Meurah Pupok, Putra Mahkota yang Dipenggal Sultan Iskandar Muda untuk Tegakkan Syariat Islam

Minggu, 19 Desember 2021 - 06:53 WIB
loading...
Meurah Pupok, Putra...
Makam Meurah Pupok. Foto: Istimewa
A A A
MEURAH Pupok merupakan simbol tegaknya syariat Islam di Aceh. Kematiannya akan selalu dikenang, bahwa keadilan ditegakkan bukan hanya kepada rakyat kecil. Tetapi juga kepada pewaris tunggal Kerajaan Aceh Darussalam.

Sayang, riwayat keabadian ini tidak tertulis dalam buku sejarah resmi. Dalam penelusuran kepustakaan, kisah kelam dan tragis putra Sultan Iskandar Muda ini, ternyata telah disampaikan dari mulut ke mulut tanpa ada rujukan yang jelas.

Disarikan dari berbagai sumber, kisah itu bermula saat Sultan Iskandar Muda didatangi seorang perwiranya. Perwira yang tidak diketahui identitasnya ini melaporkan, bahwa istrinya telah ditiduri putra mahkota Meurah Pupok.



Perwira itu juga mengatakan, dia telah membunuh istrinya yang telah bermain serong dengan putra mahkota itu. Usai melaporkan peristiwa tersebut, sang perwira menarik rencong dan menusukkan ke dadanya hingga meninggal dunia.

Peristiwa tragis ini langsung menggemparkan Kerajaan Aceh Darussalam. Sultan Iskandar Muda pun berjanji akan menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Dia akan menghukum penggal leher putranya itu dengan tangannya sendiri.

Hukuman mati itu, sesuai dengan konstitusi Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Qanun Meukuta Alam yang bersumber dari Alquran dan Alhadis. Saat itu, hukum Aceh memang dikenal keras terhadap para pelaku kejahatan.



Seorang yang berzina dan memperkosa, jarang diserahkan untuk dihukum kepada keluarganya sendiri. Tetapi akan disidang oleh ayah atau suami istri si perempuan. Mereka akan membawanya ke lapangan dan mengelilinginya.

Setiap orang yang mengelilingi pelaku zina itu membawa senjata tajam besar bernama gadubong. Selanjutnya, pelaku zina akan tewas dipotong-potong. Kepada mayat yang terpotong-potong itu, lalu dikubur seperti bangkai kerbau.

Namun, hukum masyarakat yang keras tidak berlaku bagi Meurah Pupok. Apalagi, dia merupakan putra semata wayang Sultan Iskandar Muda, dari hasil perkawinannya dengan putri Raja Lingga, pewaris takhta Kerajaan Aceh Darussalam.



Sebelum eksekusi mati dijatuhkan, para petinggi kerajaan menghadap Sultan Iskandar Muda. Mereka memohon agar jiwa Meurah Pupok diampuni. Mereka juga menawarkan agar Meurah Pupok diusir dari Kerajaan Aceh Darussalam.

Tetapi Sultan Iskandar Muda tidak bergeming. Usai salat Jumat, Meurah Pupok dibawa ke tempat pembaringan oleh algojo. Dia mengenakan pakaian putih. Wajahnya tampak tenang dan tampan. Dia menerima vonis itu lapang hati.

Saat kepalanya akan ditutup, dia meminta kepada algojo dibiarkan saja. Dia ingin menatap wajah ayahnya terakhir kali. Darah segar pun tumpah. Cipratannya yang berwarna merah mengenai baju sang sultan yang bijaksana dan adil itu.



Jasadnya lalu dimakamkam di lapangan pacu kuda yang kini bernama Kerkhoff. Saat ini, makam itu masih terjaga.

Saat ditanya kenapa Sultan Iskandar Muda tega menghukum Meurah Pupok, dia mengatakan, mate aneuk nak jirat, mate adat ho tamita, yang berarti mati anak ada makamnya, tapi jika hukum yang mati hendak kemana akan dicari.

Menurut Husein Djajadiningrat, konstitusi yang dibuat Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Aceh Darussalam itu berisi peraturan dasar tentang pemerintahan, hukum, dan adat untuk memberlakukan hukum Islam secara perdata dan pidana.

Sumber tulisan:
Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum, Prenadamedia Group, 2016.
William Marsden, Sejarah Sumatra, Komunitas Bambu, Juni 2008.
Dr. Yuni Roslaili, Formalisasi Hukum Pidana Islam di Indonesia, CV Jejak (Jejak Publisher), 2021.
(hsk)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2158 seconds (0.1#10.140)