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa Hujan,” kata Syeh Maulana.
Warga yang menyaksikan peristiwa itu tertegun dan meminta kepada Syeh Maulana untuk diajarkan doa meminta hujan tanpa mengorbankan jiwa.
"Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti tadi, maka kalian harus mengenal dan mempelajari dulu agama Islam. Maukah kalian?" Mereka kemudian masuk Islam.
Syeh Maulana wafat pada 12 Rabi’ul Awwal tahun 822 H atau bertepatan dengan 7 April 1419. Syeh dimakamkan di Desa Gapurosukolilo, Gresik.
Diolah dari berbagai sumber
(don)